sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire, tipu-tipu romantisme masa lalu

Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire mengklaim punya kekuasaan besar. Fenomena apa yang terjadi?

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 23 Jan 2020 19:29 WIB
Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire, tipu-tipu romantisme masa lalu

M. Alfarisi mengaku bergabung dengan Sunda Empire selama lima bulan, sebelum akhirnya memutuskan keluar pada 19 September 2019. Ia mengaku, diajak bergabung oleh mantan istrinya, Renny Khairani.

Ketika masih menjadi bagian Sunda Empire, Alfarisi didoktrin pemahaman Sunda Empire sebagai kekaisaran matahari, yang berganti nama setiap 365 tahun.

Menurutnya, di Sunda Empire tak ada kaisar, raja, ratu, dan perdana menteri. Yang ada para gubernur jenderal sebagai pimpinan tertinggi.

Ia mesti membayar seragam, tetapi menolak gaji. Alasannya mau bergabung bukan karena gaji yang dijanjikan dolar, namun harapan agar rakyat Indonesia lebih makmur dan sejahtera.

Alfarisi mengatakan, terakhir ia menjabat sebagai mayor jenderal. Penjual kosmetik itu mengaku Sunda Empire melakukan penggelapan mobil mantan istrinya. Dari sana, ia kecewa.

“Terkadang untuk operasional. Saya sempat menentangnya, tetapi itu saja enggak amanah, bagaimana amanah dengan negara?” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (20/1).

Klaim kerajaan dan ratu adil

Seorang pimpinan Sunda Empire sedang beretorika di lapangan taman Villa Isola, Bandung, Jawa Barat. VIdeo ini diunggah pada 16 Juni 2018. Foto Youtube Sunda Empire.

Sponsored

Sunda Empire, kelompok tempat Alfarisi pernah bergabung, dikenal publik setelah beredar video yang dipublikasikan Alliance Press International di Youtube beberapa waktu lalu.

Di dalam video yang berlokasi di lapangan taman Villa Isola, Bandung, Jawa Barat itu, terekam kelompok yang berpakaian ala militer. Seorang lainnya berorasi menjelaskan soal visi-misi Sunda Empire.

Sunda Empire mengklaim Bandung sebagai korp diplomatik dunia. Mereka mengatakan, kekuasaan negara-negara di dunia akan berakhir pada 15 Agustus 2020 dan mesti daftar ulang ke Bandung.

Mereka pun mengklaim menguasai 54 negara di dunia. Sejumlah lembaga, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), The North Atlantic Treaty Organization (NATO), dan Pentagon diklaim lahir di Bandung.

Sebelumnya, publik dihebohkan dengan Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Pada 10-12 Januari 2020, “kerajaan baru” itu mulai dikenal publik usai mengadakan acara wilujengan dan kirab budaya.

Keraton ini dipimpin Toto Santoso yang bergelar Sinuwun Toto Santoso Hadiningrat dan Fanni Aminandia yang bergelar Kanjeng Ratu Dyah Gitarja. Mereka mengklaim punya 450 pengikut.

Beberapa klaim yang menghebohkan publik, di antaranya Keraton Agung Sejagat menguasai seluruh dunia, muncul setelah perjanjian 500 tahun Majapahit runtuh, serta menyebut PBB dan Pentagon merupakan bagian dari kerajaannya.

Kepada polisi, Toto mengaku beberapa bulan terakhir menerima wangsit dari leluhur dan keturunan Raja Mataram untuk mendirikan kelanjutan dari kerajaan itu.

Drama Toto dan Fanni berakhir setelah polisi menangkap mereka pada Selasa (14/1), dengan tudingan menyebarkan berita bohong dan membuat keresahan.

Selain dua gerakan tadi, ada pula Kesultanan Selaco di Tasikmalaya, Keraton Jipang di Blora, dan Kesultanan Keraton Pajang di Sukoharjo. Namun, ketiganya mengaku hanya gerakan budaya dan melestarikan warisan leluhur.

Munculnya seseorang yang mengaku punya kuasa bukan fenomena baru. Pada 1970-an ada Raden Sawito Kartowibowo. Menurut majalah Tempo edisi 13 Agustus 1977, Sawito mengaku sebagai ratu adil yang ditakdirkan membuka jalan baru perdamaian Nusantara dan jagat raya.

Pada awal 1970-an, mantan pegawai Departemen Pertanian itu berkelana, mencari wangsit ke beberapa tempat keramat di Jawa. Ia mengaku, bertemu penguasa kayangan dan arwah raja-raja Majapahit.

Ia menyusun naskah “Menuju Keselamatan” yang berisi penilaian negatif terhadap kerja pemerintah, sikap korup aparaturnya, suasana negara, kedaulatan hukum yang tersumbat, dan kemerosotan budi pekerti.

Menurut Tempo edisi 19 November 1977, ia berhasil mengajak diskusi beberapa tokoh penting, seperti Mohammad Hatta, Sudjono, Iskaq Tjokrohadisurjo, dan Jenderal Ishak Djuarsa.

“Dalam diskusi di rumah Sudjono di Ciawi, April 1973, tercetus gagasan untuk mengganti kepala negara yang sekarang,” tulis Tempo, 19 November 1977.

Ide itu memunculkan wacana mengalihkan pimpinan nasional dari Soeharto ke Bung Hatta. Lalu, dipersiapkan pendamping Bung Hatta, dua orang sipil dan dua dari militer.

“Yang sipil calonnya disepakati Sudjatmoko, staf ahli Ketua Bappenas dan Sawito sendiri. Sedang pendamping militer Ishak Djuarsa dan Jenderal Surono (Wapangab),” tulis Tempo.

Sawito berhasil mengelabui beberapa tokoh terkemuka negeri ini untuk meneken naskah “Menuju Keselamatan”.

Selain Sawito sendiri, pada 1976 naskah itu ditandatangani Ketua Majelis Wali Gereja Indonesia Justinus Darmojuwono, Bung Hatta, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Hamka, Dewan Gereja-Gereja Indonesia TB Simatupang, dan Ketua Umum Dewan Pengurus Sekretariat Bersama Kerja Sama Kepercayaan Indonesia Pusat sekaligus mantan Kapolri R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.

“Setelah Sawito dituduh subversif, para penandatangan merasa tertipu,” tulis Tempo, 19 November 1977.

Pada 1978, Sawito divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut Tempo edisi 6 Mei 1978, ia dituduh subversif, memanipulasi kepercayaan kebatinan dengan konsep politik yang bermaksud mengganti Presiden Soeharto.

“Ia dituding ingin menjadi presiden, dengan dasarnya cuma wangsit yang konon diterima selama bertapa di berbagai gunung. Suatu ketika akan menjadi presiden dan akan membawa Indonesia menjadi negara teladan bagi dunia,” tulis Tempo, 6 Mei 1978.

 Sejumlah pengunjung berada di gapura pintu masuk komplek Keraton Agung Sejagad Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (14/1/2020). Foto Antara/Anis Efizudin.

Mengapa mereka percaya?

Menanggapi fenomena ini, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Drajat Tri Kartono menuturkan, kelompok yang mengaku sebagai kerajaan dan penguasa dunia mengandalkan mitos sebagai struktur pengetahuan kolektif.

Bila mitos sudah terikat politik identitas, menurutnya, teori apa pun yang coba dijelaskan akan sia-sia. Sebagai pengetahuan kolektif, mitos akan membangkitkan reaksi bagi mereka yang mempercayainya.

“Kita punya semacam romantisme masa lalu yang sejahtera dan damai. Itu romantisme masa lalu, yang sebenarnya untuk tahun ini belum tentu cocok karena masalahnya berbeda,” tutur Drajat saat dihubungi, Senin (20/1).

Drajat mengatakan, fenomena ini cenderung terjadi di perdesaan lantaran paling merasakan ketidakadilan. Selain ketimpangan multidimensional, fenomena ini pun erat kaitannya dengan perubahan sosial, mengarah pada ketidakpastian yang tinggi.

Ia melanjutkan, figur ratu adil dalam rupa tokoh maupun sistem merupakan cerminan keberpihakan kepada rakyat kecil. Fenomena ini, kata dia, akan terus muncul hingga negara dirasa benar-benar mengayomi, tanpa mementingkan golongan tertentu.

“Namun, fenomena ini pun dapat meredup dengan sendirinya saat tidak berhasil memperoleh legitimasi dari masyarakat yang lebih luas,” ucapnya.

Sementara itu, Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro menuturkan, pengikut Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire bisa terayu karena penghayatan para aktor utama mereka sangat baik.

Permainan peran itu semakin efektif saat banyak orang yang berkumpul. Ketika berkumpul, para pengikut terbius “jiwa massa”.

Dari situ, kemudian terjadi proses deindividuasi—keadaan seseorang kehilangan kesadaran diri sendiri dan kehilangan pengertian evaluatif terhadap dirinya, dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas dan mengalihkan atau menjauhkan perhatian individu.

“Tidak mungkin mereka itu percaya kalau dihubungi lewat telepon. Lalu, ada ceramah dan mobilisasi dari situ, seperti orang kampanye. Akhirnya, mereka terbius dan percaya,” tutur Koentjoro ketika dihubungi, Selasa (21/1).

Jika diperhatikan, sebagian besar pengikut Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire adalah orang tua. Koentjoro khawatir, orang tua yang menjadi anggotanya mengalami post power syndrome—penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya.

Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire pun menawarkan iming-iming berupa pangkat dan status sosial lewat seragam. Simbol itu, kata dia, membuat para pengikutnya merasa sebagai orang pilihan.

Membangkitkan kejayaan masa lalu

 Sejumlah pengunjung menyaksikan batu prasasti di komplek Keraton Agung Sejagad Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (14/1/2020). Foto Antara/Anis Efizudin.

Koentjoro mengatakan, aktor utama Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire menderita skizofrenia waham kebesaran. Skizrofenia waham kebesaran, kata dia, adalah sebuah keyakinan berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau berbeda dengan orang lain.

“Diucapkan berulang-ulang, tapi tak sesuai kenyataannya,” kata Koentjoro.

Dihubungi terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, tidak ada unsur makar dari kasus Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire.

“Tak ada pelanggaran hukum dalam pengertian merebut kekuasaan yang sah,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (21/1).

Drajat Tri Kartono menilai, ada dua penyebab munculnya fenomena Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, dan gerakan serupa lainnya.

“Pertama, gejala tragedi kebudayaan di Indonesia,” kata Drajat.

Menurut dia, modernisasi yang berlandaskan rasionalitas dan sistem hukum legal, ternyata bisa bersanding dengan sikap fatalis—percaya atau menyerah pada nasib. Sikap fatalis ini juga berbasis pada kepercayaan terhadap Tuhan dan kejayaan masa lalu.

“Indonesia itu tidak pernah selamanya betul-betul rasional, betul-betul legal. Makanya, ketimpangan selalu terisi dengan ruang-ruangan seperti itu. Semakin canggih perkembangan teknologi, semakin banyak muncul yang aneh-aneh itu,” ujarnya.

Kedua, ia menyebut, fenomena ini merupakan budaya perlawanan dari sistem pemerintahan yang dasarnya legal rasional, tetapi takbisa menciptakan kesejahteraan dan keadilan.

Akhirnya, rakyat biasa punya kerinduan dengan sistem pemerintahan yang adil dan makmur.

“Mereka menyambut hal-hal seperti itu di tahun 2020 karena masa transisi yang cukup penting. Ada banyak sekali ramalan, perhitungan, yang sifatnya sebenarnya fatalis,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, sejarawan Adrian Perkasa menilai, fenomena Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire bukan gerakan mesianisme. “Hanya revivalisme (kebangkitan rohani) adat,” kata dia saat dihubungi, Senin (20/1).

Dosen ilmu sejarah Universitas Airlangga (Unair) ini menjelaskan, ratu adil dan mesianisme cenderung pada ketokohan pembawa kedamaian umat pada akhir zaman. Sedangkan Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire, kata dia, hendak membangkitkan lagi kejayaan masa lalu.

Infografik kerajaan. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Ia menerangkan, revivalisme berawal dari tradisi Kristen terkait kebangkitan suatu tatanan. Revivalisme berusaha membangkitkan kembali adat, raja, dan istana yang sudah lama menghilang.

“Pola-pola semacam ini semakin mengemuka, khususnya setelah reformasi,” ujar Adrian.

Reformasi merupakan titik momentum karena membawa optimisme perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, kenyataannya malah menghasilkan tatanan yang dianggap lebih kacau.

Revivalisme, ungkap Adrian, banyak muncul seiring geliat arus modernisasi dan otoritas kekuasaan sentralistik luntur, pasca-Orde Baru.

“Rezim otonomi daerah turut mengukuhkan kebangkitan adat,” ujar dia.

Lebih lanjut, Adrian mengatakan, terdapat masalah sosial-ekonomi dan politik di balik fenomena kerinduan pada kejayaan masa lalu. Pengaitan ke masa lalu, ungkapnya, dianggap lebih pasti daripada masa depan yang seringkali disambut pesimis.

“Majapahit paling mudah dipakai untuk revivalisme karena ide kejayaannya jelas terlihat,” tutur penulis buku Orang-Orang Tionghoa dan Islam di Majapahit (2012) ini.

Berita Lainnya
×
tekid