sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jargon usang cinta produk Indonesia dari Sukarno hingga Jokowi

Sejak zaman pemerintahan Sukarno, pemerintah kerap menggaungkan cinta produk Indonesia. Namun, realitanya jauh panggang dari api.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Jumat, 12 Mar 2021 15:49 WIB
Jargon usang cinta produk Indonesia dari Sukarno hingga Jokowi

Dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3), Presiden Joko Widodo atau Jokowi menginginkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) punya strategi yang pas untuk mengembangkan pasar produk nasional. Salah satunya dengan mendukung program “Bangga Buatan Indonesia”.

“Ajakan untuk cinta produk Indonesia harus terus digaungkan. Gaungkan juga benci produk dari luar negeri. Jadi, cinta barang kita, tapi benci produk luar negeri,” ujar Jokowi.

Ia mengatakan, dengan jumlah penduduk 270 juta, Indonesia merupakan pasar yang potensial. Ia berharap, slogan cinta produk dalam negeri dan benci produk luar negeri bisa menjadikan masyarakat Indonesia konsumen paling loyal terhadap hasil buatan domestik.

Berdikari ala Sukarno

Setelah kemerdekaan, produk luar negeri mulai muncul di Indonesia. Pada 1950-an, barang-barang impor itu datang memenuhi kebutuhan rumah tangga dan perkantoran. Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1950-1970 (2018) menulis, pada 1950-an lemari es sudah dikenal di Jakarta. Mesin pendingin itu produksi General Elecric merek Frigidaire asal dari Amerika Serikat.

Radio berbentuk kotak berukuran besar, yang menggunakan tenaga listrik, ungkap Firman diimpor dari Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat. Namun, pada akhir 1950-an, Indonesia mulai memproduksi sendiri radio transistor—bertenaga baterai—yang diproduksi Nasional Gobel. Pabriknya ada di Jalan Saharjo, Tebet, yang sekarang menjadi Hotel Harris.

Jalan-jalan di Jakarta pada era 1950-an hilir-mudik mobil-mobil buatan Amerika Serikat dan Inggris. “Paling banyak adalah buatan Amerika, seperti Ford, Chevrolet, Dodge, Chrysler, Studebaker, Oldsmobile, dan Buick,” tulis Firman.

Sementara buatan Inggris, antara lain merek Austin, Morris, dan Land Rover. Ada pula buatan Italia merek Fiat, serta Jerman merek Volkswagen dan Opel.

Sponsored

“Mobil buatan Jepang mulai merajalela pada masa Orde Baru, akhir 1960-an, dan berbagai produk barang made in Japan lainnya,” kata Firman.

Pada 1950-an, sepeda motor masih sangat jarang ditemui. Firman mencatat, sepeda motor kala itu didominasi buatan Amerika dan Eropa, seperti Harley Davidson dari Cekoslowakia, lalu ada Ducati, Solex, dan Mobilette.

 Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (kiri) mengamati salah satu produk mobil keluaran pabrik mobil Esemka saat meresmikan pabrik mobil PT. Solo Manufaktur Kreasi (Esemka) di Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (6/9/2019)/Foto Antara/Aloysius Jarot Nugroho.

Di masa pemerintahan Presiden Sukarno, gelora cinta produk dalam negeri didengungkan lewat konsep berdikari—berdiri di atas kaki sendiri. Dalam sebuah perjalanan ke daerah-daerah di Indonesia, Bung Karno pun mengingatkan tentang berdikari. Menurut dia, di Asia—meski tak menyebutkan negara apa—ada negara yang makmur. Namun, sebenarnya negara itu tak berdiri di atas kekuatan dan kekuasaan sendiri.

“Negara itu bisa mentereng karena hidup dari pertolongan atau bantuan uang yang ditumpahkan negara lain kepadanya. Negara seperti itu pada suatu saat akan hancur lebur ketika tidak menerima bantuan lagi,” kata Sukarno, seperti ditulis ajudannya Mangil Matowidjojo di buku Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999).

Dalam kesempatan itu, Bung Karno menganjurkan rakyat Indonesia bisa menolong diri sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, dan bergantung pada tenaga sendiri. “Berdikari, percaya kepada kekuatan sendiri, tidak mengemis-ngemis,” kata Bung Karno, seperti ditulis Mangil.

Berulang kali, jika Sukarno tengah berpidato, berdikari disebut-sebut. Bahkan, Sukarno menyebut berdikari sebagai bagian dari Panca Azimat.

He orang-orang dari Panca Tunggal, Panca Azimat itu apa? Salah satu daripada Panca Azimat, nomor satu ialah Nasakom. Nasakom, Pancasila, Manipol-USDEK, Trisakti, Berdikari. Lima, Panca Azima,” kata Sukarno saat berpidato pada Sidang Panca Tunggal seluruh Indonesia di Istana Negara, 23 Oktober 1965, seperti termuat di buku Revolusi Belum Selesai (2014) yang disunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.

Dengan konsep berdikari, Sukarno tak ingin Indonesia bergantung kepada asing. Dalam pidato acara ramah-tamah dengan wartawan di Istana Bogor pada 20 November 1965, Sukarno lagi-lagi menyebut istilah berdikari.

“Jangan kita menghabiskan deviezen (devisa) untuk membeli pupuk dari luar. Padahal pupuk tweede klas (kelas dua) bisa kita bikin sendiri. Pupuk eerste klas (kelas satu) sudah kita mulai bikin,” ujar Sukarno.

Ia pun mencontohkan, Indonesia bisa membuat jus buah sendiri, tanpa mengimpor. “Masak Indonesia negeri mangga, kepingin minum mangga juice beli dari Mesir! Tidak kena itu, saudara-saudara,” sindir Sukarno.

Sukarno juga menyinggung produksi barang-barang berbahan karet. Ia menyebut, Indonesia adalah negara penghasil karet. “Lha kok barang-barang karet yang kecil-kecil itu kita harus beli dari luar negeri!”

Aku cinta produk Indonesia

Ketika kekuasaan berganti ke Soeharto, anjuran cinta produk dalam negeri belum surut. Pada 1985, ketika membuka pameran produksi Indonesia di lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Soeharto bangga.

“Pameran itu menggambarkan diri kita sendiri dan kemampuan kita sendiri, setelah kita sebagai bangsa berusia 40 tahun,” ujar Soeharto seperti ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH di buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).

“Kita lihat di sana, apa yang dapat kita produksi sendiri, termasuk produksi jasa, hasil penelitian, rancang bangun, dan perekayasaan.”

Untuk mendorong kesadaran rakyat agar cinta produk Indonesia, bahkan Soeharto sampai membentuk Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri di Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Posisi itu ditempati Ginandjar Kartasasmita.

Kampanye cinta produk Indonesia pun menggema melalui lagu “Aku Cinta Buatan Indonesia” yang dinyanyikan grup musik Bimbo. Lagu ini diputar di RRI dan TVRI pada 1980-an. Reff lagu itu sederhana, namun menancap dalam benak orang-orang yang hidup di era 1980-an: “Aku cinta, Anda cinta, semua cinta, buatan Indonesia…”

Medio 1990-an, Soeharto kembali menyinggung perkara cinta produk Indonesia, menjelang era perdagangan bebas tahun 2000. Di hadapan 150 peserta Musyawarah Nasional Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) di Tapos, Bogor, Jawa Barat pada 10 Desember 1995, ia mengaku bimbang dengan sistem perdagangan bebas yang sudah di depan mata.

Ia mengatakan, ketika perdagangan bebas diberlakukan, produk asing akan membanjiri negeri ini. Jika produk buatan sendiri ditinggalkan, maka industri akan tutup dan pengangguran merajalela.

Soeharto menandatangani ekspor pertama hasil pabrik baja PT Krakatau Steel./Repro buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan TIndakan Saya (1989).

“Akhirnya yang ada adalah kemelaratan. Ini bukan cita-cita kita,” kata dia ditulis Suara Karya, termuat di buku Presiden RI ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita (2008).

Jenderal yang murah senyum itu berkata, membeli dan menggunakan produk sendiri merupakan salah satu cermin sikap mental yang nasionalis. Menghadapi perdagangan bebas, ia berpesan agar rakyat menahan diri untuk membeli produk luar negeri.

“Kita ingin menjadi bangsa yang mandiri,” katanya.

Soeharto juga menginginkan siaran radio bisa menjadi corong propaganda rasa cinta produk buatan negeri sendiri. Hal itu, misalnya bisa diwujudkan dengan menyiarkan program khusus untuk anak-anak yang berisi pesan rasa cinta produk dalam negeri.

“Anak-anak balita itu pada tahun 2020 akan menjadi dewasa dan sejak dini hendaknya mereka ditanamkan rasa cinta produk dalam negeri,” kata Soeharto.

Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY ajakan cinta produk dalam negeri kembali terdengar. Kali ini melalui slogan “100% Cinta Indonesia”.

Kampanye untuk mempromosikan produk Indonesia itu diluncurkan pada 22 April 2009 oleh SBY dalam pembukaan pameran kerajinan Inacraft di Jakarta Convention Center. Pemrakarsanya adalah Kemendag dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Saat itu, SBY mengatakan, kampanye “100% Cinta Indonesia” memiliki tujuan meningkatkan apresiasi dan kebanggaan menggunakan produk buatan Indonesia. Ia mendorong, semua perusahaan, produk, dan merek dalam negeri mencantumkan logo “100% Cinta Indonesia” pada kemasan, iklan, dan materi promosi.

Sebelum mengungkapkan benci produk luar negeri dan cinta produk dalam negeri, Jokowi pun pernah melontarkan hal serupa. Misalnya, pada April 2017, saat meresmikan perluasan pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jokowi menginginkan masyarakat bangga dan cinta terhadap produk dalam negeri. Ia mengingatkan agar masyarakat menghentikan kebanggaan membeli barang impor.

Upaya untuk mencintai produk dalam negeri terlihat kian serius kala Jokowi meneken Keppres Nomor 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (Tim Nasional P3DN) pada 2018. Tim ini diketuai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan.

Dikutip dari situs web setkab.go.id, 20 September 2018, tugas tim ini di antaranya, memantau penggunaan produksi dalam negeri sejak tahap perencanaan hingga badan usaha swasta, koordinasi dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas tim P3DN dari lembaga negara hingga badan usaha swasta, dan melakukan promosi dan sosialisasi penggunaan produk dalam negeri.

Pada 14 Mei 2020, seperti dilansir dari situs web setkab.go.id, Jokowi juga mencanangkan gerakan nasional “Bangga Buatan Indonesia”, yang digerakkan 14 kementerian/lembaga di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Gerakan ini diklaim wujud gotong royong untuk mendorong ekonomi nasional melalui penyediaan ruang yang lebih besar bagi para pelaku usaha untuk berkarya dan memasarkan produknya.

Akan tetapi, nyatanya hingga kini Indonesia masih bergantung pada produk impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 nilai impor nonmigas Indonesia sebesar US$141.568,8 juta. Pada Januari 2021, nilai impor migas dan nonmigas Indonesia sebesar US$13,299,9 juta.

Infografik cinta produk Indonesia. Alinea.id/Bagus Priyo.

Paling menonjol adalah impor produk dari China. BPS mencatat, impor asal China memiliki kontribusi 30,53% total impor Indonesia dari berbagai negara. Barang asal China yang didatangkan, di antaranya barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal.

BPS pun mencatat, seperti dikutip dari CNN Indonesia edisi 15 Desember 2020, produk asal China membanjiri realisasi impor Indonesia pada November 2020, sebesar US$3,89 miliar. Selain China, kenaikan impor pun berasal dari Jepang sebesar US$226 juta, Hong Kong US$124, 6 juta, dan Kanada US$92,7 juta.

Melihat realita ini, gaung cinta produk Indonesia yang didengungkan sejak era Sukarno layaknya hangat-hangat tahi ayam. Terdengar lugas dilontarkan, tapi hilang seiring waktu.

Berita Lainnya
×
tekid