Ruwet upaya Bandung mengurai kemacetan
Beberapa hari lalu, perusahaan teknologi navigasi asal Belanda, Tomtom, merilis Tomtom Traffic Index 2024, yang berisi daftar kota-kota termacet di seluruh dunia. Daftar ini meliputi 500 kota di 62 negara. Tomtom Traffic Index ini dibikin berdasarkan floating car data (FCD).
Berdasarkan situs Tomtom, perusahaan ini menggunakan sampel representatif dari FCD, yang mencakup 737 miliar kilometer untuk menilai dan menunjukkan perkembangan lalu lintas di kota-kota seluruh dunia sepanjang 2024.
Tomtom memanfaatkan data pergerakan kendaraan anonim untuk memeriksa arus lalu lintas di wilayah metropolitan. Kemacetan dihitung dengan mengumpulkan semua waktu tempuh yang dicatat selama periode waktu tertentu di suatu area dan membandingkannya dengan waktu tempuh terendah saat lalu lintas dalam kondisi lancar.
Kemacetan dinyatakan dalam persentase, yang mewakili peningkatan waktu tempuh akibat lalu lintas padat. Misalnya, tingkat kemacetan 40 berarti rata-rata waktu tempuh di seluruh jaringan jalan di area tersebut 40% lebih lama dibandingkan saat lalu lintas lancar.
Dalam daftar tersebut, Bandung menjadi kota paling macet di Indonesia. Bandung memiliki rata-rata waktu tempuh per 10 kilometer 32 menit 37 detik, tingkat kemacetan 48%, dan waktu yang hilang per tahun pada jam sibuk 108 jam.
Disusul Medan yang rata-rata waktu tempuh per 10 kilometer 32 menit 3 detik, tingkat kemacetan 40%, waktu yang hilang per tahun pada jam sibuk 111 jam. Lalu Palembang dengan rata-rata waktu tempuh per 10 kilometer 27 menit 55 detik, tingkat kemacetan 41%, dan waktu yang hilang per tahun pada jam sibuk 94 jam; Surabaya dengan rata-rata waktu tempuh per 10 kilometer 26 menit 59 detik, tingkat kemacetan 31%, dan waktu yang hilang per tahun pada jam sibuk 76 jam; dan Jakarta dengan rata-rata waktu tempuh per 10 kilometer 25 menit 31 detik, tingkat kemacetan 43%, dan waktu yang hilang per tahun pada jam sibuk 108 jam.
Menurut Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, dari data yang dimiliki Pemkot Bandung, kemacetan paling parah terjadi di Jalan Soekarno-Hatta, yang menjadi pintu masuk dari arah barat, selatan, dan timur Bandung.
“Macetnya dari pukul 6 pagi sampai pukul 10, lalu mulai lagi dari pukul 4 sore sampai pukul 8 malam. Ini sudah jadi rutinitas,” kata Farhan, dikutip dari Bandung.go.id.
Farhan juga mengatakan, ada pola kemacetan yang berbeda di tiga titik lainnya, yakni Jalan Ir. H. Juanda, Sukajadi, dan Setiabudi. Pada ketiga jalur ke arah utara Bandung itu, menurut Farhan, hanya mengalami kepadatan dari pukul 16.00-20.00, tanpa kemacetan parah di pagi hari.
“Ini menarik. Ada perilaku mobilitas warga Bandung yang khas. Tapi datanya belum lengkap, jadi kita masih banyak asumsi,” ucap Farhan.
Masalah dan solusi
Wakil Ketua Umum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menyebut, akar utama dari masalah kemacetan di Bandung adalah keterlambatan pembangunan sistem transportasi umum yang memadai.
“Pembangunan (sistem) angkutan umum di Bandung sangat terlambat. Sekarang sudah harus dibangun, tapi harus jelas. Kalau tidak jelas, hasilnya akan ngawur,” kata Djoko kepada Alinea.id, Jumat (11/7).
Djoko menyoroti upaya Pemkot Bandung dalam membenahi sistem transportasi justru membingungkan. Misalnya, konsep angkutan kota (angkot) yang bisa dipesan layaknya ojek online, dianggap menyimpang dari fungsi angkot itu sendiri.
“Kalau angkot bisa dipesan di mana saja, itu bukan angkot lagi, itu ojek. Konsep seperti itu membingungkan dan tidak menyelesaikan masalah kemacetan,” ucap Djoko.
Sebagai informasi, Pemkot Bandung tengah merancang sistem angkot mengandalkan teknologi digital. Menurut Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, angkot bakal direvitalisasi menjadi angkot pintar.
“Di dalamnya akan ada layar informasi, sistem pelacakan ETA (estimated time of arrival) dan bisa dipesan lewat aplikasi,” ujar Farhan, dikutip dari Bandung.go.id.
Setiap unit angkot akan dilengkapi dengan layar digital, koneksi sistem lewat kartu SIM, serta kemampuan pemantauan posisi secara real time. Calon penumpang cukup membuka aplikasi, memilih titik penjemputan, dan menunggu kendaraan datang. Sistem ini ditargetkan berjalan paling cepat 2026 dengan total kebutuhan anggaran mencapai Rp500 miliar, termasuk subsidi untuk angkot dan bus rapid transit (BRT).
Di sisi lain, Djoko pun menilai, banyak angkot yang beroperasi di Bandung saat ini yang tak layak jalan dan tak nyaman bagi penumpang. Dia menyarankan, angkot diperbaiki kualitasnya, diberi fasilitas seperti AC, serta sopirnya diberikan gaji tetap agar lebih profesional dan bertanggung jawab.
“Selama sopir tidak digaji bulanan, percuma bicara soal IOT (internet of things) atau teknologi. Yang penting, sopirnya sejahtera dulu, baru bisa bicara pelayanan,” tutur Djoko.
Dia menegaskan, solusi bukan pada teknologi, melainkan pada prinsip dasar pelayanan publik. Djoko mendorong Pemkot Bandung untuk belajar dari kota lain, seperti Jakarta dan Semarang, yang lebih progresif dalam membenahi transportasi umum.
“Kalau prinsip dasarnya belum dipegang, semua teknologi hanya alat bantu. Transportasi publik itu soal kemauan politik, keberpihakan, dan eksekusi yang serius,” ucap Djoko.
Lebih lanjut, Djoko menjelaskan, kawasan perumahan di Bandung yang jumlahnya mencapai ratusan juga menjadi tantangan besar karena akses jalannya sempit, menyulitkan masuknya kendaraan umum berukuran besar. Dia mengusulkan, sebagai solusi praktis, agar dibuat sistem feeder (pengumpan) yang terintegrasi, seperti yang diterapkan dalam program JakLingko di Jakarta.
BRT dan pembangunan jalan layang, menurut dia hanya bisa menyelesaikan kemacetan di titik-titik tertentu. “Yang penting sekarang adalah menyediakan feeder ke perumahan-perumahan. Jalan aksesnya kecil bisa diatasi dengan angkot feeder yang benar,” ujar Djoko.
Djoko pun menyoroti anggaran Pemkot Bandung yang dinilai lebih memprioritaskan kendaraan dinas ketimbang pembenahan transportasi publik. “Mobil pejabat mewah semua, sementara anggaran untuk transportasi publik cuma segitu-gitu saja,” kata dia.
“Semarang bisa keluarkan Rp260 miliar per tahun. Bandung berapa?”


