sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ganjalan dalam kebijakan SKS 'Kampus Merdeka' ala Nadiem Makarim

Ada empat poin kebijakan "Kampus Merdeka" yang dikeluarkan Mendikbud Nadiem Makarim. Beberapa hal mendapat perhatian pengamat.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Sabtu, 01 Feb 2020 12:28 WIB
Ganjalan dalam kebijakan SKS 'Kampus Merdeka' ala Nadiem Makarim

Pekan lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan kebijakan terkait perguruan tinggi, yang dinamakan “Merdeka Belajar: Kampus Merdeka”.

Secara garis besar, ada empat poin kebijakan yang akan dijalankan, antara lain pembukaan program studi (prodi) baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, perguruan tinggi negeri badan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar prodi.

Sebagai gambaran umum, berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) pada 2018 di Indonesia terdapat 4.670 perguruan tinggi, yang terdiri dari universitas sebanyak 518, institut 214, sekolah tinggi 2.525, akademi 1.054, akademi komunitas 19, dan politeknik 277.

Pada 2018 Kemenristekdikti juga melaporkan, total prodi di perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia ada 6.725. Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi perguruan tinggi negeri dengan jumlah prodi terbanyak, yakni 122.

Situs web banpt.or.id juga mencatat, hingga 30 Juni 2019, sudah ada 17.399 prodi di perguruan tinggi agama negeri (PTAN), perguruan tinggi agama swasta (PTAS), perguruan tinggi kementerian lain (PTKL), perguruan tinggi negeri (PTN), dan perguruan tinggi swasta (PTS) yang mendapat akreditas A, B, dan C dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Setiap kebijakan, memiliki arah perubahan mendasar. Hak belajar tiga semester di luar prodi cukup mendapat sorotan.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), situasi saat ini mahasiswa tak punya banyak fleksibilitas untuk mengambil kelas di luar prodi dan kampusnya sendiri, bobot satuan kredit semester (SKS) untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas sangat kecil, dan pertukaran pelajar atau praktik kerja menunda kelulusan mahasiswa.

Arahan kebijakan barunya, antara lain perguruan tinggi wajib memberi hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela mengambil SKS di luar perguruan tinggi sebanyak dua semester (setara 40 SKS) dan mengambil SKS di prodi yang berbeda di perguruan tinggi yang sama sebanyak satu semester (setara dengan 20 SKS).

Sponsored

Lalu, SKS yang wajib diambil di prodi asal sebanyak lima semester dari semester yang harus dijalankan (tak berlaku untuk prodi kesehatan); SKS berubah definisinya menjadi “jam kegiatan” bukan “jam belajar”, definisi kegiatan adalah belajar di kelas, magang, pertukaran pelajar, proyek di desa, wirausaha, riset, studi independen, dan kegiatan mengajar di daerah terpencil, serta daftar kegiatan yang bisa diambil mahasiswa bisa dipilih dari program yang ditentukan pemerintah dan yang disetujui rektor.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi bertajuk Merdeka Belajar: Kampus Belajar di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1/2020). Foto Antara/Aprillio Akbar.

Program lintas prodi, fakultas, dan PT

Mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Qurrotaa’yuni menganggap, perubahan kebijakan SKS baik untuk menyeimbangkan antara minat, kualitas pendidikan, dan kebutuhan dunia kerja.

Ia sudah merencanakan menggunakan jatah SKS dengan kegiatan mengajar di sekolah. Selain selaras dengan prodi asal, ia mengaku ingin pengalaman mengajar sebanyak mungkin sebelum lulus kuliah.

“Saya juga akan menukar jatah SKS sisanya untuk mengembangkan potensi di bidang bahasa Arab dengan memilih sastra Arab,” kata mahasiswi berusia 19 tahun itu saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (30/1).

Sementara mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Nastaghitsu Aghitsna, 20 tahun, mengatakan sistem yang diluncurkan Nadiem terkait SKS tak sepenuhnya baru. Sebab, sebelumnya kegiatan magang ditukar sistem kredit partisipasi (SKP).

“Saya pernah ngajar anak tuli, anak jalanan, atau mendongeng untuk anak-anak penderita kanker. Saya bisa melakukan hal itu tanpa mengorbankan waktu kuliah,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (30/1).

Meski begitu, Nastaghitsu kurang sepakat dengan kegiatan magang yang perlu bimbingan dosen. “Khawatir bakal dipersulit dan dibatasi,” katanya.

Dasar hukum hak belajar tiga semester di luar prodi sendiri adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Menanggapi kebijakan ini, Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Plt Dirjen Dikti) Kemendikbud Nizam mengatakan, penukaran SKS sudah berjalan di beberapa perguruan tinggi. Wujudnya, pertukaran mahasiswa di dalam maupun luar negeri atau magang. Untuk magang, kata dia, perlu dirancang bersama antara perguruan tinggi dan industri.

“Agar jelas kompetensi hasil magang, penilaian, dan penyertaan beban SKS-nya dengan pembelajaran konvensional,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (30/1).

Terkait wirausaha, kompetensi, penilaian, dan penyertaan beban SKS, menurutnya, harus menyesuaikan kriteria wirausahawan unggul yang relevan dengan mata kuliah tertentu. Gabungan dari beberapa mata kuliah bisa diganti dengan kegiatan kewirausahaan.

“Atau model lain sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Jadi, fokusnya pada kebutuhan mahasiswa dan kompetensinya,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menuturkan, pengambilan mata kuliah lintas prodi dan fakultas bisa dilakukan dengan fasilitas dari perguruan tingginya. Saat ini, katanya, beberapa perguruan tinggi telah menyiapkan ekosistem untuk memberi fleksibilitas pengambilan mata kuliah lintas prodi dan fakultas.

“Untuk lintas PT (perguruan tinggi), kerja sama prodi dan fakultas lintas perguruan tinggi kita dorong untuk melakukannya,” katanya.

“Saya kebetulan menjadi Ketua Forum Dekan Teknik se-Indonesia (FDTI), dengan anggota lebih dari 100 PTN (perguruan tinggi negeri) dan PTS (perguruan tinggi swasta), saat ini sedang menyiapkan skema ambil mata kuliah lintas PT.”

Untuk sistem dan proses pengambilan SKS, menurut dia, Kemendikbud mempersilakan para rektor mengaturnya. Misalnya, kata dia, setiap mata kuliah diberikan 10% kuota yang ditawarkan untuk diambil dari prodi, fakultas, dan perguruan tinggi lain.

“Kalau permintaannya banyak, ya diseleksi atau berdasarkan first come first serve,” ucapnya.

Persoalan yang masih mengganjal

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat Budi Djatmiko mengatakan, tujuan pemerintah membangun kultur intelektualitas pada kebijakan ini baik. Alasannya, bisa membuka kesempatan mahasiswa PTS dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk mengenyam pendidikan di PTN terkemuka.

“Jejaring, transfer pengetahuan, dan pengalaman bagi mahasiswa tersebut sangat berharga untuk dibawa ke perguruan tinggi asal,” ujar Budi saat dihubungi, Kamis (30/1).

Meski begitu, Budi mempertanyakan kejelasan regulasi dan skema pembiayaan kredit transfer ke perguruan tinggi lain. Sebab, masing-masing prodi dari berbagai perguruan tinggi memasang beban biaya per semester yang berbeda.

“Dibayar di kampus asal atau kampus tujuan saja? Nantinya, bisa terjadi yang besar semakin besar, yang kecil semakin terpuruk. Tidak ada masalah memang, tetapi akan tergerus pendapatannya (kampus asal),” ujar Budi.

Lalu, perkara masalah tukar prodi ke perguruan tinggi yang berbeda, Budi menyarankan pemerintah kembali memikirkannya. Menurut dia, kemungkinan mudah jika mengambil prodi di perguruan tinggi yang sama.

“Mahasiswa mengambil akuntansi dan ambil jurusan sebelahnya, manajemen, tidak masalah. Begitu masuk ke perguruan lain, itu masalah,” ucapnya.

Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Kusuma Albertus memandang, gagasan SKS dalam Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tak berbeda jauh dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 44 Tahun 2015, yang sudah dicabut.

Menurut dia, perubahan konsep belajar linier ke multidisiplin lintas prodi baik lantaran linieritas sudah lama ditinggalkan perguruan tinggi di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, yang masih dipertanyakan Doni adalah soal kalkulasi nilai prodi asal.

Doni mengatakan, Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 hanya membahas aturan-aturan umum. Imbasnya, dalam penerapan berpotensi menimbulkan polemik terkait ketimpangan karena perbedaan akreditasi dan kualitas.

Situasi ini sangat berbeda dibandingkan perguruan tinggi di Eropa dan Amerika Serikat, yang sudah selaras dari segi akreditasi, kualitas, dan standar materi.

Lha, kita kan enggak. Di Permendikbud yang diatur adalah semua tergantung dari kerja sama perguruan tinggi. Repot kalau begitu. Paling ITB dan UI yang selevel atau UGM dengan UI,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (29/1).

Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Amirsyah Tambunan menilai, “Kampus Merdeka” masih belum menyentuh akar masalah perguruan tinggi di Indonesia.

“Orientasinya masih menekankan mental pencari pekerjaan, bukan pencipta lapangan pekerjaan,” ucapnya saat dihubungi, Kamis (30/1).

Namun demikian, Amirsyah menilai, perubahan sistem SKS bisa memicu kebebasan mahasiswa yang sejalan dengan kompetensi lulusan pencipta lapangan kerja karena berasas kemandirian. Asalkan, kata dia, kebijakan ini harus komprehensif dan menyatu dengan sistem.

Selain itu, kebebasan mahasiswa juga harus dalam koridor pilihan-pilihan yang mendasar. Keleluasaan mempelajari berbagai ilmu dan kompetensi metodologi di prodi asal, ujar Amirsyah, harus mampu melahirkan keahlian berupa keahlian teknis sebagai output.

“Setiap prodi seharusnya memiliki standar dalam menjamin penciptaan kerja. Bisakah memberi jaminan seperti itu? Itu harus dijawab oleh kebijakan Mas Menteri,” ujarnya.

Butuh kajian publik dahulu

Direktur Human Capital & Transformasi Jasa Marga Alex Denni (kedua kiri) didampingi Direktur Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia Denny (kiri) menyalami para peserta yang telah lulus mengikuti Program Pelatihan Programming selama satu bulan, di kampus Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (21/1/2020). Foto Antara/Audy Alwi.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi menganggap, kebijakan Nadiem yang berharap mahasiswa menyesuaikan diri dengan dunia kerja, terganjal dua hal.

Pertama, hanya perusahaan besar yang menerima magang. Kedua, seandainya menerima magang, kuotanya sangat terbatas.

“Sarjana menganggur karena apa yang mereka peroleh di kampus tidak sama dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Nah, magang di dunia usaha dan industri memang cara terbaik. Cara lainnya adalah dunia usaha dan industri mengajar di kampus agar terjadi inline, yang namanya link and match antarkebutuhan,” ujar Dede saat dihubungi, Kamis (30/1).

Di samping itu, mahasiswa di PTS berakreditasi C ke bawah yang tak punya akses ke lembaga internasional, perusahaan besar, atau BUMN, kata Dede, bakal sangat kesulitan ikut magang.

“Itu untuk magang, apalagi untuk berwirausaha itu agak sulit. Bayar uang kuliah saja kesulitan, apalagi harus berwirausaha,” ujar Dede.

Di sisi lain, Doni pun menuturkan, Nadiem sebaiknya juga memikirkan bagaimana menambah kuota magang dan bukan cuma berkutat di perusahaan besar. Kemendikbud harus bekerja sama dengan kementerian terkait, untuk mendorong pihak swasta agar berlomba-lomba mencari mahasiswa magang. Semisal dengan menawarkan diskon pajak.

“Prodi kesehatan itu bisa mengeluarkan Rp5 juta-Rp10 juta untuk menyelesaikan magang karena kekurangan tempat magang. Makanya ada pengecualian untuk prodi kesehatan,” ucapnya.

Doni mengatakan, prodi kesehatan tak bisa diikutkan dalam kebijakan Mendikbud karena sudah punya mekanisme tersendiri. Struktur prodi kesehatan juga sudah padat, dari uji kompetensi, sistem penilaian, sertifikasi, hingga ruang penelitian.

“Mahasiswa kesehatan juga tidak boleh pindah-pindah ke yang bukan profesinya. Nanti, enggak paham. Jadi, ini hanya untuk S1 yang prodinya atau ilmunya cukup cair,” tutur Doni.

Lebih jauh, Doni menerangkan, antara magang dengan prodi memerlukan perbaikan kurikulum. Perhitungan porsi 40 SKS, menurutnya, sudah tepat.

Infografik Kampus Merdeka. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Perihal magang SKS, Dede mengatakan, sebaiknya diatur secara rinci. Bukan magang langsung dihabiskan 40 SKS, tetapi dihitung setiap semester disisihkan berapa SKS untuk magang.

“Takutnya sudah bosan (kuliah) kalau sudah di dunia praktik, tidak mau ke kampus lagi”, tutur Dede.

Dede menyarankan, diadakan uji coba kebijakan terlebih dahulu secara bertahap, sebelum benar-benar dijalankan. Uji coba diadakan dengan batasan terkontrol supaya pemerintah tak terkesan lepas tanggung jawab.

Selain itu, ia mengatakan, dibutuhkan semacam term of reference (TOR) magang yang berisi kesepakatan antara pemerintah dan perguruan tinggi. Tujuannya, agar mahasiswa tidak diperintah kerja secara asal.

“Seperti fotokopi atau menyiapkan kopi,” ujarnya. “Juga untuk menjamin perlindungan dari perusahaan nakal yang sengaja menerima anak magang.”

Berita Lainnya
×
tekid