sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Karni-Dahlan, reuni dua senior, dari tiras koran kecil sampai mati muda dan kerja gila

Tapi setelah Karni meninggalkan Dahlan, perkembangan Jawa Pos dari Surabaya itu menjadi luar biasa. Grup Jawa Pos membikin banyak cabang.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 16 Sep 2021 16:51 WIB
Karni-Dahlan, reuni dua senior, dari tiras koran kecil sampai mati muda dan kerja gila

Wartawan senior Karni Ilyas berbincang dengan sesama jurnalis kawakan, Dahlan Iskan. Mereka menayangkan obrolan di kanal YouTube, akhir Agustus lalu.

Atas izin dari Karni Ilyas Club, Alinea.id diperkenankan memetik hikmah di balik nostalgia mereka berdua, terutama saat-saat mulai membangun sebuah media baru di ujung timur Pulau Jawa, 40 tahun yang silam.

Berikut, nostalgianya:

Karni Ilyas kini menjulang nama besarnya sebagai pemimpin pasukan militan di stasiun televisi. Dia mengaku bahwa dirinya dan Dahlan Iskan merupakan kolega satu angkatan di majalah Tempo.

"Kami adalah angkatan yang sama di majalah Tempo, katankanlah ketika Tempo berkembang (akhir) tahun 70-an (hingga awal) 80-an itu, kami di sana sebagai reporter. Bukan (reporter) yunior juga. Karena kita bekas wartawan dari media lain. Itu sekitar 40 tahun lalu," katanya.

Suatu ketika dia ditugaskan mendampingi Dahlan ketika Jawa Pos baru dibeli Tempo. Jawa Pos ketika itu baru 3000 atau 5000 oplahnya ketika mereka bergerak ke sana.

"Kita siang-malam kerja di kantor Jawa Pos di (bilangan Kembang Jepun, Surabaya) itu spartan. Artinya tidak bermewah-mewahan. Apa adanya. Media itu dibangun dengan keringat. Dan maju pesat. Tiga bulan kemudian oplahnya sudah 70.000 kalau saya tidak salah. Dan saat itu saya baru diizinkan meninggalkan Surabaya," ujar Karni.

Dahlan memberikan Karni sebuah kesan yang luar biasa. "Dia itu sama-sama saya sampai malam bikin berita, editorial segala macam, merekrut orang karena orangnya harus kita ganti banyak. Terus saya pulang, mobilnya dikasih ke saya High-Liner setir sendiri. Dia pulang ke rumah pakai mobil pikap koran, bawa soft copy lay-out ke percetakan. Dan jam 5 pagi dia sudah bangun lagi, menjadi loper koran Jawa Pos itu. Dia sendiri membagi-bagikan ke rumah-rumah langganan. Sementara saya masih tidur di hotel. Dan dia tidak protes, jalan terus. Tapi begitulah kerja keras seorang Dahlan Iskan. Dia memang wartawan ulet," serunya.

Sponsored

Kala itu diketahui Karni bahwa Dahlan sudah mengidap penyakit Hepatitis B. Bedanya, walaupun sama-sama seangkatan, Karni masih menyukai gaya hidup enak. Satu hari Karni berkata, "Sekarang kamu sudah kena Hepatitis, 20 tahun lagi kamu bisa mati kena kanker hati." Apa jawab Dahlan? "Saya kan sudah pasti matinya (karena) kanker hati, kalau kamu matinya belum jelas karena apa?"

"Sialan," seloroh Karni.

Tawa dua senior itu berderai menghiasi segmen terakhir siaran video berdurasi 42 menit 25 detik di YouTube.

Tapi setelah Karni meninggalkan Dahlan, perkembangan Jawa Pos dari Surabaya itu menjadi luar biasa. Grup Jawa Pos membikin banyak cabang di Ujung Pandang, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dengan nama anak media macam-macam seperti Radar dan Ekspres di Sumatra Selatan, bahkan sampai ke Jambi segala.

"Jadi waktu itu saya tahu persis, orang sakit lever ini," kata Karni seraya menunjuk Dahlan yang duduk di sampingnya. "Hari ini ada di Surabaya, besok di Ujung Pandang, lusa ada di Manado, habis itu di Kaltim. Hari berikutnya dia ada di Sumatra, balik lagi hari Minggu mungkin sampai di Jakarta. Karena dia punya Indopos dan Rakyat Merdeka (di ibukota). Saya tidak tahu berapa banyak (Dahlan) memiliki gurita media waktu itu. Jadi dia hanya sehari, sehari saja, di setiap kota tersebut."

Sampai akhirnya Karni mendengar Dahlan harus dioperasi, diganti levernya dengan yang baru. Itu, katanya, lebih hebat lagi.

"Saya dengar ini, walaupun saya belum konfirmasi. Dia ke China beberapa bulan sebelum operasi. Empat bulan. Mau ngapain? Belajar bahasa China dulu. Jadi supaya dia bisa komunikasi sama dokter-dokter China. Jadi sekarang ini bahasa China dia sepertinya lebih lancar dari orang Singkawang atau orang Pontianak, yang bahasanya satu dialek saja. Dahlan (menguasai) banyak dialek," ucapnya.

Kendati keduanya mulus berkarier, Karni mengaku banyak yang iri dengan mereka. Karena dia tahu persis Dahlan yang maju cepat sekali. "Orang-orang di Tempo waktu itu masih biasa-biasa saja. Tapi tidak tahu apa yang dikerjakan Dahlan. Sehingga dia iri," ungkapnya. Tapi Karni tidak secara gamblang menyebutkan nama siapa yang dirasakan punya dengki terhadap mereka berdua.

Dia memilih kalimat bijak tentang kunci sukses di dunia ini: "Anda tidak boleh berpangku tangan, Anda harus lebih rajin dari semua orang, Anda juga harus lebih pintar dari banyak orang. Itu kesan saya tentang Dahlan," kata Karni.

Dahlan sendiri merasa senang sekali Karni mau datang ke Surabaya untuk bersama-sama membangun Jawa Pos. "Di tahun-tahun pertama ketika masih sangat sulit-sulitnya, sampai mobil saya serahkan Pak Karni. Saya pakai mobil pikap tadi. Karena waktu itu, kita harus mendidik bagaimana wartawan menulis berita, bagaimana mencari berita, kemudian kita mulai pingin ada wartawan baru. Bagaimana cara memilih wartawan baru. Pak Karni semua ikut mengerjakan itu selama tiga bulan penuh. Dan ketika oplah sudah mulai maju, Pak Karni pamit balik ke Jakarta. Saya terima kasih sekali. Pak Karni meninggalkan jejak yang sangat penting pada awal-awal pertumbuhan Jawa Pos," sambungnya.

Soal guyon Karni mengenai kematian, Dahlan ternyata menyimpan cerita di baliknya. "Sebetulnya di balik itu, Pak Karni, saya itu memang sejak dulu punya keyakinan saya itu akan mati muda. Kenapa? Karena ibu saya mati umur 40-an, kakak saya mati umur 40-an, Pakde saya mati umur 40-an. Itu, bagi saya, mungkin saya juga mati umur segitu. Mereka semua mati karena sakit lever cuma karena di desa jadi tidak tahu kanker atau bukan sebab juga tidak pernah ke dokter," tutur Dahlan.

Ia merasa dirinya pun nanti akan mati muda. Karena itu, Dahlan di balik kerja kerasnya juga menganut prinsip intensifikasi umur. Karena dia tahu umurnya tidak akan panjang maka dia harus mengintesifkan umur. Karena bagi dirinya, umur panjang tidak produktif lebih jelek dari umur pendek tapi produktif. "Ternyata sekarang saya umur 70 tahun ini lebih tua dari Pak Karni dua tahun, dan masih bisa produktif," ujarnya.

Dahlan mengaku terus terang bahwa Karni di bidang kewartawanan merupakan idolanya. Mereka bisa sama-sama sakit hati kalau ada karya wartawan ecek-ecek.

"Kalau ada karya wartawan ecek-ecek bukan main sakit hatinya ini. Sehingga kadang-kadang kita mau mengerjakan sendiri. Pak Karni juga begitu dulu," pungkasnya.        

Berita Lainnya
×
tekid