sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kebijakan HET beras dinilai tak efektif stabilkan harga

Tidak dihitungnya biaya tambahan seperti biaya transportasi menjadi salah satu kelemahan kebijakan HET beras.

Satriani Ariwulan
Satriani Ariwulan Minggu, 22 Apr 2018 13:32 WIB
Kebijakan HET beras dinilai tak efektif stabilkan harga

Penerapan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras menjadi sorotan. Kebijakan itu dinilai tak efektif untuk menstabilkan harga pangan.  

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan penerapan HET merupakan bentuk intervensi pasar karena sudah mendistori permintaan dan penawaran di pasar.

"Hal ini justru akan meningkatkan peluang terjadi kelangkaan komoditas tersebut di pasar," kata peneliti CIPS Novani Karina Saputri dilansir Antara, Jakarta, Minggu (22/4).

Salah satu kelemahan kebijakan harga eceran tertinggi, menurut dia, adalah tidak dihitungnya biaya tambahan seperti biaya transportasi dan biaya tenaga kerja dalam penetapannya. 

Pemerintah dinilai perlu terlebih dulu menyederhanakan rantai distribusi beras yang panjang di sepanjang wilayah Nusantara sebelum menerapkan kebijakan seperti harga eceran tertinggi. Panjangnya rantai distribusi ini sebelumnya juga disebut-sebut sebagai penyebab tingginya harga beras di Indonesia. 

"Pemerintah harus bisa menyederhanakan rantai distribusi yang panjang dulu sebelum menerapkan harga eceran tertinggi," kata Novani.

Besaran HET yang ditetapkan oleh pemerintah untuk beras kualitas medium sebesar Rp9.450 per kilogram untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi.

Wilayah Sumatera, tidak termasuk Lampung dan Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Rp9.950 per kilogram, dan untuk Maluku termasuk Maluku Utara dan Papua, HET beras kualitas medium sebesar Rp10.250 per kilogram.

Sponsored

Selain HET, kebijakan klaim surplus beras, impor beras dan bantuan pangan nontunai (BPT), dinilai mengutak-atik formulasi terkait sisi pasokan dan permintaan industri beras nasional.

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika mengatakan kebijakan terkait beras perlu dibenahi untuk memperkuat kredibilitas pemerintah. Pasalnya, komoditas tersebut adalah bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di Tanah Air.

Ia berpendapat bahwa sedikit saja salah langkah bisa berakibat fatal dari segi ekonomi dan elektabilitas. Apalagi, sekitar 70% masyarakat Indonesia adalah segmen menengah ke bawah, dan 70% dari pengeluaran segmen tersebut terkait pangan.

"Kebijakan terkait beras berdampak besar terhadap kelangsungan perut rakyat Indonesia dan kredibilitas pemerintah dalam menjaga pasokan pangan," kata dia

Berita Lainnya
×
tekid