Saat kritik direspons serangan siber: Otoritarianisme ruang digital?
Neni Nur Hayati kaget saat mendapat kabar dari wartawan bahwa salah satu video TikTok miliknya telah diposting ulang oleh akun-akun media sosial resmi milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yakni @jabarprovgoid, @humas_jabar, dan @jabarsaberhoaks. Video itu ia unggah pada 16 Juli 2025.
Menggunakan referensi dari laporan investigatif Kompas bertajuk "Buzzer Mengepung Warga" dan "Buzzer Politik Pemborosan Anggaran", Neni mengunggah video edukatif yang isinya membahas secara umum praktik-praktik yang dianggap merusak demokrasi. Ia tidak menyebut nama pejabat tertentu, termasuk Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Menurut Neni, video tersebut digunakan tanpa izin dan ditampilkan dengan sudut pandang sepihak. Sejak itu, Neni tidak berhenti mendapat teror berantai yang disertai perundungan, cacian dan ancaman kekerasan hingga ancaman pembunuhan karena dianggap mengkritik Dedi Mulyadi.
"Sampai sekarang masih terjadi dan itu memang sangat intens. Saya dibantu teman teman SAFEenet untuk menonaktifkan beberapa item sehingga saat ini tidak bisa menyerang melakui message pribadi tapi membanjiri di kolom komentar," kata Neni kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (6/7).
Neni mengaku ponsel sempat diretas karena memang tidak bisa login ke akun media sosial miliknya. Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia itu juga terus-menerus mendapat panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal.
Neni mengatakan sudah mengajukan somasi ke Pemprov Jawa Barat. "Tetapi, balasan mereka tidak bisa diterima secara akal sehat yang beralibi bahwa pemasangan foto saya tanpa izin itu adalah bagian dari keterbukaan informasi," kata Neni.
Insiden peretasan yang menimpa situs Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, belum lama ini. Insiden ini terjadi tak lama setelah para dosen, termasuk Ketua PERSADA Dr. Fachrizal Afandi, menyuarakan kritik terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) mengecam keras insiden peretasan itu. Menurut KIKA, insiden peretasan tersebut bukan sekadar serangan siber biasa, melainkan bentuk represi digital yang membungkam suara-suara kritis dan menjadi ancaman serius bagi prinsip kebebasan akademik di Indonesia.
Peretasan dengan motif yang diduga kuat terkait dengan kritik terhadap RUU KUHAP mengirimkan pesan ancaman yang menakutkan, tidak hanya kepada para dosen di Universitas Brawijaya, tetapi juga kepada seluruh akademisi, peneliti, dan mahasiswa di Indonesia.
"Hal ini dapat menimbulkan efek 'dingin (chilling effect) yang membuat para cendekiawan enggan bersuara lantang karena khawatir akan adanya serangan balasan di ruang digital," tulis KIKA dalam siaran pers yang diterima Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Kritik terhadap kebijakan publik, termasuk RUU KUHAP, menurut KIKA, adalah bagian tak terpisahkan dari peran universitas sebagai penjaga nalar kritis bangsa. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan masukan konstruktif demi terciptanya legislasi yang lebih berpihak pada keadilan, HAM, dan prinsip-prinsip negara hukum.
"Upaya pembungkaman, baik melalui peretasan atau cara-cara digital lainnya, merupakan tindakan pengecut yang merusak ekosistem demokrasi dan merendahkan peran akademisi sebagai intelektual publik," jelas KIKA.
Dalam laporan terbarunya, SAFEnet mencatat 29 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital sepanjang April hingga Juni 2025. Walaupun jumlah kasus menurun dibanding triwulan pertama 2025, jumlah korban justru meningkat.

Belum demokratis
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya (FISB) Universitas Islam Indonesia (UII) Masduki menilai fenomena kekerasan digital atau serangan siber sudah banyak dialami aktivis dan intelektual publik di berbagai kampus. Represi digital itu, kata dia, terekam sejak era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
"Nah, ini sebetulnya di banyak kampus terjadi. Di UGM (Universitas Gadjah Mada), termasuk juga di UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Kenapa? Karena pemerintah rezim Jokowi atau Prabowo itu memang antikritik. Tidak mau menerima kritik sebagai bagian dari vitamin perbaikan. Tapi, yang mengkritik dianggap mengancam atau mengganggu kemapanan," kata Masduki kepada Alinea.id.
Serangan siber terhadap aktivis dan akademikus yang kritis, kata Masduki, lazimnya pasukan siber atau pelaku lapangan atas "pesanan" pejabat pemerintah. Maraknya serangan siber kepada aktivis yang kritis menggambarkan jika Indonesia belum sepenuhnya demokratis.
"Indonesia masih termasuk yang kategori adalah internet safety paling rendah di seluruh dunia. Kita masih eranya Orde baru. Era otoriter, hanya yang terjadi sekarang adalah digital otoritarianisme. Otoritarianisme berbasis ruang digital," kata Masduki.
Senada, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah berpendapat serangan siber terhadap kalangan aktivis dan akademikus kritis kemungkinan merupakan bagian dari operasi digital rezim penguasa.
Ia mengusulkan dua cara untuk melawannya. Pertama, perlawanan secara politis, yakni tak memilih lagi pejabat yang antikritik dan mengandalkan buzzer untuk pencitraan.
"Yang justru melemahkan masyarakat sipil. Kedua, secara hukum, ini bisa digugat perbuatan melawan hukum kalau memang terbukti pemerintah menggunakan perangkatnya meretas website PERSADA," kata Herdiansyah.


