sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Punya pendapatan provinsi tertinggi, mengapa warga Jakarta tak bahagia?

DKI Jakarta punya PDRB per kapita tertinggi di antara 34 provinsi, tetapi dalam indeks kebahagiaan tergolong rendah.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Sabtu, 11 Feb 2023 06:10 WIB
Punya pendapatan provinsi tertinggi, mengapa warga Jakarta tak bahagia?

Dengan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) per kapita atas dasar harga berlaku (ADHB) pada 2021 sebesar Rp2,912 miliar dan atas dasar harga konstan (ADHK) Rp1,856 miliar, DKI Jakarta menjadi provinsi berpendapatan tertinggi di antara 34 provinsi lainnya. Pendapatan DKI Jakarta tersebut mengungguli Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.

Jika dirinci, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDRB per kapita ADHB total di enam wilayah Jakarta—Kepulauan Seribu, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara—pada 2021 sebesar Rp262,702 juta.

 

 

Secara nasional, gaji rata-rata per jam yang diterima pekerja di DKI Jakarta pada 2021 juga yang paling tinggi di Indonesia, dengan Rp30.662 per jam. Diikuti Papua sebesar Rp30.392 per jam dan Papua Barat Rp29.600 per jam.

Kalau disorot lebih dalam lagi, rata-rata gaji bersih sebulan pekerja formal di Jakarta pada 2021 di sektor pertanian sebesar Rp3,764 juta, industri Rp4,572 juta, dan jasa Rp4,252 juta.

Sayangnya, meski pendapatan provinsi dan gaji pekerjanya paling tinggi, warga Jakarta tak bahagia—dilihat dari skor indeks kebahagiaan 2021. Sebagai catatan, kebahagiaan penduduk diukur berlandaskan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). Pengukuran dilakukan setiap tiga tahun sekali.

Dengan skor 70,68 poin, Jakarta hanya menempati urutan ke-21 dari 34 provinsi lainnya dalam indeks kebahagiaan yang dilaporkan BPS. Jauh dari skor Maluku Utara (76,34) yang menempati urutan teratas.

Sponsored

Dibandingkan tahun 2017, indeks kebahagiaan penduduk Jakarta mengalami penurunan sebesar 0,65 poin. Capaian ini membuat jargon yang dahulu digaungkan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yaitu “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” menjadi tak relevan.

Situasi kendaraan di sebuah jalan raya di Jakarta./Foto Pixabay/syahidsund

Pandemi, keamanan, dan tata kota

Pada Desember 2021, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria berkilah, tak bahagiannya warga Ibu Kota lantaran pandemi Covid-19, yang mengakibatkan adanya kebijakan pembatasan sosial, terganggunya perekonomian, serta kesehatan.

“Keberadaan Jakarta sebagai episentrum Covid-19, sedikit banyak berpengaruh terhadap kondisi kebahagiaan penduduknya,” tulis BPS Provinsi DKI Jakarta dalam Indeks Kebahagiaan Provinsi DKI Jakarta 2021.

 

 

Indeks kebahagiaan diukur berdasarkan tiga dimensi utama, yakni kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup. Menurut BPS Provinsi DKI Jakarta, dimensi kepuasan hidup jadi faktor paling dominan yang memengaruhi indeks kebahagiaan pada 2021. Diikuti makna hidup dan perasaan.

“Hal ini sesuai dengan kondisi yang dialami oleh penduduk Jakarta selama 2021 karena selama pandemi, penduduk Jakarta terdampak secara emosional,” tulis laporan itu.

Kepuasan hidup mendapat capaian tertinggi, yakni 75,25 poin. Lalu, makna hidup (73,60) dan perasaan (63,27). Dalam dimensi kepuasan hidup, ada kepuasan hidup personal dan sosial.

Keharmonisan keluarga—terdapat dalam dimensi kepuasan hidup sosial—menjadi indikator tertinggi dibanding seluruh indikator penyusun kebahagiaan, yakni 81,69 poin. Namun, kalau dilihat secara nasional, keharmonisan keluarga di Jakarta terbilang rendah. Hanya ada di urutan ke-31 dari 34 provinsi. Memang unggul dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, dan Banten, tetapi jauh kalah dibanding Maluku Utara (89,02).

Sedangkan indikator yang paling rendah adalah perasaan tak khawatir atau cemas—yang terdapat dalam dimensi perasaan—dengan skor 53,81 poin. Hal ini membuat Jakarta ada di urutan kedua paling buncit, hanya unggul dari Banten (52,31).

“Kondisi ini sangat relevan dengan adanya pandemi Covid-19 yang terjadi sepanjang 2020-2021,” tulis BPS Provinsi DKI Jakarta.

Selain itu, indikator hubungan sosial Jakarta (75,74), keadaan lingkungan (78,67), dan kondisi keamanan (78,12)—yang terdapat dalam dimensi kepuasan hidup—pun terbilang jeblok karena ada di urutan kedua dan ketiga paling buncit secara nasional.

 

 

Catatan untuk kondisi keamanan, skornya hanya unggul dari Banten dan Papua. Lembaga riset Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2021 menempatkan Jakarta di urutan ke-46 dari 60 kota di dunia sebagai kota teraman. Skor keamanan Jakarta hanya 56,4 poin. Lima pilar yang jadi ukuran EIU adalah keamanan personal, kesehatan, infrastruktur, lingkungan, dan digital.

Di kawasan Asia Tenggara, Jakarta hanya menempati urutan ke-5 kota teraman, di bawah Singapura (80,7), Kuala Lumpur di Malaysia (66,6), Bangkok di Thailand (60,2), dan Ho Chi Minh di Vietnam (58,5).

Dalam Statistik Kriminal 2022 yang disusun BPS, pada 2021 DKI Jakarta menempati urutan kedua angka kejahatan terbanyak, yakni 29.103 kasus. Hanya setingkat di bawah Sumatera Utara (36.534 kasus). Tingkat risiko terkena kejahatan pun terbilang sangat tinggi, sebanyak 277 per 100.000 orang, di bawah Papua Barat (289 orang). Maka, tak heran hal ini berkorelasi dengan skor kondisi keamanan Jakarta yang buruk.

Faktor lain yang membuat penduduk Jakarta tak bahagia, tampaknya terkait tata kota. Situs arsitektur dunia Rethingking the Future (RTF) pada 2021 menjadikan Jakarta dalam urutan pertama kota dengan tata kota terburuk sedunia.

Di bawah Jakarta ada Dubai di Uni Emirat Arab, Brasilia di Brasil, dan Atlanta di Amerika Serikat. Jakarta dinilai punya tata kota buruk karena kota ini punya tingkat pencemaran udara tinggi, padat, dan pencemaran air yang luas.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid