Kenapa kereta tidak bisa mengerem mendadak?
Kereta api commuter line Jenggala 471A berhenti darurat di jalur kereta Desa Sugihwaras, Sidoarjo, Jawa Timur pada Selasa (19/8) malam. Beredar video viral di media sosial, kereta relasi Surabaya Pasarturi-Sidoarjo itu gagal berhenti di Stasiun Sidoarjo dan terus melaju. Kondisi lampu di dalam gerbong mengalami mati-hidup, dan beberapa penumpang berteriak “rem blong”. Masinis mencoba menarik rem darurat.
Menurut Manajer Humas KAI Daop 8 Surabaya, Luqman Arif, dikutip dari Kompas.com, walau pihaknya masih menyelidiki penyebab pastinya, tetapi dia mengatakan kereta itu mengalami kendala teknis berupa gagal pengereman.
Menurut Luthfi Zakaria dari Fakultas Teknologi Industri Universitas Kebangsaan dalam jurnal TEDC (2021), kereta tidak bisa berhenti dengan segera karena kondisi jalan dan kecepatannya yang berbeda dengan kendaraan lain. Pada mesin, energi panas diubah menjadi energi kinetik (gerak) untuk menggerakan lokomotif. Sebaliknya, rem mengkonversi energi kinetik menjadi energi panas untuk membuat kereta berhenti.
“Prinsip kerja rem didasarkan sistem penekanan yang bekerja melawan gerakan berputar. Proses pengereman menghasilkan efek yang disebut braking effect, yaitu perlambatan atau penghentian gerak. Efek ini muncul karena adanya gaya gesekan yang terjadi antara dua benda yang saling bersentuhan,” tulis Luthfi.
Oleh karena itu, suatu sistem pengereman kereta, kata Luthfi, sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, rangkaian kereta harus bisa berhenti dalam jarak tertentu, dengan mengingat kecepatan awal maupun berat rangkaian. Kedua, pengereman harus bersifat otomatis apabila rangkaian putus. Ketiga, bagian dari rangkaian kereta yang terlepas harus dapat berhenti dengan sendirinya.
Keempat, sistem pengereman harus bisa bekerja dengan baik bersama sistem lain. Contohnya di Eropa, sistem Knoor Air Brake dari Jerman harus dapat digunakan bersama sistem Daco dari Ozecho maupun sistem Oerlikon dari Swiss. Hal ini sesuai dengan ketentuan Union Internationale des Chemins de fer (UIC)—badan internasional di Eropa yang mengatur sistem rem udara pada kereta.
Kelima, kerusakan komponen rem harus tetap dalam batas yang ditetapkan pabrik. Terakhir, untuk jalur di daerah pegunungan, sistem rem harus mampu bekerja secara bertingkat, baik dalam melakukan pengereman maupun melepaskan rem.
Sistem pengereman sangat kompleks
Vice President Public Relations KAI Joni Martinus, dikutip dari Antara, pernah menjelaskan terkait pengereman pada kereta api. Menurutnya, kereta tidak bisa mengerem mendadak karena rangkaiannya panjang dan berat.
Semakin panjang dan berat rangkaiannya, jarak yang diperlukan kereta untuk bisa benar-benar berhentik akan semakin panjang. Di Indonesia, satu rangkaian kereta penumpang rata-rata terdiri dari 8-12 gerbong dengan bobot mencapai 600 ton. Itu belum termasuk penumpang dan barang yang dibawa. Artinya, dibutuhkan energi yang besar untuk membuat rangkaian kereta berhenti.
Joni menambahkan, rem darurat juga tidak bisa membuat kereta berhenti mendadak. Rem itu, kata dia, hanya menghasilkan lebih banyak energi dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta lebih cepat.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Engineering Science and Technology (2020), para peneliti asal Universitas Karabük Turki menulis, sistem pengereman kereta jauh lebih kompleks dari kendaraan lain. Sebab, melibatkan banyak komponen—mekanik, pneumatik, hidrolik, hingga elektronik—yang harus bekerja bersama dengan tepat.
Blok rem adalah suku cadang sistem pengereman yang penting. Blok rem merupakan bahan habis pakai yang memerlukan penggantian secara rutin. Menurut Luthfi Zakaria, kebutuhan blok rem di Indonesia setiap tahun melebihi 50.000 unit.
Kerusakan mekanik rangka bawah, yang termasuk sistem pengereman, menurut Luthfi merupakan kerusakan pada peringkat pertama pada kereta. Maka, blok rem harus selalu dicek kondisinya dan dilakukan penggantian.
Jenis blok rem yang dipakai PT KAI adalah blok rem metalik dan komposit, yang sama-sama berfungsi untuk pengereman. Namun, keduanya punya perbedaan. Luthfi menulis, blok rem metalik memberikan jarak pengereman lebih jauh dibanding blok rem komposit.
“Dari hasil uji coba blok rem komposit, dalam berbagai kecepatan awal pengereman menunjukkan hasil penggunaannya akan lebih baik (lebih pakem),” tulis Luthfi.
“Untuk meningkatkan keamanan agar digunakan blok rem komposit, dengan pertimbangan jarak rem yang lebih dekat.”
Dilansir dari Antara, Joni Martinus mengungkapkan, faktor yang berpengaruh pada jarak pengereman kereta, antara lain kecepatan kereta, kemiringan jalan rel, persentase pengereman yang diindikasikan dengan besarnya gaya rem, jenis kereta, jenis rem (blok komposit atau metalik), dan kondisi cuaca.
Joni menambahkan, pengereman yang dipakai pada kereta di Indonesia umumnya menggunakan sistem jenis rem udara. Cara kerjanya, dengan mengompresi udara dan disimpan hingga proses pengereman terjadi.
Saat masinis mengaktifkan sistem pengereman, udara tadi akan didistribusikan melalui pipa kecil di sepanjang roda dan membuat friksi pada roda. Friksi tersebut yang akan membuat kereta berhenti.
Lebih lanjut, Joni mengatakan, rem pada rangkaian kereta api bekerja dengan tekanan udara. Sistem kerja rem pada roda dihubungkan ke piston dan susunan silinder. Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di kereta api akan memaksa rem mengunci dengan roda.
Namun, para peneliti dari Universitas Karabük dalam jurnal Engineering Science and Technology mencatat, rem udara memiliki kelemahan berupa jarak pengereman yang panjang.
“Kinerja sistem rem sangat dipengaruhi faktor material, seperti ketahanan aus yang baik, kekuatan serta ketahanan terhadap panas, biaya produksi yang rendah, dan kemudahan perawatan komponen,” tulis para peneliti.


