sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Aksi 22 Mei, manuver politik menggugat pilpres

Kerusuhan terjadi di beberapa titik di Jakarta. Menimbulkan korban jiwa.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 23 Mei 2019 19:40 WIB
Aksi 22 Mei, manuver politik menggugat pilpres

Aksi massa dan pilpres

Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo memandang, upaya untuk mengubah hasil pilpres dengan aksi massa hanya berbuntut kesia-siaan. Menurutnya, dalam sejarah pemilu di Indonesia, tak pernah ada tekanan apa pun yang bisa mengubah hasil pilpres.

"Nanti, ada pula proses di MK (Mahkamah Konstitusi). Dari pengalaman, MK juga enggak bisa ditekan-tekan. Terlebih, memang enggak pernah ada kasus tekanan berujung perubahan hasil pilpres," tutur Hermawan saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (23/5).

Hermawan membandingkan Pilpres 2019 dan Pilpres 2014. Menurutnya, sengketa Pilpres 2014 wajar terjadi karena margin selisih kekalahannya tipis, hanya 3% hingga 4%. Sehingga, jika dipersoalkan masalah kecurangan, semisal kesalahan input data, bisa dipertanyakan.

"Tapi, sekarang ini selisih margin besar sekali, lebih dari 10%," ujar Hermawan.

Anggota kepolisian menembakkan gas air mata ketika terjadi kericuhan di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5). /Antara Foto.

Jika posisi marginnya besar, Hermawan pesimis kubu Prabowo-Sandi mampu mengubah hasil pilpres. Bahkan, kata dia, meski seluruh tuntutan kecurangan diterima, tetap tak akan bisa mengubah hasil pilpres. Pada 2014, tuntutan kubu Prabowo, yang saat itu berpasangan dengan Hatta Rajasa ditolak MK.

"Sekarang rasanya tidak ada cukup bukti yang kuat," kata Hermawan.

Sponsored

Namun, bila dibandingkan dengan kerusuhan pasca-Pilpres 2014, Hermawan mengatakan, kerusuhan lebih parah terjadi saat ini.

Lebih lanjut, ia mengatakan, setiap perhelatan pemilu sejak Orde Baru, polanya sama saja. Seusai pengumuman hasil pilpres, biasanya disusul gugatan dan kerusuhan. Sehingga, aktor intelektual di baliknya mudah tertebak.

Bagi Prabowo, kata dia, hasil Pilpres 2019 ini jadi serangkaian kekalahan yang menguras banyak uangnya. Setelah Pilpres 2014, lanjut dia, Prabowo masih berharap bisa menang di Pilpres 2019. Namun, kalah pilpres tahun ini, betul-betul pukulan berat baginya.

"Yah, suruh saja dia (Prabowo) maju lagi 2024 nanti. Semoga dia bisa melupakan kerugian atas kekalahannya. Memang kayak berjudi, bisa hilang berapa triliun," kata Hermawan.

Kepentingan elite politik

Mantan aktivis 1998 Mixil Mina Munir mengatakan, jika dibandingkan, kerusuhan pada 22 Mei 2019 jelas berbeda dengan 1998. Menurutnya, saat ia masih menjadi aktivis, pada 1998 yang muncul adalah gerakan moral, sedangkan 22 Mei 2019 adalah gerakan politik.

“Gerakan moral itu didasari oleh kekecewaan masyarakat terhadap moralitas kekuasaan. Kalau gerakan politik didasari oleh keinginan atau ambisi kepentingan politik,” kata Mixil saat dihubungi, Kamis (23/5).

Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad S Widhyharto mengatakan, aksi 22 Mei sarat kepentingan politik. Ia menilai, mereka bukan menyuarakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, tetapi keadilan dalam konteks kepentingan politik.

Para tersangka provokator kerusuhan yang berhasil dibekuk polisi, Rabu (22/5). Alinea.id/Ayu Mumpuni.

“Momentum beriringan dengan pengumuman hasil pilpres, dampaknya adalah muncul aksi massa,” ujar Derajad saat dihubungi, Rabu (22/5).

Menurut Derajad, bila untuk kepentingan sosial, aksi massa tak akan memakai atribut identitas, seperti berpakaian seragam putih-putih, serta membawa atribut dan bendera tertentu.

Derajad mengatakan, jika aksi massa tujuannya untuk kepentingan sosial, tentu akan banyak warga hadir tanpa dikoordinasi. “Tanpa ada yang sifatnya sistematis, mereka langsung berangkat,” ucap Derajad.

Sementara itu, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi menyebut, ada empat alasan mengapa aksi 22 Mei memanas. Pertama, elite politik menggunakan narasi-narasi mengancam, seperti jihad. Kedua, mengerasnya sentimen antarcalon presiden. Ketiga, situasi politik yang ditunggangi segelintir elite.

“Jika turun ke lapangan, terlihat warnanya. Bukan hanya Islam, tetapi ada warna prodemokrasi yang memang secara prinsipil punya problem,” kata Muradi saat dihubungi, Kamis (23/5).

Keempat, terkait ketidaknyamanan dengan kebijakan politik negara masa pemerintahan Jokowi. "Di situ, ada kelompok eks HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), kelompok teror, ada kelompok prodemokrasi. Itulah yang membuat situasi dua hari terakhir menjadi makin tegang," ujar Muradi.

Suasana pasca kerusuhan di sekitaran jalan MH. Thamrin, Jakarta, Kamis (23/5). /Antara Foto.

Menurut Muradi, membesarnya kelompok Islam radikal merupakan efek sentimen yang kian menguat. Namun, katanya, sentimen Islam radikal kini terbagi. Ada yang terakomodir di dalam HTI, teroris, dan kelompok garis keras pendukung Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Muradi menyimpulkan, aksi massa 22 Mei dipicu situasi politik, sentimen Islam, dan memontum yang pas. Menurutnya, massa dari berbagai elemen berkumpul jadi satu membangun narasi antipemerintah, dan bertujuan menjatuhkan Jokowi dari kursi kepresidenan.

Ia memetakan, aksi 22 Mei saat siang hari yang berlangsung damai di depan Gedung Bawaslu, terkesan normatif. Sementara pada malam hari, katanya, diagendakan untuk bentrok.

Muradi melanjutkan, selama dua hari (21 dan 22 Mei) aksi massa yang diarahkan antipemerintah sebenarnya sudah gagal. Sebab, kata dia, yang dibangun narasi anarkis. Massa pun berhasil diblokade di lokasi tertentu.

Aksi massa terjadi di beberapa titik di Jakarta.

"Yang diblok cuma daerah situ saja (daerah-daerah bentrok). Di Kuningan, normal biasa. Semanggi juga normal biasa. Sebetulnya berusaha untuk memperluas kekacauan, tetapi gagal juga," tutur Muradi.

Muradi melihat, massa yang ada di sekitar Gedung Bawaslu, Slipi, Petamburan, dan Tanah Abang, tak sepenuhnya berbeda, tetapi beririsan.

Massa yang memantik kerusuhan, kata Muradi, berasal dari preman yang dibayar dan anak-anak muda kampung tukang tawuran. Sementara aksi massa yang damai berasal dari berbagai kalangan, bukan saja dari pendukung pasangan nomor urut 02.

“Aspirasi yang disuarakan tidak hanya tuntutan kubu Prabowo-Sandi, melainkan juga aspirasi-aspirasi kelompok lainnya,” kata Muradi.

Berita Lainnya
×
tekid