sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ancaman UU ITE terhadap candaan di dunia nyata yang dilakukan di medsos

Sebagian masyarakat mungkin belum terlatih atau terdidik dalam bermedia sosial sehingga terjadi pelanggaran norma.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Selasa, 11 Jan 2022 14:58 WIB
 Ancaman UU ITE terhadap candaan di dunia nyata yang dilakukan di medsos

Data yang paling panjang dari laporan masyarakat yang diolah kepolisian di tahun 2021 ialah pencemaran nama baik sebanyak 780 laporan. Di mana kaitannya yang paling banyak pada Pasal 27 ayat 3 UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik). 

Uraian pendataan itu diungkapkan Kombes Pol Alfis Suhaili dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri). Penyidik Tindak Pidana Madya Tingkat II itu menguraikannya dalam diskusi virtual Dewan Pers di penghujung tahun 2021 lalu.

Alfis menggambarkan terjadinya perubahan sosial saat ini. "Jadi dari masyarakat yang dulunya suka bercanda dan dalam dunia nyata (apa yang dilakukan itu sebenarnya) bukan tindak pidana. Mengucapkan kata-kata kasar di dunia nyata itu bukan tindak pidana. Tetapi ketika itu ditulis dalam status atau sebuah postingan akhirnya menjadi sebuah pelanggaran norma.

"Banyak laporan masyarakat yang (jika dicermati apabila persoalan itu terjadi) di dunia nyata tentu tidak mungkin menjadi sebuah laporan polisi," sambungnya.

Mantan Direktur Kriminal Khusus Polda Maluku Utara menilai 780 laporan polisi tersebut terkait dengan dua gejala. Pertama, ini sebuah fenomena bagaimana sebagian masyarakat mungkin belum terlatih atau terdidik dalam bermedia sosial sehingga terjadi pelanggaran norma. Kedua, mungkin belum terlatih untuk dikritik. Seperti jurnalis melakukan kritik dalam liputan dan akhirnya dilaporkan.

Menurut Alfis, setiap laporan yang masuk, polisi akan mulai dengan proses penyelidikan. Apabila laporan tersebut berkaitan dengan jurnalis tentu polisi mengundang jurnalis itu untuk memberikan klarifikasi sebagai bentuk perimbangan terhadap pihak yang melaporkan. Jika ada pelanggaran kode etik, maka akan diserahkan kepada Dewan Pers untuk diselesaikan.

Tetapi jika ranahnya berada di luar UU Pers, dan di dalamnya terdapat potensi tindak pidana, polisi akan melanjutkan proses penyidikan. Penyidikan ditujukan untuk mengumpulkan alat bukti. Selain mengundang ahli-ahli yang lain seperti ahli bahasa, pakar pidana, ahli di bidang UU ITE, polisi juga dapat meminta kesediaan ahli pers sebagai keterangan yang menjadi bagian penting dari proses penyidikan. Itu tidak serta merta sama, bisa juga banyak perbedaan pendapat di antara para ahli. Secara normatif, penyidik hanya menggelarkan alat bukti yang diperoleh.

Sejauh pengamatan Agung Dharmajaya, anggota Dewan Pers, dua hal harus dilihat dari kasus-kasus pers yang terjadi. Kasus yang benar-benar terkait dengan pemberitaan, maka siapapun yang merasa dirugikan karena berita itu silakan menggunakan haknya untuk meminta hak jawab atau hak koreksi terhadap kerugian atas pemberitaan tersebut.
 
Itu mengacu Undang-undang 40 tahun 1999 (UU Pers) yang menjamin bahwa ketika kasus-kasus yang dilaporkan oleh siapapun juga terkait dengan pemberitaan, terlebih yang merasa dirugikan dengan pemberitaan tertentu, diperkenankan menggunakan hak jawab atau meminta hak koreksi. Pemberitaan mengenai pihak tertentu (yang kemudian merasa dirugikan itu) ialah yang muncul di media, dalam hal ini media cetak, elektronik, televisi, dan radio serta media online.

Sponsored

"Mekanisme hak jawab ialah memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk menjawab isi berita yang dinilai memiliki kesalahan. Tapi banyak juga pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan kemudian membuat laporan pada kepolisian," kata Agung.

Berita Lainnya
×
tekid