Survei BPS: Jemaah sangat puas dengan penyelenggaraan ibadah haji 2022

Indeks kepuasan jemaah atas penyelenggaran ibadah haji (IKJH) meningkat pada 2022. Bahkan, tertinggi sejak survei digelar Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010.

"Indeks kepuasan jemaah haji 1443 H/2022 M mencapai 90,45. Ini masuk kategori Sangat Memuaskan," ucap Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, Kamis (5/1). "Ini ... yang pertama kali dalam 11 kali pelaksanaan survei IKJH."

Menag pun mengucapkan terima kasih kepada jemaah haji Indonesia. Sebab, bersedia mengisi instrumen yang disiapkan BPS.

"Jika ini dinilai sebagai sebuah keberhasilan, maka keberhasilan itu tidak terlepas juga dari peran seluruh jemaah haji Indonesia," tuturnya, melansir situs web Kementerian Agama (Kemenag).

Berdasarkan hasil survei BPS, kenaikan IKJH terjadi di semua daerah kerja. Perinciannya, Madinah 89,42, Makkah 91,57, Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) 89,64, dan bandara 91,28.

Aspek layanan di Armuzna juga terjadi mengalami peningkatan. Layanan transportasi 91,54, katering 90,08, dan tenda 87,91.

Adapun tingkat kepuasan atas layanan di luar Armuzna adalah transportasi bus antarkota 91,93, petugas 90,32, transportasi bus selawat 90,76, ibadah 90,31, katering 91,72, hotel 89,35, dan umum/lainnya 89,73.

"Capaian ini menggembirakan, tapi juga menjadi tugas berat bagi Kementerian Agama dan stakeholders terkait untuk bisa mempertahankannya. Apalagi, kuota jemaah haji Indonesia tahun 2023 kita harapkan sudah kembali normal," tuturnya.

Sebagai informasi, ibadah haji 1443 H/2022 M diikuti 100.051 jemaah. Ibadah haji tahun lalu merupakan penyelenggaran perdana di masa pandemi Covid-19 sehingga berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Perbedaan tersebut terlihat pada jumlah dan karakteristik jemaah haji, seperti usia dan pendidikan. Pada 2019, sekitar 221.000 jemah yang beribah ke Tanah Suci. Kemudian, Arab Saudi melarang jemaah berusia di atas 65 tahun dan 52% orang di antaranya berpendidikan tinggi (diploma hingga S-3), disusul SMA 30%, SMP 9%, SD 6%, dan 3% tak teridentifikasi tidak sekolah.