sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kebebasan akademik diakui PBB dan UU Dikti

Undang-Undang Dikti dikenal dengan kebebasan akademik, mimbar akademik dan otonomi keilmuan.

Natasya Maulidiawati
Natasya Maulidiawati Rabu, 12 Jan 2022 16:55 WIB
Kebebasan akademik diakui PBB dan UU Dikti

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Herlambang P Wiratama mengatakan, kebebasan akademik memiliki sejarah yang panjang dalam dunia pendidikan tinggi, universitas, dan termasuk lembaga-lembaga yang memproduksi pengetahuan.

“Dasar secara hukum Hak Asasi Manusia berada di article Universal Declaration of Human Right (1948) dengan basis soal dengan kebebasan yang diakui kaitannya dengan ekspresi, berpendapat dan hak ekonomi sosial budaya. Terutama pengakuan terhadap hak atas pendidikan,” ujarnya dalam webinar Pentingnya Kebebasan Akademik Peneliti dan Otonomi Lembaga Penelitian, Rabu (12/1).

Herlambang mengatakan, ada Special Repporteur di PBB yang mengakomodasi tentang sejumlah resolusi yang berkaitan dengan kebebasan akademik. Dalam pengerjaannya, proses yang dipastikan secara kerangka normatif itu berada di tafsir Pasal 13 ayat 2 Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya.
Lebih lanjut, Herlambang juga mengatakan bahwa Kovenan itu telah dimodifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 2005 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. 

“Jika dibandingan kontruksi pasal dan penerjemahan antara Undang-Undang Dikti dengan apa yang diatur dalam tafsir Hukum Hak Asasi Manusia ada gap. Konsep lebih rinci dan detail yang dimiliki oleh sistem hukum HAM yang dikembangkan PBB,” ujarnya.

Hal itu berdasarkan Undang-Undang Dikti dikenal dengan kebebasan akademik, mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Kebebasan akademik merujuk kepada dosen dan mahasiswa. Mimbar akademik merujuk kepada dosen saja dan otonomi keilmuan adalah kebebasan seorang profesor atau dosen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui research dan sebagainya.

Konsep PBB, lanjut Herlambang, didalam tafsir resminya dalam Pasal 13 Konvenan Hak Ekonomi Sosial Budaya mengandung dua elemen mendasar.

Pertama adalah kebebasan individual yang dimiliki profesor atau dosen dan mahasiswa sebagai individu atau kelompok kolektif. Mengekspresikan secara bebas pendapatnya, tentang institusi dimana dia bekerja. 

“Jadi kritik terhadap institusinya itu bagian dari kebebasan akademik. Bukan pembangkangan atau tidak patuh pada atasan,” ucapnya.

Sponsored

Elemen kedua adalah universitas itu sendiri sebagai bagian dari komunitas menjelaskan bahwa kenikmatan kebebasan akademik memerlukan otonomi institusi dalam perguruan tinggi. Sebenarnya semua institusi akademik berhak atas otonomi institusinya. Artinya bebas dari campur tangan. 

“Menjadi pijakan atau dasar bahwa kebebasan akademik komponen pertama dalam kebebasan individual atau grup yang artinya instrumen hak asasi manusia terkaitan dengan ekspresi dan kebebasan akademik mencakup otonomi institusi akademik tidak terkecuali dengan lembaga reserch,” pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid