sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cerita nakes di area konflik Papua: Kami khawatir dengan keselamatan kami

Kerja tenaga kesehatan di Papua kian berat setelah insiden serangan di distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, Papua.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Senin, 27 Sep 2021 11:56 WIB
Cerita nakes di area konflik Papua: Kami khawatir dengan keselamatan kami

Kabar mengenai serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) terhadap tenaga kesehatan di distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, pekan lalu, bikin Yulius Sondok tak tenang. Bekerja sebagai penyuluh kesehatan di distrik Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Yulius cemas hidupnya terancam. 

"Sebenarnya kalau dilihat dari letak wilayah (Boven Digoel) termasuk daerah rawan juga mengingat jarak ke Pegunungan Bintang bisa ditempuh oleh masyarakat dua hari jalan kaki. Ini yang kami takutkan. Kalau KKB terdesak, takut lari ke wilayah kerja kami," kata Yulius kepada Alinea.id, Rabu (22/9). 

Dalam peristiwa penyerangan KKB di Kiwirok, setidaknya sembilan tenaga kesehatan menjadi korban. Salah satu tenaga kesehatan bernama Gabriella Meilani meninggal karena dianiaya dan dilempar ke jurang. Korban lainnya mengalami luka-luka. 

Peristiwa penyerangan itu, kata Yulius, bikin dia was-was. Selain bertugas di Puskesmas Ninati, Yulius mengaku masih aktif mengunjungi rumah-rumah warga di pelosok Boven Digul. Jika kemalaman, ia bahkan kerap menginap di rumah warga. 

"Ada wilayah kerja yang cukup jauh dari puskesmas dan tidak bisa dijangkau dengan kendaraan. Untuk kampung-kampung yang terdekat, biasanya anggota satgas ikut. Tetapi, untuk kampung yang jauh, yang sampai nginep, tidak ikut," ujar pria berusia 32 tahun itu. 

Tanpa gangguan keamanan pun, menurut Yulius, bekerja sebagai tenaga kesehatan di Boven Digul saat pandemi tergolong berat. Selain akses jalan yang sulit dan cuaca yang kadang tak menentu, Yulius kerap harus berhadapan dengan warga yang kadang lebih percaya terhadap dukun ketimbang dokter. 

Sebagian masyarakat Boven Digul, kata Yulius, bahkan masih tidak percaya dengan bahaya Covid-19. "Tetapi, mereka juga tidak terima ketika ada yang terinfeksi. Giliran ada orang lain terinfeksi, mereka mengucilkan," kata pria asal Toraja, Sulawesi Selatan itu.

Konflik antara militer dan KKB, menurut Yulius, memperburuk persepsi masyarakat terhadap program-program kesehatan dari pemerintah pusat. Dampak yang paling terasa ialah penolakan sebagian besar warga Boven Digul terhadap program vaksinasi.

Sponsored

"Untuk vaksin, orang asli jarang ada yang mau. Mereka beranggapan bahwa vaksin itu sengaja dibuat untuk menghabisi masyarakat Papua. Sampai sekarang, soal pemeriksaan terhadap masyarakat tidak bisa kami lakukan karena tidak bisa mendapat persetujuan sama sekali," kata Yulius.

Pekerjaan Yulius kian berat lantaran terbatasnya personel di Puskesmas Ninati. Selain sebagai penyuluh, Yulius kini mengemban tugas sebagai penanggung jawab unit kesehatan masyarakat dan kesehatan jiwa di Puskesmas Ninati. "Terkait Covid-19, saya juga ditunjuk sebagai ketua vaksinasi puskesmas," kata dia. 

Penyuluh kesehatan di distrik Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Yulius Sondok berkunjung ke rumah pasien. /Foto dok. pribadi Yulius Sondok

Terpaksa mengungsi 

Kekhawatiran serupa diutarakan Aris, seorang tenaga kesehatan di distrik Firiwage, Boven Digoel. Berbatasan langsung dengan Pegunungan Bintang, situasi di distrik Firiwage terasa lebih mencekam lantaran hampir tidak ada aparat keamanan yang ditugaskan menjaga daerah tersebut. 

"Kami juga khawatir dengan keselamatan kami karena di tempat tugas kami tidak ada aparat keamanan seperti polisi atau pun tentara. Orang-orang dari Pegunungan Bintang sampai mengungsi ke tempat tugas kami," kata Aris saat dihubungi Alinea.id, Jumat (26/9)

Saat ini, Aris bersama sejumlah rekan kerjanya mengungsi ke pusat kota Boven Digul. Keputusan itu diambil sesuai anjuran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk tenaga kesehatan yang bertugas di Papua dan Papua Barat. 

Dalam sebuah surat edaran yang dirilis tak lama setelah serangan KKB di distrik Kiwirok, Kemenkes menganjurkan agar tenaga kesehatan yang tinggal di daerah yang dekat dengan area konflik untuk berlindung di tempat aman. 

"Demi keamanan bersama, kami keluar dari tempat tugas sementara waktu. Puskesmas kami agak jauh dari pemukiman warga. Jadi, kalau kami tiba-tiba dapat serangan dari KKB, kami sulit untuk mendapatkan bantuan dari masyarakat," ujar pria asal Bekasi, Jawa Barat itu. 

Salah seorang warga di Boven Digul, Papua menjalani tes Covid-19. /Foto dok. Yulius Sondok

Sebagaimana yang diungkapkan Yulius, Aris mengamini konflik antara KKB dan militer mempersulit kerja tenaga kesehatan di Papua. Selain harus bertaruh nyawa, tenaga kesehatan juga harus berhadapan dengan warga setempat yang cenderung antipati terhadap orang luar. 

"Kami kadang dimaki oleh masyarakat di sebuah desa. Padahal, niat kami baik hanya untuk menjalankan pelayanan kesehatan di desa tersebut. Pernah dan sering pelayanan posyandu di desa kami ditolak oleh aparat desa. Padahal, kami sudah minta izin," kata Aris. 

Aris juga membenarkan banyak warga Boven Digul yang menolak divaksinasi. Di distrik Firiwage, ia menyebut ada desa yang bahkan seluruh warganya tak mau diimunisasi. "Karena sudah banyak berita hoax beredar," imbuh alumni jurusan apoteker Universitas Pancasila itu.  

Tanpa pandemi pun, menurut Aris, bertugas sebagai tenaga kesehatan di distrik Firiwage sudah sulit. Untuk mengunjungi warga yang sakit di desa-desa, tenaga kesehatan, misalnya, sangat tergantung dengan kondisi aliran air di sungai setempat. 

"Kalau air banjir, bisa lebih cepat. Kalau surut, bisa agak lama sampainya. Selain itu, ada tiga desa yang listrik dan sinyal tidak ada. Tempat pelayanan di desa-desa juga sangat tidak memadai," kata Aris. 

Meski situasinya serba sulit, Aris mengaku berniat untuk bertahan. Dalam situasi yang genting seperti sekarang, Aris menyebut, kehadiran tenaga kesehatan justru dibutuhkan masyarakat Papua. "Saya juga sudah bertekad untuk mengabdi di Papua," ujar dia. 

Kelompok kriminal bersenjata KKB pimpinan Tandius Gwijangge alias Tandius Murib. /Foto dok Kogabwilhan III/Satgas Nemangkawi.

Buka dialog

Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah meminta agar pemerintah serius melindungi tenaga kesehatan yang bertugas di Papua. Apalagi, tenaga kesehatan kini tengah mengemban tugas negara untuk meredakan pandemi Covid-19. 

"Harus ada upaya strategis bagaimana membuat sistem pengamanan bagi mereka yang bertugas di daerah terpencil yang rawan konflik. Apakah itu dikawal atau, misalnya, fasilitas pelayanan kesehatannya yang dilokalisir," ujar Harif kepada Alinea.id, Sabtu (25/9). 

Harif tidak sepakat bila nakes ditarik dari tempatnya bertugas Papua karena alasan keamanan. Hal itu justru bakal membuat masyarakat Papua makin terpuruk karena hilangnya sentuhan pelayanan kesehatan. "Kalau ditanya, misalnya, menarik semua nakes yang bertugas di sana juga tidak mungkin," ucap Harif.

Selain jaminan keamanan, Harif mendorong pemerintah berdialog dengan KKB melalui tokoh masyarakat Papua. Tujuan dialog untuk memberikan pemahaman mengenai "posisi" tenaga kesehatan di wilayah konflik. "Bahwa secara internasional, dilarang menyerang nakes di mana pun dalam kondisi apa pun," imbuh dia. 

PPNI, kata Harif, sudah beraudiensi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) untuk mendapat gambaran jelas mengenai ancaman terhadap keselamatan para tenaga kesehatan di Papua. Ia berharap ada langkah tegas untuk melindungi para nakes yang bertugas di Bumi Cenderawasih. 

"KomnasHAM akan memfasilitasi kami untuk menemui beberapa pihak, terutama pihak keamanan, kapolri atau kapolda. Terus terang kita juga enggak tegas. KKB ini sebenarnya pemberontak atau kelompok kriminal biasa? Saat ini seolah-olah kelompok kriminal biasa. Padahal, kelompok ini sangat terorganisir," kata Harif. 

Terpisah, juru bicara vaksinasi Covid-19, Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan sudah meminta kepada seluruh kepala daerah di Papua dan Papua Barat serta aparat keamanan untuk melindungi para nakes yang bertugas di sana. 

"Kami sudah meminta kepala daerah bersama TNI dan Polri menjaga nakes yang ditempatkan di daerah terpencil dan sulit. Kami sudah berkordinasi dengan beberapa wilayah yang dianggap rawan terjadi penyerangan KKB agar nakes tersebut tidak luput dari perhatian," kata dia. 

Berita Lainnya
×
tekid