sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jalan panjang integrasi transportasi publik di Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menargetkan transportasi Ibukota dapat terintegrasi pada 2020.

Akbar Persada
Akbar Persada Jumat, 08 Feb 2019 17:19 WIB
Jalan panjang integrasi transportasi publik di Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menargetkan transportasi Ibukota dapat terintegrasi pada 2020. Tentunya bukan hal mudah untuk mencapai itu. Banyak catatan penting yang perlu dilakukan Anies agar seluruh transportasi dapat dalam satu jaringan yang sama.

Anggota Komisi B DPRD DKI yang membidangi transportasi, Panji Virgianto mengatakan, sebelum membicarakan integrasi moda transportasi, Pemprov DKI perlu menengok bagaimana kualitas bus sedang seperti Metromini, Koantas Bima, dan Kopami Jaya ketika beroperasi. 

Kondisi itu pun telah berlangsung lama, bahkan terkesan dibiarkan hingga menjadi kebiasaan. Padahal, untuk mengintegrasikan seluruh transportasi massal di Ibukota perlu komitmen untuk menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan.

"Saya berharap Dinas Perhubungan berani menindak tegas, bus-bus yang sudah seperti gerobak itu, harus ditiadakan," ujarnya di gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (8/2).

Politisi PDI Perjuangan itu juga menilai konsep integrasi tidak akan optimal berjalan jika Jakarta tidak memiliki tempat pemberhentian bus Transjakarta pengumpan yang cukup. Yang terjadi saat ini, tidak sedikit bus Transjakarta pengumpan yang berhenti di sembarang tempat.

"Memang tidak ada feeder-nya. Dengan seperti itu malah bikin kemacetan dan menghambat semuanya. Konsep integrasi ini termasuk jaminan waktu tempuh yang diberikan pemerintah bagi warga," ungkapnya.

Pendapat yang sama disampaikan pengamat transportasi Universitas Soegijapranata Djoko Setijowarno. Menurutnya, transportasi umum yang terintegrasi minimal harus mencakup tiga hal yang saat ini belum dipenuhi Pemprov DKI.

"Integrasi itu kan minimal integrasi fisik, integrasi jadwal, integrasi sistem pembayaran, minimal itu," ujar Djoko.

Sponsored

Ia mencontohkan, integrasi fisik antara stasiun kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Sudirman terlalu jauh dengan halte Transjakarta Dukuh Atas. Sehingga, penumpang melanjutkan perjalanannya menggunakan ojek daring.Hal itu justru menimbulkan kemacetan akibat pengemudi ojek yang menunggu penumpang.

Ketika integrasi fisik terlaksana seharusnya penumpang langsung mendapatkan akses secara mudah dan menjangkau moda transportasi umum lainnya.

Kemudian, jadwal keberangkatan transportasi umum harus juga terintegrasi. Agar para penumpang tak menghabiskan waktu lama dalam satu perjalanan. Kedatangan kereta di suatu stasiun diatur agar sesuai dengan jadwal keberangkatan bus atau armada lainnya yang mengantarkan penumpang dalam jarak dekat.

Lalu dalam hal integrasi sistem pembayaran, saat ini di DKI hanya sebatas satu kartu bisa di-tap dilebih dari satu moda transportasi umum. Akan tetapi, belum sampai kepada satu tarif pembayaran yang berlaku bagi antarmoda.

Ia membandingkan dengan kota di luar negeri seperti Paris. Di kota itu setiap penumpang hanya butuh satu kartu dengan satu kali pembayaran yang bisa dipilih pengguna secara harian, mingguan hingga bulanan.

Para pengguna jasa layanan transportasi umum di Paris, bisa bebas menggunakan bebagai moda. Akan tetapi, jika diterapkan di Jakarta, hal itu membutuhkan perencanaan yang matang. Sebab, salah satu faktor tantangannya, operator pengelola moda transportasi umum di DKI berbeda-beda.

Ia juga mengkritik atas penerapan konsep Transit Oriented Development (TOD) yang dilakukan di sejumlah titik di Jabodetabek. Ia menilai hal tersebut masih salah kaprah dan kurang sesuai.

Djoko memaparkan, TOD sebenarnya adalah konsep pengembangan suatu wilayah yang berorientasi transit transportasi yang lebih mengedepankan perpindahan antarmoda transportasi dengan berjalan kaki atau upaya yang tidak menggunakan kendaraan bermotor. Namun di Indonesia, konsep TOD lebih diterjemahkan dalam membangun apartemen dan gedung bisnis di stasiun kereta. Kendali TOD juga di pemerintah pusat atau pemda, bukan swasta.

Ia berpendapat bahwa pada saat ini di Jabodetabek, pemerintah hanya berperan dalam pemberian izin bangunan saja. Djoko juga menyoroti mengapa TOD diterjemahkan dengan perlunya ruang parkir untuk memfasilitasi kendaraan pribadi warga.

Integrasi transportasi usung kemanan hingga keselamatan

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko memastikan, konsep integrasi moda transportasi Jabodetabek dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat.

"Yaitu aman, nyaman, dan keselamatan tentu menjadi harapan dan cita-cita kita bersama," ujarnya.

Sigit menyebutkan untuk menyukseskan integrasi transportasi tersebut setidaknya membutuhkan penambahan armada, salah satunya bus. Saat ini, menurut data Dishub DKI ada 8.300 bus dengan segmen kecil, sedang, dan besar yang beroperasi di Jakarta.

"Saya sampaikan idealnya ada 37.000, sementara Jakarta baru 8.300. Terintegrasi dalam satu platform," terangnya.

Hingga kini, Dishub bersama PT Transjakarta dan PT Moda Raya Terpadi (MRT) masih terus mengkaji detil pengintegrasian transportasi di Jabodetabek. Yang perlu diperhatikan adalah konsep penataannya.

"Tapi yang pasti ide yang disampaikan Pak Gubernur baik di ratas dengan Presiden atau Wapres kemarin, sepengetahuan kami adalah bahwa integrasi adalah kunci keberhasilan pembangunan transportasi untuk mendorong moda (transportasi) ke arah yang lebih baik," ungkap Sigit.
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid