sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib guru honorer seleksi PPPK: Passing grade harus tinggi, afirmasinya rendah

Berharap memperbaiki taraf hidup lewat seleksi PPPK, guru honorer khawatir tak lolos karena passing grade dan afirmasi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 23 Sep 2021 17:12 WIB
Nasib guru honorer seleksi PPPK: <i>Passing grade</i> harus tinggi, afirmasinya rendah

Sri Hariyati—seorang guru honorer di SMPN 1 Kademangan, Blitar, Jawa Timur—mengaku terkejut begitu mengikuti ujian seleksi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pekan lalu. Ia merasa, soal dalam tes itu terlampau sulit dibanding soal uji coba yang ia pelajari.

“Soalnya jauh dari yang kita pelajari dan passing grade-nya tinggi,” ujar Sri kepada Alinea.id, Senin (20/9).

Dengan passing grade atau nilai ambang batas yang dipatok tinggi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) itu, kata Sri, banyak guru honorer di Blitar gagal memenuhinya.

Guru berstatus tenaga honorer kategori II (THK II) ini merasa, nilai ambang batas kompetensi teknis untuk mata pelajaran yang ia pegang, yakni bahasa Indonesia terlalu tinggi, yaitu 265. “Saya hanya mampu mencapai 175,” ucap Sri.

Keluh kesah guru honorer

Untuk diketahui, seleksi kompetensi tahap pertama untuk guru PPPK sudah selesai dilaksanakan pada 13-17 September 2021. Tes susulan juga sudah digelar pada 18 September 2021.

Guru PPPK sendiri adalah guru yang berada di bawah naungan pemerintah, tetapi bukan pegawai negeri sipil (PNS). Mereka diangkat berdasarkan perjanjian kerja dalam jangka waktu tertentu.

PPPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan turunannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

Sponsored

Mendikbudristek Nadiem Makarim menyambangi pelaksanaan tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di SMKN 6 Surakarta, Jawa Tengah, Senin (13/9/2021)./Foto drajatwajrendra/Instagram kemendikbud.ri.

Formasi seleksi guru honorer PPPK 2021 mencapai 1 juta, yang bisa diikuti bagi mereka yang terdaftar dalam data pokok pendidikan (dapodik) serta lulusan pendidikan profesi guru (PPG) yang saat ini tak mengajar.

Seleksi ini tentu menggiurkan bagi guru berstatus honorer. Selain mendapatkan gaji yang besarnya berdasarkan golongan dan masa kerja, mereka juga akan mendapatkan tunjangan sesuai tunjangan PNS pada instansi pemerintah tempatnya bekerja.

Di samping mengeluh soal passing grade, menurut Sri, nilai afirmasi (tambahan) yang diberikan kepada guru honorer kategori II tak sebanding dengan masa bakti yang sudah ia tempuh. Ia hanya mendapat afirmasi sebesar 20%. Padahal, ia sudah mengabdi sekitar 25 tahun. Kata dia, diperlukan waktu paling tidak 17 tahun untuk menyandang status THK II.

"Jadi menurut saya agak kurang adil," kata Sri.

Sri pun meminta kepada Kemendikbudristek untuk menaikkan nilai afirmasi bagi setiap kategori guru honorer. "Atau kalau enggak, passing grade-nya diturunin," kata Sri.

Persoalan passing grade dan afirmasi, kata Sri, masih menjadi kekhawatiran sebagian besar guru honorer yang ikut seleksi guru PPPK. Pemerintah juga hanya menganjurkan guru honorer yang gagal seleksi untuk ikut seleksi tahap kedua dan ketiga. Padahal, peluang guru honorer kategori II dari sekolah negeri, bakal semakin kecil bila harus ikut seleksi tahap kedua dan ketiga.

“Karena di tahap dua bakal bersaing dengan guru swasta dan mereka yang sudah lulus pendidikan profesi guru (PPG),” tuturnya.

Lagi pula, kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup guru honorer dari sekolah negeri hanya terbuka di tahap pertama. Karena tahap kedua akan menjadi peluang bagi guru swasta.

"Kami yang tua-tua dan mengabdi lama bakal semakin kecil peluangnya di tahap kedua," ujar Sri.

Wilfridus, seorang guru honorer di SMKN 7 Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga mengeluh hal serupa. Pria yang mengajar pertanian holtikultura ini mengatakan, soal kompetensi teknis di ujian PPPK berbeda jauh dengan soal uji coba yang ia pelajari.

“Soal-soalnya itu terkait dengan update masalah yang sekarang,” ujar dia saat dihubungi, Senin (20/9).

Ia mengaku hanya mendapat hasil 136 di tes kompetensi teknis. Sedangkan passing grade mata pelajaran yang ia pegang sebesar 270. Pengajar berusia 30 tahun itu menuturkan, banyak guru honorer di NTT yang sudah patah arang lantaran gagal memperoleh nilai minimal passing grade.

“Rata-rata yang gagal itu mereka yang sudah lama mengabdi melebihi saya,” katanya.

Frid, sapaan akrab Wilfridus, sudah lima tahun bekerja sebagai guru honorer. Ia mengatakan, menjadi guru PPPK merupakan harapan besar untuk meningkatkan taraf hidup bagi setiap guru honorer di NTT. Ia menyebut, upah guru honorer di NTT jauh dari standar.

“Saya saja digaji Rp700.000 per bulan,” ujar Frid.

Ironisnya, ia mengaku sudah delapan bulan lebih honornya tak dibayar pihak sekolah lantaran keuangan sekolah menipis terdampak pandemi Covid-19.

"Keadaan ini yang terburuk saya alami sejak jadi guru. Biasanya tidak sampai berbulan-bulan," kata Frid. Demi menyambung hidup, Frid bergantung dari pekerjaan sampingannya sebagai petani dan peternak di sela-sela mengajar.

Menimbang ulang aturan

Sebanyak 200 guru mengikuti ujian seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021 di SMKN 4 Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/9/2021)./Foto Instagram disdikjabar.

Sementara itu, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbudristek Anang Ristanto mengatakan, pihaknya belum bisa merespons keluhan guru honorer terkait passing grade yang terlampau tinggi dan afirmasi yang rendah.

Ia mengklaim, passing grade yang ditetapkan Kemendikbudristek sudah melalui pertimbangan matang panitia seleksi nasional (panselnas), yang merujuk hasil pengaturan standar melibatkan para ahli, seperti dosen, guru, serta praktisi setiap mata pelajaran.

"Dan hasil uji coba empiris yang dipandu oleh tim ahli psikometrika (dosen dan praktisi) untuk menjamin bahwa setiap peserta tes yang dinyatakan lulus, memiliki pengetahuan minimal yang dibutuhkan untuk menjadi guru ASN PPPK," kata Anang, Rabu (22/9).

Sejauh ini, Anang hanya bisa menganjurkan para guru honorer yang gagal di tahap seleksi pertama untuk ikut seleksi tahap kedua dan ketiga.

"Kesempatan ini diharapkan bisa dimanfaatkan oleh guru untuk belajar kembali agar bisa mencapai nilai batas kelulusan," kata Anang.

Dihubungi terpisah, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, sejak awal sudah mewanti-wanti Kemendikbudristek dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) untuk memprioritaskan guru honorer kategori II menjadi guru PPPK.

“Mereka ini sudah mengabdi minimal 15 tahun. Guru honorer kategori II adalah produk negara yang saat ini tersisa 121.954,” ujar Satriwan, Minggu (19/9).

Ia menuturkan, sudah pernah memberikan proposal rancangan kepada Kemendikbudristek dan Kemenpan-RB soal mekanisme seleksi guru PPPK, yang lebih mengacu pada masa bakti dan bisa dikonversi sebagai afirmasi yang ideal.

"Jadi, tidak semata-mata usia. Tapi, makin lama dia mengabdi dan berpengalaman, makin tinggi afirmasinya," kata Satriwan.

Berdasarkan proposal yang diajukan P2G, Satriwan merinci beberapa klaster afirmasi ideal bagi guru honorer. Pertama, guru honorer dengan masa bakti tiga hingga lima tahun mendapatkan 15% afirmasi.

"Kemudian, yang mengabdi 6-10 tahun 20% dan yang mengabdi 11-15 tahun dapat afirmasi 25%," kata Satriwan.

Selanjutnya, untuk masa bakti 16-20 tahun mendapatkan 30% dan masa bakti 21-25 tahun mendapatkan 35% afirmasi. "Dengan begini, pengabdian jadi bagian dari penilaian," ucap Satriwan.

Akan tetapi, rekomendasi P2G ditolak mentah-mentah oleh Kemendikbudristek dan Kemenpan-RB. Akibatnya guru honorer kategori II yang sudah mengabdi puluhan tahun, harus tetap ikut seleksi dengan keringanan afirmasi hanya 25%. Padahal, masa bakti menjadi guru honorer kategori II minimal 17 tahun.

“Jadi, enggak adil afirmasi yang diberikan dengan masa bakti mereka,” ujarnya.

Ia menilai, afirmasi yang ditetapkan Kemendikbudristek masih memukul rata semua kategori guru honorer, tanpa melihat masa bakti sebagai penilaian.

“Masa guru yang sudah mengajar 10-15 tahun disamakan dengan yang (mengajar) tiga tahun,” ucapnya.

Lalu, menyoal passing grade kelulusan yang dianggap terlalu tinggi, Satriwan pun pernah meminta Kemendikbudristek untuk menurunkannya, sebelum seleksi guru PPPK digelar. Alasannya, sejak awal ia sudah menduga passing grade yang ditetapkan saat ini bakal membuat guru honorer tak lulus.

“Tes CPNS 2018 itu terjadi penurunan passing grade. Contoh, guru sekolah dasar semula passing grade 326, lalu karena mayoritas tidak lolos, passing grade dikurangi menjadi 250,” ujar dia.

"Artinya, pemerintah pernah melakukan penurunan passing grade dalam kebijakannya.”

Menurut Satriwan, sangat aneh bila pemerintah tak mau menurunkan passing grade hanya karena alasan tak ingin melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Ia melihat, kasus seleksi guru PPPK saat ini tak jauh berbeda dengan seleksi guru pada 2018.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra.

"Passing grade sekarang 320. Padahal saat 2018 saja waktu (seleksi) guru PNS 320 itu enggak lolos mayoritas, makanya dikurangi jadi 250,” ucap Satriwan.

“Lah ini pegawai kontrak masa lebih sulit.”

Ia pun tak setuju dengan sikap Kemendikbudristek yang hanya menyuruh guru honorer yang gagal untuk mencoba peruntungan di tahap kedua dan ketiga. Pasalnya, peluang guru honorer kategori II atau yang berkarier di sekolah negeri bakal semakin kecil karena harus bersaing dengan guru swasta dan guru yang punya sertifikat pendidik.

"Tenaga pendidik yang punya sertifikat pendidik dinilai 100% afirmasinya," ujar Satriwan.

Satriwan mengatakan, afirmasi yang kecil dan passing grade yang tinggi tak akan menjawab persoalan kebutuhan 1,3 juta guru pada 2024. Bakal banyak guru honorer yang tak lolos dengan mekanisme seleksi guru PPPK kini.

“Padahal selama ini kekurangan tenaga pendidik ASN itu diisi oleh para guru honorer,” kata dia.

“Sebab, perbandingan guru ASN dengan honorer itu sekitar 60% banding 40%.”

Berita Lainnya
×
tekid