sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pentingnya media menahan diri dalam kasus Ratna

Pilihan mengedepankan akurasi atau kecepatan adalah perdebatan klise yang terjadi di media digital.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Sabtu, 06 Okt 2018 14:17 WIB
Pentingnya media menahan diri dalam kasus Ratna

Partai Demokrat berang atas dugaan penganiayaan aktivis yang juga jurkamnas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ratna Sarumpaet. Ketua DPP PD Jansen Sitindaon menyebut, dugaan penganiayaan itu biadab.

"Atas dasar apa pun biadab betul pelaku penganiayaan terhadap Ibu Ratna Sarumpaet ini," kata Jansen kepada wartawan, Selasa (2/10). Demikian tulis Detik.com, merespons kabar penganiayaan yang menimpa ibunda Atiqah Hasiholan tersebut. Detik.com menjadi salah satu media tercepat yang memberitakan isu ini.

Di waktu relatif bersamaan, sejumlah media lain bersahutan mengangkat dugaan penganiayaan Ratna. Viva mewawancarai Ketua Presidium 212 Aminudin Atbar, yang sebelumnya sempat mengunggah foto wajah Ratna dengan kondisi bengap dan lebam di twitter. Aminudin mengaku mendapat keterangan dari sopir Ratna. Tak ada keterangan langsung dari mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini sama sekali. Tak lama kemudian, Viva kembali mengunggah berita soal Ratna, dengan mengutip pernyataan politisi Fadli Zon di akun twitter pribadinya.

Saat pertama informasi mencuat, kebanyakan media memang tak mencantumkan keterangan dari Ratna langsung. Rerata mewawancarai atau sekadar mengutip keterangan politisi dari kubu Prabowo Subianto, seperti Mardani Ali Sera, Rachel Maryam, dan Sandiaga Uno di twitter. Beberapa narasumber yang dikutip media, juga tak mendapat keterangan langsung dari kesaksian Ratna, melainkan sumber kedua. Alasannya, mereka tak bisa mewawancarai langsung Ratna yang disinyalir tengah mengalami trauma berat saat itu.

Apa yang menimpa Ratna pun dengan segera merebut perhatian publik, mengalahkan berita soal gempa Palu-Sigi-Donggala. Dalam sepekan terakhir saja, ada 311 media yang mewartakan isu penganiayaan Ratna. Detik.com menjadi media yang terbanyak menulis isu itu dengan total berita mencapai 134 buah.

Berita pertama muncul dengan angle pembeberan informasi soal dugaan penganiayaan. Begitu ada kecurigaan kabar itu hanya pepesan kosong, Detik.com buru-buru meminta konfirmasi kepada manajemen Bandara Husein Sastranegara, Bandung sore harinya.

Media berikutnya yang paling banyak menginfokan soal ini adalah Tribun News 76 berita, Tempo Interaktif 73 berita. Lalu disusul Pojok Satu 66 berita, dan Jawa Pos 56 berita. Kebanyakan media daring ini memberitakan isu Ratna dengan sentimen negatif. Berita soal Ratna di Detik.com punya proporsi sentimen negatif sebanyak 51,32%, Tribun 49,49%, Tempo Interaktif 40,96%, Pojok Satu 45,71%, dan Jawa Pos 43,55%.

Kendati selang sehari Ratna segera mengakui semua informasi penganiayaan itu hanya omong kosong, media tetap punya sentimen berita negatif terhadap perempuan 69 tahun tersebut. Tak hanya Ratna, sentimen negatif pun terbaca pada Prabowo Subianto. Mantan suami Titiek Soeharto ini sendiri awalnya paling reaktif membela Ratna. Bahkan menuding ada oknum dari kubu lawan yang berusaha membungkam Ratna.

Sponsored

Ini mirip seperti kejadian mobil terbakar yang menimpa pendukung Prabowo Neno Warisman. Fadli Zon lewat twitter dulu sempat berkicau, "Dapat kabar dari Mbak Neno Warisman, mobilnya ada yang ledakkan atau bakar. Kalau ini teror maka jelas perbuatan pengecut. Maju terus mbak, jangan takut," tulis Fadli. Usut punya usut, belakangan baru diketahui mobil itu terbakar karena ada korsleting listrik.

Ratna sendiri tak seberuntung Neno yang hingga kini masih menjadi bagian tim kampanye Prabowo-Sandiaga. Ia dipecat. Politisi dari kubu Prabowo yang mulanya di garda depan membela Ratna pun segera putar balik. Kemarin, niatnya pergi ke Chile, Argentina dicekal. Sudah jatuh tertimpa tangga, kini ia harus menerima konsekuensi sebagai tersangka penebar hoaks.

Pilih kecepatan atau akurasi?

Lantas bagaimana media memosisikan diri dalam kasus ini? Dari total 2.373 berita soal Ratna, hampir seluruh media daring memberitakan informasi itu meski tanpa verifikasi dari Ratna. Mulanya media mengutip dari platform twitter. Kalau ada wawancara pun, beberapa media latah hanya menghubungi satu narasumber saja dari kubu Prabowo. Lalu pada Rabu (3/10), begitu kepolisian merilis laporan kejanggalan kasus Ratna, media tergopoh-gopoh meminta konfirmasi sana-sini.

Bagaimana media memosisikan diri dalam kasus berita hoaks Ratna Sarumpaet? Alinea.id.

Menurut pedoman pemberitaan media siber Dewan Pers, media memang memiliki hak untuk merevisi berita yang diduga keliru menyajikan fakta. Namun ini bisa menjadi simalakama bagi media itu sendiri. Kellie Riordan dalam “Accuracy, Independence, and Impartiality” (2014) menuturkan, terlambat menampilan berita terbaru bisa merusak reputasi media. Namun, merevisi terus-menerus berita yang sudah tayang, juga rentan mengikis kepercayaan publik.

Meski begitu, tak bisa otomatis media disebut berperan menyebarkan hoaks. Mantan peneliti Remotivi yang kini mengambil Master di Universitas Leeds Wisnu Prasetya menilai, wartawan dihadapkan pada posisi yang membingungkan. “Jawabannya bisa disebut ikut menebarkan hoaks, bisa pula tidak. Saat wartawan meliput konferensi pers Prabowo soal Ratna, itu tidak salah, sebab ada nilai beritanya,” ungkapnya.

Menjadi keliru apabila media tak mewawancarai siapa pun, menempel dari sana-sini, twitter, dan lainnya, lalu membuat kesimpulan Ratna telah dianiaya. Apalagi, imbuhnya, media kita mayoritas tak bertanya langsung pada Ratna sebagai sumber utama. Namun, mereka memilih bertanya pada elite politik. “Ya, jelas langsung digoreng oleh politisi itu,” tuturnya.

Dosen jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto punya pendapat berbeda. Menurutnya, latah media ikut menyebarkan hoaks Ratna lantaran terjebak pada sensasionalisme dan tuntutan kecepatan semata. “Media pertama kali harusnya bisa lihat, apakah urusan Ratna menyangkut kepentingan umum atau tidak. Menurut saya ini bukan urusan publik. Ini cuma urusan pribadi salah satu politikus. Jadi tak perlu diberitakan,” tandasnya.

Ketika media sekaliber Kompas, Tempo, Detik, dan lainnya kemudian gaduh memberitakan isu ini dari awal, maka yang dirugikan adalah publik. Masyarakat, tambahnya, butuh informasi yang bisa diandalkan. Sementara media di Indonesia menjelma kapal yang tertepa badai, terombang-ambing di laut tanpa kejelasan.

Di amerika, media arus utama seperti New York Times, Guardian, BBC cenderung mempertimbangkan akurasi, alih-alih kecepatan. Meski mereka pernah salah lalu merevisi kesalahan fakta itu, namun tak sebanyak kesalahan di media Indonesia.

“Tak perlu ikut arus. Media perlu menahan diri. Menurut saya berita ini murni click bait. Urusan untuk publik tak jelas. Saya sendiri memilih untuk tak peduli urusan Ratna awalnya,” terang penulis buku “Jurnalisme Era Digital: Tantangan Industri Media Abad 21” (2014) ini.

Jika kemudian media mengoreksi beritanya, itu sama saja dengan usaha membunuh kredibilitas media itu sendiri secara perlahan. Upaya koreksi, jelasnya, tak perlu dilakukan jika media skeptis dari awal. “jadi kita tak perlu kecele seperti ini,” ujarnya.

Mengutip Kovach dan Rosentiel dalam “Blur” (2012), salah satu jalan agar media tak terjebak sensasionalisme dan urusan kecepatan adalah sikap skeptis. Peran pers di era banjir informasi sebagai penjaga pintu atau watchdog jadi tak relevan, jika pintu itu telah dijebol. Media tak lagi berperan menentukan mana yang perlu dan tak perlu, ketika publik bisa dengan mudah mengakses informasi dari berbagai kanal.

Untuk itu, pilihan menjadi skeptis menurut keduanya perlu diambil. Caranya, yakni dengan menegakkan disiplin verifikasi. Verifikasi dalam kaidah jurnalistik diperoleh lewat enam formula pertanyaan, yaitu: 1. Jenis konten berita; 2. Kelengkapan informasi; 3. Siapa atau apa sumbernya, laikkah percaya pada sumber tersebut; 4. Adakah bukti yang bisa diuji; 5. Perlukah penjelasan alternatif; 6. Apakah wartawan cukup menelaah apa yang mestinya ia ketahui.

Jika jawaban itu terpenuhi, maka media bisa membangun kesadaran praktik jurnalisme baru yang oleh Kovach dan Rossentiels masuk kategori jurnalisme verifikasi atau tradisional. Jadi, media tak hanya sekadar mengejar kecepatan, tapi mementingkan akurasi fakta dan data. Ciri yang mudah dikenali dari praktik ini adalah keragaman sumber yang digunakan. Jadi, tak hanya mengutip dari salah satu sumber apalagi mencari pernyataan mereka di twitter saja.

Berita Lainnya
×
tekid