Kemenkes tegaskan larangan penggunaan obat sirop bersifat sementara
Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Yankes Kemenkes) menerbitkan surat edaran (SE) tentang petunjuk penggunaan obat sediaan cair atau sirop pada anak tertanggal 24 Oktober 2022. Ini dilakukan seiring maraknya kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak usia 6 bulan-18 tahun.
Dalam SE tersebut, sebanyak 156 obat sirop dipastikan tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol sebagai pelarut. Pun dinyatakan aman sepanjang digunakan sesuai aturan pakai.
"Obat-obatan di luar 156 tersebut untuk sementara tetap dilarang digunakan, baik di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), termasuk dijual di apotek, sampai dengan pengumuman pemerintah lebih lanjut," kata Juru Bicara (Jubir) Kemenkes, M. Syahril, dalam keterangan pers daring, Selasa (25/10).
Syahril menuturkan, larangan menjual atau meresepkan obat sirop yang ditetapkan bersifat sementara. Katanya, Kemenkes secara bertahap akan melakukan penyesuaian atas larangan tersebut, salah satunya mengumumkan 156 obat yang aman dikonsumsi, sehingga diharapkan larangan itu dapat segera dicabut.
"Larangan ini adalah bersifat sementara. Dalam arti kata, sambil menunggu hasil penelitian selesai. Untuk waktunya, kemarin sudah diumumkan [ada] 156, berarti, kan, bertahap. Dan mudah-mudahan tidak sampai lama larangan ini bisa kita cabut dan kembali ke normal lagi," papar Syahril.
Kendati demikian,Syahril tak menyampaikan sampai kapan batas waktu larangan tersebut akan diterapkan. Dia hanya menyatakan, kebijakan itu menanti rampungnya penelitian yang dilakukan Kemenkes bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal gagal ginjal akut dan penyebabnya, yang diduga akibat cemaran senyawa kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat sirop anak.
Menyangkut kompensasi bagi para pelaku industri maupun pedagang obat yang terdampak kebijakan ini, Syahril juga enggan berkomentar lebih jauh. Menurutnya, tak ada kompensasi sebab persoalan tersebut bagian dari keadaan yang harus ditanggung secara bersama-sama.
"Untuk kompensasi, saya kira, sebagai bangsa dan warga negara yang baik, kita ikutin aturan dan ini adalah masalah bersama. Tentu saja pemerintah tidak akan beri kompensasi karena ini bagian dari suatu keadaan yang harus kita tanggung bersama," tuturnya.
Di sisi lain, Syahril menyebut, peristiwa seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Namun, bakal menjadi cacatan bagi Kemenkes dalam mengawal penanganan kasus gagal ginjal akut dari hulu ke hilir.
Disampaikan Syahril, penanganan kasus dari hulu dilakukan melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya berhati-hati dalam mengonsumsi obat, terutama yang dikonsumsi tanpa resep dokter atau melalui konsultasi dengan tenaga kesehatan (nakes).
"Masyarakat akan kita edukasi, kita sosialisasikan bagaimana harus berperilaku, terutama tidak minum obat sembarangan tanpa satu keterangan atau konsultasi pihak tenaga kesehatan," terang Syahril.
Menurutnya, hal ini penting sebagai pengingat agar masyarakat tidak terburu-buru memberikan obat kepada anak dan mengabaikan faktor keamanan obat yang dikonsumsi saat sakit.
"Jangan cepat-cepat, begitu anak sakit, langsung diberikan obat," katanya. "Kejadian ini menunjukkan kepada kita, tidak semuanya obat bisa aman kalau diberikan tanpa konsultasi kepada dokter."
Sebelumnya, berdasarkan surat Plt. Dirjen Yankes Kemenkes terbaru, nakes dapat meresepkan atau memberikan obat dalam bentuk sediaan cair/sirop berdasarkan pengumuman BPOM atas 133 jenis obat tanpa propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol.
Selain itu, dari 102 obat-obatan yang ditemukan tim Kemenkes di rumah pasien kasus gagal ginjal akut, terdapat 23 produk obat yang dinyatakan tak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol serta aman sepanjang dikonsumsi sesuai aturan pakai.
Di samping itu, nakes juga dapat meresepkan atau memberikan obat yang sulit digantikan dengan sediaan lain sampai didapatkan hasil pengujian dan diumumkan BPOM. Dalam hal ini, ada 12 merek obat yang dapat digunakan.
"Dua belas merk obat yang mengandung zat aktif asam valporat, sidenafil, dan kloralhidrat dapat digunakan, tentunya pemanfaatannya harus melalui monitoring terapi oleh tenaga kesehatan," ujar Syahril dalam keterangan resmi.
Adapun apotek dan toko obat dapat menjual bebas dan/atau bebas terbatas 156 obat sirop tersebut kepada masyarakat. Namun, mengikuti peraturan perundang-undangan.
Kemudian, sebagai langkah antisipasi peningkatan kasus gagal ginjal akut, Dinas Kesehatan (Dinkes) provinsi dan kabupaten/kota serta fasyankes harus melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang penggunaan obat sirop sesuai kewenangan masing-masing.
"Kementerian Kesehatan RI akan mengeluarkan surat pemberitahuan kembali setelah diperoleh hasil pengujian Badan POM RI atas jenis obat obatan sirup lainnya," ucap Syahril.


