sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Debt collector, antara taruhan nyawa dan premanisme demi kejar setoran

Profesi jasa penagih atau debt collector kerap menuai kontroversi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 17 Mar 2020 18:18 WIB
Debt collector, antara taruhan nyawa dan premanisme demi kejar setoran

Dari kawasan Gading Serpong, Tangerang Selatan, Davidson dan lima rekannya mulai memburu pengendara sepeda motor Yamaha Mio bernomor polisi A 2621 ZT, Kamis (12/3) siang itu. Berboncengan menggunakan tiga motor, keenamnya terus membuntuti pengendara berhelm polisi tersebut. 

Dalam aksi kejar-kejaran itu, Davidson dan rekan-rekannya berulang kali memepet motor buruannya dan meminta sang pengendara menepi. Namun demikian, permintaan itu tak kunjung dipatuhi sang pengendara. 

Kesal tak digubris, Davidson dan rekannya akhirnya nekat "menggunting" laju sang pengendara motor tepat di depan Apartemen Vittoria Residence, Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat.

"Kami mohon perhatian bapak sama ibu sebentar. Motor berpelat nomor A 2621 ZT ini atas nama Catherina Sinaga benar? Kami ditugaskan dari Serang untuk menarik motor ini," ujar Davidson kepada sang pengendara motor dan perempuan yang ia bonceng. 

Catherina yang dimaksud Davidson tak lain adalah nama perempuan yang ia bonceng alias istri sang pengendara. Merasa tak punya tunggakan, suami Catherina justru berang. 

"Apa maksudnya ini? Saya tiap bulan bayar. Anda apa dasarnya mau narik motor saya? Apalagi, ini kau minta di jalan. Yang harus narik bukan kalian, tapi leasing," ujar sang pengendara. 

Davidson dan kelima rekannya memang berprofesi sebagai jasa penagih atau yang beken disebut debt collector (DC). Hari itu, kebetulan motor Chaterina melintas di depan mereka. 

"Kami sudah dapat izin dari leasing Serang. Mereka minta kami yang di Tangerang untuk menarik motor ini," ucap Davidson.

Sponsored

Adu mulut antara Davidson dan sang pendendara motor pun tak terelakkan. Cek-cok baru mereda setelah akhirnya Catherina buka suara. "Ya, memang sudah enggak saya bayar. Sudah tujuh bulan," ucapnya kepada sang suami. 

Pengakuan itu bikin kaget sang suami. Pasalnya, tiap bulan ia menitipkan duit angsuran. Namun, duit itu ternyata tak pernah sampai ke pihak leasing. "Kamu mestinya ngomong. Jangan begini. Kalau begini, kan jadi susah semua," ucapnya kepada sang istri. 

Meski terpojok, sang suami masih belum mau berpisah dengan motornya. Apalagi, motor itu ditarik oleh orang yang tak dia kenal. Ia pun meminta Davidson menelepon ke pihak leasing menggunakan fitur video call.

Setelah berbicara langsung dengan pihak leasing, suami Chaterina akhirnya mengalah. Ia pun pasrah merelakan motornya ditarik oleh Davidson dan rekan-rekannya. "Ya, sudahlah. Enggak ada masalah? Ya, udah. Selesai, ya," ujar dia. 

Davidson dan rekan-rekannya menghentikan pengendara motor yang cicilan motornya menunggak di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat, Kamis (12/3). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Kepada Alinea.id, rekan Davidson, Rohman mengatakan motor Catherina bakal dibawa ke kantor perwakilan leasing di Cipondoh, Tangerang. Jika angsuran dan denda tak segera dilunasi, motor tersebut bakal dilelang. "Paling-paling dengan harga awal Rp6 juta," ucapnya.

Menurut Rohman, buruannya kali ini terbilang kooperatif. Meski sempat panas, pemilik motor mau mengakui "kekhilafannya" dan menyerahkan motornya untuk ditarik. "Normal sih kalau masih cuma adu mulut," ucap dia. 

Berdasarkan pengalamannya selama ini sebagai DC, Rohman menuturkan, kebanyakan nasabah ngeyel dan tak mau menyerahkan motornya. Padahal, mereka terbukti menunggak angsuran hingga berbulan-bulan.

"Kami sudah sopan. Tapi, ya, bagaimana? Kadang dibaikin malah sana yang keras sama kita. Ya, akhirnya ujung-ujungnya malah enggak enak," ucapnya.

Ditemui di kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Jakarta Timur, Rabu (11/3) lalu, Spin--bukan nama sebenarnya-- membenarkan situasi dilematis yang dialami para DC. 

Menurut dia, kebanyakan debitur, khususnya yang berdomisili di Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara, keras kepala. "Mereka diberi peringatan, tapi malah enggak terima. Itu sering banget kejadian," ujar juru tagih di Central Santosa (CS) Finance tersebut. 

Meskipun belum lama menggeluti profesi itu, Spin menuturkan, ia berulang kali bertemu dengan debitur yang lebih galak daripada penagih utang. Pada 2018, ia bahkan sempat hampir dikeroyok warga saat berencana menarik motor di sebuah pasar di kawasan Jembatan Besi, Jakarta Barat. 

"Pada saat itu dia enggak mau memberikan motornya. Saya bilang sama dia, 'Saya enggak mau tahu, besok saya ke sini lagi. Kalau enggak ada, motor saya tarik'," tutur Spin. 

Tanpa sepengetahuan Spin, sang debitur ternyata "penguasa" pasar di Jembatan Besi. Diancam begitu oleh Spin, sang debitur marah. "Anak buahnya ngancam saya pakai pisau dan golok. Saya ditanya, 'Mau lu apa?'" ujarnya.

Spin menuturkan, ia bisa lolos dari situasi mencekam itu dengan berargumentasi 'sekadar menjalankan tugas dari perusahaan'. "Saat saya cabut, orang seisi pasar ngelihat saya semua dengan sinis," kata dia.

Saban harinya, Spin ditugaskan perusahaan untuk menagih utang kepada 15 orang. Rata-rata debitur yang masuk ke dalam daftar buruan Spin ialah mereka yang sudah 3-4 bulan menunggak angsuran. 

Beban kerja seperti itu, lanjut Spin, diganjar perusahaan dengan gaji pokok Rp3,1 juta. Namun, duit yang dikantongi Spin tiap bulan bisa naik hingga kisaran Rp7-9 juta jika sukses mencapai target-target tertentu. 

Di luar kekesalan karena debitur kerap ingkar janji dan tekanan dari kantor, menurut Spin, bonus yang besar itulah yang kerap membuat para DC "terlalu bersemangat" dalam menagih utang. Padahal, perusahaan telah punya standard operational procedure dalam bekerja. 

"Terkadang itu yang membuat kita agak neken sama nasabah. Ya, kita mau bagaimana kalau begitu. Kantor saban hari ndesek kita terus, sementara nasabah hanya JB (janji bayar) doang," ucapnya.

Diakui Spin, pekerjaan sebagai penagih utang cukup menggiurkan. Meski begitu, ia pun menyadari kekerasan kerap menyertai profesi semacam itu. "Tapi, itu semua tergantung kitanya sih," ujar Spin. 

Polisi berjaga saat terjadi bentrok antara pengemudi ojek online (ojol) dengan debt collector di kawasan Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (5/3). /Foto Antara

Tak langgar aturan

Profesi sebagai jasa penagih memang kerap menimbulkan kontroversi. Terbaru, sekelompok DC terlibat aksi saling lempar batu dengan komunitas pengemudi ojek online (ojol) di Sleman, Yogyakarta, Kamis (5/3) lalu. Bentrok dipicu penganiayaan yang dilakukan oknum DC saat menarik motor seorang pengemudi ojol, dua hari sebelumnya. 

Itu bukan kali pertama oknum DC menganiaya debitur atau nasabah. Salah satu kasus yang paling fenomenal ialah penganiayaan terhadap Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) Irzen Okta pada 2011.

Ketika itu, Okta mempertanyakan naiknya tunggakan kartu kredit ke kantor Citibank di Menara Jamsostek, Jakarta Pusat.  Di tempat itu, Okta malah dianiaya dan tewas karena pecah pembuluh darah di otak. 

Pada deretan kasus lainnya, DC yang justru menjadi korban. Pada Oktober 2019 misalnya, penagih utang dari sebuah koperasi simpan pinjam di Kabupaten Bandung Barat tewas dibunuh debitur yang menolak membayar utangnya. 

Jasa penagih utang sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 

Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa tata cara penarikan jaminan fidusia  kendaraan motor atau mobil harus memenuhi beberapa unsur. Debt collector, misalnya, diwajibkan bersertifikat dan mampu menunjukkan dokumen resmi saat bertugas. 

Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan gesekan antara DC dan debitur kerap terjadi karena debitur kerap tidak memahami aturan-aturan yang termaktub dalam kesepakatan awal saat menandatangani akad kredit. 

"Kunci persoalan sebenarnya soal informasi yang jelas dan pemahaman para pihak khususnya debitur yang harus melaksanakan kewajibannya. Sebab, kreditur sudah melunasi kewajibannya membayar kendaraan debitur secata tunai pada penjualnya," ujarnya kepada Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Kesepakatan mengenai jaminan fidusia itu juga diuraikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Putusan MK itu merupakan jawaban atas permohonan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU Fidusia. 

Disebut dalam putusan itu, sepanjang tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, debitur yang melanggar kesepakatan alias cedera janji wajib menyerahkan jaminan fidusia yang disepakati dalam akad kredit. Penyerahan jaminan fidusia bisa dilakukan secara sukarela atau lewat keputusan pengadilan. 

Menurut Fickar, putusan MK itu telah sejalan dengan Peraturan OJK Nomor 35 Tahun 2018. "Misalkan, jika cicilan tidak dibayar dalam tempo tiga bulan berturut turut, maka debitur wanprestasi dan mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kendaraan yang menjadi objek perjanjiannya," kata dia. 

Pengemudi ojek online (ojol) dengan kelompok debt collector di kawasan Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (5/3). /Foto Antara

Akar masalah premanisme DC 

Sosiolog Universitas Nasional (UN) Erna Ermawati Chotim menilai gesekan antara debitur dan penagih utang kerap terjadi lantaran kesepakatan awal antara debitur dan kreditur tak jelas. Di sisi lain, kreditur juga kerap bersikap "arogan" saat menyita barang yang dijadikan jaminan.

"Seharusnya (ada) etika dan aturan mainnya. Di dalam (menarik jaminan) itu ada etikanya. Jadi, sebenarnya ketika orang tidak membayar, misalnya, dilihat dulu kenapa tidak bisa membayar? Karena apa? Enggak bisa asal tarik," jelas Erma kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Erma juga mempersoalkan "hukuman" yang kerap disiapkan kreditur untuk para penunggak. Menurut dia, para penunggak kerap dibebani beragam biaya tambahan saat hendak melunasi tunggakannya.  

"Contoh, kalau kita terlambat membayar, kita kan sudah didenda. Ada hal yang kita bayar. Tapi, kalau kita juga ingin membayar, kita juga kena denda. Seringkali itu dibebani biaya. Ada biaya keterlibatan, ada biaya administrasi," ucapnya.

Infografis Alinea.id/Dwi Setiawan

Menurut Erma, friksi juga muncul karena debitur kerap tidak memahami hak-haknya yang diatur dalam UU Fidusia. Kondisi itu diperparah oleh praktik-praktik penggunaan jasa preman dalam menagih utang. "Alhasil, praktik penarikan ini sangat rentan membuat gesekan dan perkelahian," imbuhnya. 

Kriminolog Edi Hasibuan menjelaskan lazimnya profesi DC didominasi oleh suku-suku tertentu. Penyedia jasa DC biasanya menggunakan kedekatan emosional untuk merekrut para DC. 

Meski begitu, Edi mengatakan, bukan berarti persoalannya ada pada karakter "keras" para DC dari suku-suku itu. Asalkan sesuai aturan, profesi DC tidak bakal menuai perkara. 

"Sebenarnya, bila perusahaannya punya dasar hukum dan tidak melakukan tindakan kriminal, tidak masalah. Masalahnya, di lapangan kerapkali memang praktiknya kayak preman. Itu memang jadi masalah," ucapnya kepada Alinea.id

Dijelaskan Edi, profesi DC bakal tetap "abadi" selama permintaan dari perusahaan tinggi karena maraknya debitur nakal. "Jadi, itulah kenapa mereka hadir. Sebab ada permintaan-permintaan," ujar Direktur Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia itu.

Berita Lainnya
×
tekid