close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Hadi Supratikta, Peneliti Utama Bidang Manajemen Iptek dan Inovasi,  Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri, BRIN. Foto dokumentasi.
icon caption
Hadi Supratikta, Peneliti Utama Bidang Manajemen Iptek dan Inovasi, Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri, BRIN. Foto dokumentasi.
Kolom
Jumat, 24 Oktober 2025 19:18

Reformasi dan reorganisasi kepolisian berbasis iptek dan inovasi pascademontrasi

Reformasi kepolisian modern adalah perubahan dari model militeristik ke model kultur sipil yang demokratis.
swipe

Reformasi kepolisian modern adalah perubahan dari model militeristik ke model kultur sipil yang demokratis. Konsep implementasi Reformasi Kepolisian Berbasis Iptek dan Inovasi merupakan pemecahan tugas, perubahan nomenklatur, dan pemindahan kelembagaan Polri secara menyeluruh berbasis Iptek dan inovasi dimana ini adalah sebuah pendekatan komprehensif dan berkelanjutan untuk mengubah organisasi, kultur, dan sistem kerja kepolisian dengan cara mengadopsi dan mengintegrasikan teknologi modern serta mendorong pola pikir dan praktik kerja yang kreatif dan adaptif berbasis sipil.

David H. Bayley dalam bukunya Police for the Future (1994) diterbitkan selama periode puncak reformasi kepolisian global, Inti Pemikiran: Bahwa kepolisian di negara demokratis harus akuntabel kepada hukum dan masyarakat sipil, bukan kepada militer atau elite politik. Institusi kepolisian harus memiliki otonomi operasional namun berada di bawah kontrol sipil yang kuat, yang memberi arah filosofis kepolisian dengan kultural sipil, dan Security Sector Governance (SSG) dan (Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces) (DCAF), yang memberi arah struktural dan kelembagaan komprehensif (termasuk pemanfaatan Iptek dan inovasi untuk Kerjasama pembangunan ekonomi standart negara maju yang mengacu pada “Organisation for Economic Co-operation and Development” (OECD).

Relevansi: Pandangan tersebut menyediakan kerangka normatif untuk perubahan kultur kepolisian dari ala prajurit/militeristik (kaku, tertutup) menjadi sipil (transparan, melayani, dan humanis) yang menjadi inti dari reformasi. Reformasi Kepolisian Berbasis Iptek dan Inovasi adalah proses transformatif yang bertujuan untuk mewujudkan kepolisian yang profesional, modern, transparan, akuntabel, dan humanis melalui pemanfaatan maksimal dari teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta penciptaan solusi-solusi baru (inovasi) dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik, efektivitas penegakan hukum, dan pemeliharaan keamanan dalam negeri.

Reformasi kepolisian berbasis Iptek dan Inovasi adalah integrasi dari berbagai Grand Theory (terutama Democratic Policing dan Community Policing) yang menggunakan teori Inovasi dan Teknologi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan reformasi dimana Reformasi Kepolisian yakni Polisi Sipil dan Akuntabilitas (The "What, Why and How").

Grand theory

Tokoh/pencetus

Relevansi dengan rreformasi

Community Policing (Pemolisian Masyarakat)

Sir Robert Peel (konsep dasar abad ke-19), Herman Goldstein (Problem-Oriented Policing)

Filosofi ini menekankan polisi harus melayani dan bekerja sama dengan masyarakat untuk memecahkan masalah. Iptek dan Inovasi adalah alat untuk mencapai kerja sama ini (e.g., aplikasi pelaporan).

Democratic Policing (Polisi Demokratis)

David H. Bayley, Satjipto Rahardjo (konteks Indonesia)

Menekankan perlunya akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan HAM. Teknologi (Iptek) digunakan untuk mencapai akuntabilitas (misalnya, bodycam dan ETLE).

New Public Management (NPM)/New Public Service (NPS)

Osborne & Gaebler (NPM), Janet V. Denhardt & Robert B. Denhardt (NPS)

Teori ini mendorong pemerintah (termasuk polisi) untuk menerapkan prinsip efisiensi, orientasi hasil, dan pelayanan seperti sektor swasta, yang dicapai melalui inovasi dan digitalisasi.

 

Elemen kunci konsep kepolisian berbasis iptekin

Konsep ini tidak hanya berarti membeli peralatan canggih, tetapi mencakup tiga pilar utama:
1. Modernisasi pelayanan publik (Inovasi dan Efisiensi)
Menggunakan teknologi untuk mengubah pelayanan dari yang bersifat manual dan konvensional menjadi digital, cepat, dan transparan.
Contoh Implementasi:

  • Layanan Digital: Pengurusan SIM, STNK, SKCK secara online (e-Samsat, SIM online), memperpendek birokrasi, dan mengurangi peluang praktik pungutan liar.
  • Aplikasi Pengaduan: Aplikasi pengaduan masyarakat yang terintegrasi, memungkinkan pelaporan kejahatan, kecelakaan, atau pelanggaran oleh oknum polisi secara real-time dan dapat dilacak.

2. Modernisasi operasional dan penegakan hukum (iptek dan presisi)
Mengintegrasikan teknologi canggih untuk meningkatkan kemampuan teknis dan profesionalisme dalam tugas inti kepolisian.
Contoh implementasi:

  • Penegakan hukum berbasis data: Penggunaan tilang elektronik (ETLE) untuk penegakan hukum lalu lintas yang objektif dan non-interaksi (mengurangi potensi suap).
  • Analisis kejahatan big data: Pemanfaatan big data dan kecerdasan buatan (AI) untuk memetakan pola kejahatan, dan menganalisis data riwayat kejahatan, pola waktu, dan lokasi serta untuk memprediksi kapan dan di mana potensi kejahatan berikutnya akan terjadi, memprediksi titik rawan (predictive policing), dan merencanakan operasi secara presisi.
  • Penyidikan digital: Penguatan aplikasi teknologi informasi dalam penyidikan dan penuntutan termasuk penguatan forensik digital untuk mengusut kejahatan siber atau kejahatan konvensional yang melibatkan barang bukti digital.

3. Reformasi organisasi dan budaya (SDM dan transparansi)

Menggunakan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan akuntabilitas internal dan mengubah mindset (pola pikir) personel.
Contoh Implementasi:

  • Sistem pengawasan terintegrasi: Pemasangan body camera (kamera tubuh) pada petugas lapangan untuk menjamin transparansi interaksi dengan masyarakat.
  • Sistem merit SDM: Implementasi sistem rekrutmen, pelatihan, dan promosi berbasis data (merit system) menggunakan TIK untuk memastikan objektivitas, kompetensi, dan moralitas anggota.
  • Pelatihan digital: Kurikulum pendidikan kepolisian yang fokus pada digital literacy, etika digital, dan kemampuan menggunakan perangkat keras/lunak modern (Police 4.0).

Tujuan akhir

Tujuan utama dari reformasi ini adalah untuk mengubah budaya militeristik dan tertutup menjadi budaya sipil, terbuka, inovatif, dan melayani, sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap institusi kepolisian.

Tujuan akhir ini mencerminkan tingginya tuntutan publik untuk mereformasi kepolisian yang lebih mendalam, terutama setelah peristiwa besar seperti demonstrasi antara tanggal 26 hingga 30 Agustus 2025.

Perlu dicatat tujuan tersebut, terutama dalam mewujudkan kepolisian yang menganut meanstream budaya sipil dalam implementasinya diperlukan perubahan nomenklatur, yaitu konsep reformasi yang membutuhkan pemisahan kewenangan pertahanan, keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat yang berbasis Pertahanan Sipil yang sering muncul dalam diskusi publik dan akademis di Indonesia, terutama ketika kepercayaan publik terhadap Polri menurun. Hingga waktu saat ini (Oktober 2025), reformasi Polri yang diselenggarakan oleh pemerintah fokus pada transformasi internal dan modernisasi, bukan perombakan kultur sipil sehingga diperlukan reformasi institusi secara total.

Berikut adalah analisis terhadap setiap poin usulan perubahan kultur sipil kepolisian dan perbandingannya dengan konsep reformasi sipil yang ada di berbagai negara:

1. Perubahan nomenklatur institusi Polri menjadi Kementerian Keamanan

Usulan ini mencerminkan model reformasi yang mengadopsi struktur keamanan negara yang lebih terfragmentasi dan terspesialisasi, serupa dengan beberapa negara lain. Inti dari usulan ini adalah memecah fungsi-fungsi Polri ke beberapa kementerian/lembaga lain agar lebih fokus, akuntabel, dan terhindar dari potensi penyalahgunaan kekuasaan akibat monopoli fungsi keamanan, penegakan hukum, dan intelijen.

Fungsi Polri saat ini

Usulan lembaga tujuan

Model/fungsi di negara lain (ilustrasi)

Analisis singkat dampak

Penyidik Polri

Kementerian Hukum (Model FBI)

FBI (AS), SOK (Finlandia) - Badan investigasi kriminal di bawah eksekutif, terpisah dari kepolisian umum.

Memperkuat penegakan hukum pidana dan independensi investigasi, namun memerlukan koordinasi yang ketat dengan institusi keamanan umum.

Korlantas Polri

Kementerian Perhubungan

Penjagaan lalu lintas sering di bawah otoritas sipil (misalnya Departemen Transportasi/Perhubungan) atau kepolisian kota/negara bagian.

Fungsi yang lebih fokus pada manajemen lalu lintas dan keselamatan jalan raya sebagai tugas administratif sipil.

Polair

Bakamla (Badan Keamanan Laut)

Coast Guard (Penjaga Pantai) - seringkali memiliki fungsi keamanan maritim, penegakan hukum, dan SAR.

Memperkuat Bakamla sebagai badan tunggal penegak hukum dan penjaga keamanan maritim.

Brimob Polri

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Satuan anti-teror atau pasukan khusus berada di bawah kendali langsung atau koordinasi badan anti-teror/keamanan nasional.

Mengkhususkan fungsi Brimob hanya untuk penanggulangan terorisme dan keamanan ancaman tinggi.

Intelkam Polri

Badan Intelijen Negara (BIN)

Menyerap fungsi intelijen keamanan domestik ke dalam badan intelijen utama negara.

Mengurangi potensi penyalahgunaan intelijen keamanan domestik oleh kepolisian, namun berisiko menumpulkan fungsi intelijen taktis kepolisian.

Rutan Polri

Kejaksaan

Penahanan sementara (Rutan) umumnya berada di bawah Kementerian Hukum (Lapas/Rutan) atau otoritas Kejaksaan/Pengadilan, bukan Kepolisian.

Menghilangkan kewenangan kepolisian untuk mengelola tahanan, fokus pada penegakan hukum.

Polda, Polres, Polsek/Pospol

Kantor Pusat/Daerah Keamanan (HANSIP)

Perubahan ini mereduksi peran kepolisian teritorial menjadi semacam "Civil Guard" atau "Home Security" (seperti Hansip), yang fokus pada ketertiban umum dan keamanan lingkungan.

Merombak total struktur komando kepolisian di daerah, berpotensi menciptakan kekosongan atau kebingungan dalam penegakan hukum.

Shabara

Security Perkantoran dan Perusahaan

Fungsi pengamanan dan ketertiban umum (Patroli) yang dimodelkan menjadi layanan keamanan swasta/publik terbatas.

Menghilangkan fungsi patroli dan pengamanan massa yang merupakan fungsi dasar kepolisian.

2. Perubahan nomenklatur institusi Polri menjadi di bawah Kemendagri

Usulan ini sering muncul dalam wacana reformasi di Indonesia. Argumentasinya adalah menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengembalikan fungsi polisi sebagai bagian dari pemerintahan sipil yang mengurus ketertiban umum dan administrasi wilayah, seperti model di beberapa negara Eropa (misalnya Perancis dan Spanyol, di mana kepolisian nasional berada di bawah Kementerian Dalam Negeri).

Dampak positif: Meningkatkan akuntabilitas sipil, integrasi dengan pemerintah daerah, dan pengawasan langsung oleh menteri sipil.

Dampak negatif: Berpotensi mengurangi independensi dalam penegakan hukum (penyidikan) dan kembali ke model yang terlalu terintegrasi dengan kekuasaan politik (pemerintah daerah), mirip dengan masa sebelum Reformasi 1998 di mana Polri berada di bawah ABRI (TNI).

3. Perubahan nomenklatur institusi Polri menjadi di bawah Kementerian Pertahanan

Menempatkan Polri di bawah Kementerian Pertahanan (Kemhan) adalah langkah yang kontroversial karena secara fundamental bertentangan dengan prinsip reformasi 1998 yang memisahkan Polri dari militer (TNI).

Dampak positif (teoritis): Koordinasi yang lebih baik dalam isu keamanan nasional dan ancaman pertahanan.

Dampak negatif: Mengembalikan Polri ke militerisme (penekanan pada fungsi pertahanan dan kekerasan), berpotensi melanggar hak asasi manusia, dan mengaburkan perbedaan peran antara pertahanan (TNI) dan keamanan dalam negeri/penegakan hukum (Polri).

4. Perubahan nomenklatur institusi Polri model internasional

Model internasional bervariasi, namun umumnya dibagi menjadi:

  • Model Terpusat (Federal): Kepolisian Federal (Investigasi/Intelijen) dan Kepolisian Lokal/Negara Bagian (Patroli/Ketertiban Umum).
  • Model Terintegrasi: Kepolisian di bawah Kementerian Dalam Negeri atau Keamanan (seperti di banyak negara Eropa).
  • Model Komando Langsung Presiden: Polri langsung di bawah Presiden, seperti kondisi Indonesia saat ini, namun dengan pengawasan ketat.
  • Perubahan ideal yang diharapkan sering mengarah pada pemisahan fungsi antara kepolisian sebagai penegak hukum dan kepolisian sebagai penjaga ketertiban umum/pelayanan masyarakat, mirip dengan usulan 1 (Kementerian Keamanan) tetapi dengan institusi penegak hukum yang kuat dan independen.

5. Perubahan nomenklatur institusi Polri yang diharapkan reformasi

Secara umum, aspirasi reformasi kepolisian yang diharapkan publik pascademonstrasi seringkali meliputi:

  • Pemisahan fungsi penegakan hukum: Pembentukan badan investigasi kriminal yang independen dan terpisah dari Kepolisian Umum, di bawah koordinasi Kementerian Hukum atau badan independen (seperti KPK yang diperkuat).
  • Akuntabilitas sipil: Penguatan pengawasan eksternal oleh Kompolnas dan lembaga sipil yang efektif.
  • Fokus pelayanan publik: Kepolisian yang berfokus pada fungsi Public Safety dan Community Policing (Polisi Masyarakat), bukan sebagai alat kekuasaan.
  • Sistem karir dan budaya baru: Perubahan kurikulum pendidikan, sistem promosi berbasis kinerja, dan sanksi tegas untuk pelanggaran (reformasi kultural).

6. Kesimpulan

Reformasi kepolisian dengan perubahan paradigma kepolisian yang model keprajuritan/militeristik walau secara kelembagaan sudah sipil terpisah dari TNI menuju pada kepolisian yang menerapakan kultur sipil, yang memerlukan perubahan institusi Polri menjadi bernaung di salah satu kementerian semisal di bawah Kementerian Keamanan atau bernaung di bawah Kementerian Dalam Negeri atau fungsi kepolisian di sebar ke banyak kementerian/lembaga yang merupakan respons terhadap akumulasi ketidakpercayaan publik dan representasi dari keinginan untuk depolitisasi dan desentralisasi kekuasaan kepolisian.

Secara praktis, perubahan fundamental fungsi kepolisian itu harus tetap sesuai dengan amandemen UUD 1945 (Pasal 30 ayat 4) yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, dan Peran utama Polri adalah menjaga “keamanan dalam negeri”, yang meliputi “fungsi” keamanan, ketertiban, pelayanan, dan penegakan hukum.  Dan di sisi lain perubahan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, agar sesuai amandemen UUD 1945 (Pasal 30 ayat (5) : Susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam pemerintahan negara, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan undang-undang yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Arah reformasi yang lebih realistis dalam konteks Indonesia adalah memperkuat fungsi Keamanan Dalam Negeri (sesuai pasal 30 ayat 4 amandemen UUD 1945), mempertegas fungsi pelayanan publik di tingkat Polsek/Pospol, dan meningkatkan pengawasan eksternal dan internal, sambil tetap menjaga posisi keamanan dalam negeri itu yang paling relevan adalah di bawah kementerian Dalam Negeri, atau berubah menjadi Kementerian Keamanan agar sesuai dengan pasal30 ayat 4 amanademen UUD 1945.

img
Hadi Supratikta
Kolomnis
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan