close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dosen FISIP UMT, Memed Chumaedy.
icon caption
Dosen FISIP UMT, Memed Chumaedy.
Kolom
Senin, 08 Desember 2025 19:05

Konsesi dan bencana: Wajah ekologi politik Sumatera

Kerusakan hutan dan kebijakan konsesi memperparah banjir Sumatera; bencana bukan alamiah semata, tetapi akibat keputusan politik dan tata kelola buruk.
swipe

Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai wilayah di Sumatera kembali dilanda bencana: banjir bandang, tanah longsor, dan longsoran lumpur yang merusak rumah, infrastruktur, dan lahan pertanian. Data BNPB menunjukkan ribuan warga terdampak, sudah kurang lebih ribuan meninggal, serta ratusan yang belum ditemukan. Sementara kerugian ekonomi terus bertambah.

Di permukaan, bencana ini tampak sebagai akibat cuaca hujan ekstrem, selalu menjadi dalih fenomena alam yang sulit dihindari. Namun, analisis lebih dalam menunjukkan faktor struktural dan kebijakan manusia seperti alih fungsi hutan, ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, dan pemberian konsesi skala besar memperparah kerentanan dalam masyarakat yang mengakibatkan gelombang lumpur yang menghancurkan rumah, kayu gelondongan terbawa arus, tanah longsor hingga menutupi akses jalan nasional.

Fenomena ini menjadi cermin dari hubungan antara manusia, negara, dan alam: bencana bukan sekadar peristiwa alamiah, tetapi juga produk dari keputusan politik dan ekonomi yang mengatur siapa yang diuntungkan dan siapa yang menanggung risiko. Dari perspektif ekologi politik, tragedi Sumatera menunjukkan bagaimana ketimpangan kuasa dan kebijakan sumber daya alam menghasilkan kerusakan lingkungan yang langsung menimpa masyarakat paling rentan.

Ekologi politik dan jejak kerusakan

Paul Robbins (2004) menjelaskan perubahan lingkungan tidak pernah netral; selalu dipengaruhi kepentingan ekonomi dan struktur kekuasaan. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan deforestasi bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan siapa yang berhak mengambil keputusan atas sumber daya.

Sumatera menyumbang sebagian besar ekspansi perkebunan sawit nasional, memiliki ratusan konsesi tambang, dan menjadi lokasi utama Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam dua dekade terakhir, tutupan hutan Sumatera menyusut tajam. Data Global Forest Watch (2023). Indonesia Deforestation Data menunjukkan kehilangan lebih dari 5 juta hektare hutan alam sejak 2001.

Kerusakan ini menurunkan daya serap air. Riset BRIN menunjukkan kawasan yang kehilangan tutupan hutan 20% hingga 30% di DAS berisiko tiga kali lipat mengalami banjir bandang. Hujan hanyalah pemicu; kerusakan struktural adalah penyebab.

Narasi “bencana alam” dan depolitisasi

Bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, tsunami, dan kebakaran hutan, seringkali dikonstruksi dalam narasi media dan politik sebagai fenomena alam yang bersifat netral dan tidak memiliki aktor politik. Narasi ini menekankan sifat alamiah dan tak terelakkan dari bencana, sehingga fokus publik dan media cenderung tertuju pada korban, dampak sosial, dan upaya kemanusiaan.

Pejabat publik kerap menyebutnya “bencana alam”, istilah yang tampak netral tetapi sebenarnya depolitisasi. Arturo Escobar dalam kajian Political Ecology menyebutnya discursive framing—cara menamai peristiwa untuk menutupi akar struktural kerusakan.

Namun, penekanan semata pada aspek alamiah ini dapat mengaburkan faktor politik, ekonomi, dan kebijakan yang memperbesar risiko bencana. Narasi “bencana alam” yang dominan di media dan wacana publik sering menyederhanakan kompleksitas bencana dan mendepolitisasi peristiwa yang seharusnya mengundang pertanyaan kritis tentang tanggung jawab politik dan tata kelola lingkungan. Harus dipertegas melihat bencana tidak hanya sebagai tragedi alam, tetapi juga sebagai cermin kebijakan dan keputusan manusia. Dan sangat jelas dalam laporan BNPB menunjukkan lebih dari 90% bencana hidrometeorologi diperparah kerusakan lingkungan.

Negara di persimpangan

Bencana Sumatera menempatkan negara di 3 persimpangan antara tanggung jawab kemanusiaan, legitimasi politik, dan akuntabilitas struktural. Pertama: pada sisi tanggung jawab kemanusiaan negara melakukan  Perlindungan terhadap warga negara dalam Menyelenggarakan evakuasi, memberi bantuan darurat, dan melakukan pemulihan pascabencana. Kemudian negara membuat regulasi dan melakukan mitigasi dalam menetapkan Menetapkan kebijakan pembangunan berkelanjutan, tata ruang yang aman, dan regulasi lingkungan. Dan juga negara melakukan Koordinasi institusi untuk Mengharmonisasi lintas kementerian, pemerintah daerah, TNI, Polri, dan lembaga non-pemerintah untuk respons efektif.

Kedua, Legitimasi politik, acapkali Keberadaan pejabat negara di lokasi bencana kerap menjadi simbol kepedulian dan kekuatan kepemimpinan. Namun, ini tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas respons atau mitigasi jangka panjang.

Ketiga, Akuntabilitas struktural: Akar permasalahan seperti deforestasi, reklamasi, atau tata ruang yang buruk adalah hasil keputusan kebijakan.

Di sinilah negara berada di persimpangan apakah akan menghadapi kritik dan memperbaiki sistem, atau menutupi kelemahan dengan narasi “tragedi alam”.

Jalan baru: Restorasi dan keadilan sosial

Indonesia berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, kemajuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur menghadirkan harapan. Di sisi lain, ketimpangan sosial, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan terus menimbulkan luka lama yang belum terselesaikan. Di sinilah kebutuhan akan jalan baru--jalan restorasi dan keadilan sosial—menjadi mendesak.

Restorasi bukan sekadar memperbaiki yang rusak secara fisik, tetapi juga memperbaiki hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang timpang. Ini menuntut keberanian negara, korporasi, dan masyarakat untuk mengakui ketidakadilan masa lalu dan menghadirkan kebijakan yang mengembalikan hak-hak yang hilang.

Untuk keluar dari siklus “konsesi–kerusakan–tragedi”, Sumatera membutuhkan paradigma baru: yaitu pertama, moratorium dan evaluasi konsesi. Kedua reahabilitasi hulu berbasis ilmu, ketiga, penguatan hak komunitas lokal dan terakhir transfaransi tata kelola lingkungan.

Saatnya mengubah haluan

Banjir dan longsor di Sumatera adalah cermin cara kita memperlakukan alam. Jika tata kelola tidak berubah, tragedi akan menjadi rutinitas. Dari Konsesi ke Tragedi bukan sekadar judul opini, tetapi kenyataan: bencana dibangun, bukan datang tiba-tiba.

Negara harus menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan entitas yang menentukan keberlangsungan hidup kita. Jika langkah berani tidak diambil hari ini, air mata Sumatera akan terus mengalir—lebih deras dari sungai yang meluap.

img
Memed Chumaedy
Kolomnis
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan