sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kasus penembakan Laskar FPI, petinggi BIN ini dapat teror

Serangan siber tersebut dibalas dengan mengumbar data pribadi pelaku.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 30 Mar 2021 12:57 WIB
Kasus penembakan Laskar FPI, petinggi BIN ini dapat teror

Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengaku, mendapatkan serangan siber pascainsiden terbunuhnya enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek (Japek) KM 50.

Serangan siber tersebut menggunakan server luar negeri dan dioperasikan anak muda yang terpapar paham radikalisme. Untuk melakukan pelacakan, BIN terlebih dahulu menjalin kerja sama dengan negara lain.

Belakangan diketahui serangan siber tersebut hanya dipantik kesalahpahaman belaka.

“Ada beberapa server dan akun yang tidak berada di Indonesia, di situ nama saya di blow up. Nomor saya di blow up di situ dan akhirnya ratusan ribu teror datang ke saya melalui whatsapp dan telepon gelap. Intinya mau membunuh saya,” ucapnya dalam diskusi virtual, Selasa (30/3).

Saat itu, sekali ‘pukul’ dirinya bisa mendapatkan 4.500 serangan siber. Sehingga gawainya panas dan hang (error).

Merespons itu, Wawan mengaku tidak dengan marah-marah dalam menghadapi 'penyerang' tersebut, agar bisa membina dan mengubah pola pikir pelakunya. Serangan siber tersebut dibalas dengan mengumbar data pribadi pelaku.

“Saya jawab dengan santai saja. Beberapa di antaranya saya jawab dengan mengatakan siapa pelaku dan fotonya. Baru dia diam,” tutur Wawan.

Berangkat dari peristiwa tersebut, Wawan mensinyalir media sosial menjadi incubator penyebaran paham radikalisme. Biasanya, generasi muda yang rentan terpapar paham radikalisme rentang usianya 17 hingga 24 tahun. Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terbaru menyatakan, 80% generasi milenial rawan terpapar radikalisme. Sebab, cenderung menelan mentah informasi tanpa mengecek.

Sponsored

Sikap intoleransi akibat terpapar konten radikalisme di media sosial juga disebabkan keengganan generasi milenial untuk berpikir kritis. Di sisi lain, penyebaran konten radikalisme di media sosial masif karena akses internet mudah dan memang memikat bagi generasi muda.

Ia menilai, generasi muda membutuhkan jati diri dan eksistensi. Sementara itu, konten radikalisme di media sosial seringkali dibumbui narasi heroisme. Konten radikalisme di media sosial biasanya menggiring opini terkait perlunya tatanan sosial-politik saat ini dibenahi. Lalu, memposisikan generasi muda sebagai juru selamat yang mampu mengubah keadaan tersebut. Misalnya, mengubah paksa dengan aksi teror.

“Pesan (konten radikalisme di media sosial) tersebut membentuk kesesatan berpikir,” ujar Wawan.

Berita Lainnya
×
tekid