sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Romo Kokoh, manfaatkan Twitter untuk pewartaan ajaran agama

Josafat Kokoh Prihatanto, Pr, menggunakan Twitter sebagai media pewartaan atau katekese sosial.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 27 Des 2019 13:18 WIB
Romo Kokoh, manfaatkan Twitter untuk pewartaan ajaran agama

Perkembangan media sosial mengubah gaya hidup masyarakat. Tak terkecuali dalam kehidupan kerohanian, media sosial menjadi sarana pewartaan ajaran agama atau syiar.

Josafat Kokoh Prihatanto, Pr, salah satu rohaniman Katolik. Dia menggunakan Twitter sebagai media pewartaan atau katekese sosial. Katekese ialah penyampaian ajaran atau pandangan dalam hidup Kristiani, yang antara lain meliputi kisah-kisah dalam Alkitab atau serba-serbi nilai dan aturan persekutuan dalam gereja.

Bermula pada 2013, rohaniman yang akrab disapa Romo Kokoh ini menyadari manfaat Twitter untuk membagikan hal-hal positif dan informatif. Keaktifannya berbagi unggahan semakin meningkat sejak 2018.

Keaktifan Josafat dalam memanfaatkan media sosial terlihat dari unggahan di akun Twitternya, @RomoJostKokoh. Setiap harinya, dia mengunggah sekitar 10 hingga 14 twit.

“Saya menggunakan Twitter sekadar berbagi informasi dan pesan pewartaan terbaru yang up to date, relevan dengan zaman now,” kata Josafat ketika berbincang dengan reporter Alinea.id, Jumat (20/12) di kawasan Karet Kuningan, Jakarta Selatan.

Bagi Josafat, penggunaan media sosial sudah menjadi tren di masyarakat modern. Dia terbetik untuk mengunggah konten gambar dan tulisan bermuatan katekese.

Josafat mulai menggunakan media sosial setelah munculnya akun Facebook palsu yang menggunakan identitas nama dan foto pribadinya. Sejak itu, dia mulai mengelola akun pribadinya. Terlebih ada respons sebagian umat Katolik yang merasa diabaikan karena tidak mendapat balasan komentar dan like darinya.

Sponsored

Dia mengatakan, pewartaan via media sosial yang dilakukannya didasari salah satu moto hidupnya, yaitu “A-B-C”. Urutan tiga alfabet pertama ini singkatan dari Awali dari apa yang ada, Bagikan dengan sukacita, dan Cinta Tuhan yang menyempurnakan.

“Jadi enggak usah tunggu tua atau kaya baru berbagi. Kita mulai saja dari apa yang kita miliki. Twit dari apa yang kita miliki saja dulu. Tidak usah menunggu sempurna,” kata dia.

Dalam suasana hari raya Natal tahun ini, misalnya, Josafat membagikan tulisan disertai gambar-gambar menarik seputar kehadiran Yesus ke dunia sebagai Pembawa Terang. Sementara dalam hari-hari biasa lainnya, dia membagikan kisah yang diilhami dari pengamatannya terhadap lingkungan sekitar, serba-serbi hari peringatan internasional, juga biografi tokoh-tokoh gereja atau Kristiani.

Materi yang dibagikannya melalui Twitter bersumber dari pengalaman pribadi, membaca banyak buku, atau kesan pribadinya atas suatu hal yang ditemui dalam aktivitas keseharian.

“Saya bertemu orang di pasar atau pinggir jalan, saya mengobrol. Kalau ada insight ya, saya tulis. Saya punya banyak buku, ya maklum, enggak punya istri,” kata Josafat, dengan tersenyum.

Berdialog dalam pluralisme

Unggahan-unggahan Josafat yang bersifat katakese direspons cukup baik oleh warganet. Sebagian pengikutnya tak hanya membubuhkan like, tapi juga kerap me-retweet. Sebuah unggahan pada 23 Desember 2019, misalnya, Josafat menulis ringkasan sosok Gus Dur dan Romo YB Mangunwijaya yang disebutnya sebagai “Man of Dia.lo.gue”.

Di situ Josafat menuliskan: “Suatu saat Gus Dur main ke rumah Romo Mangun di Mrican, Yogyakarta. Pada waktu itu suara azan terdengar, Romo Mangun segera bilang ke sahabatnya itu: “Kae nek arep salat, sajadahe wis tak cepakke...” (“Sana, kalau kamu mau salat, sajadah sudah saya siapkan.”)

Unggahan itu di-retweet sebanyak 254 kali dengan 664 like.

Menurutnya, kehadiran tokoh yang mampu meretas kebuntuan komunikasi antarwarga berbeda keyakinan ataupun latar belakang budaya sangat dirindukan oleh bangsa Indonesia. Gereja Katolik juga dia pandang perlu membangun komunikasi sosial lebih terbuka, terutama dengan kalangan orang muda, umat beragama lain, dan orang miskin.

“Indonesia butuh tokoh yang mampu membangun dialog antarelemen masyarakat yang beragam. Dia, lo, gue. Dialog. Jadi ada perjumpaan aku, kamu, dan dia,” katanya.

Dia mencontohkan, almarhum YB Mangunwijaya atau Romo Mangun sebagai sosok pastor yang menjalankan pelayanan sosial yang inklusif bagi orang dengan latar belakang budaya dan keyakinan berbeda. Josafat mengatakan, gaya hidup sederhana dan ramah kepada orang yang berbeda selalu menjadi ciri karya pelayanan Romo Mangun.

Gereja-gereja yang pernah menjadi lokasi penginjilan Romo Mangun di beberapa kota sekadar dibatasi dengan pagar-pagar kecil, seperti di Cilincing, Jakarta Utara; juga Gedono dan Sragen, Jawa Tengah. Romo Mangun yang juga dikenal sebagai ahli arsitektur mengutamakan konsep arsitektur Nusantara dalam mendirikan gedung gereja.

“Agar terbuka bagi lingkungan masyarakat sekitar, banyak ruang-ruang komunikasi yang dibangun oleh Romo Mangun sehingga memungkinkan komunikasi dengan masyarakat luas,” ucap Josafat.

Belakangan, kata Josafat, tokoh pemimpin seperti Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama hanya segelintir orang yang bersedia dibebani tanggung jawab sosial dengan laku jujur dan tekun. Menurut dia, meskipun sering disakiti atau difitnah, keduanya rela berepot-repot untuk kebaikan orang banyak.

Bersahabat, bukan bersikap jahat

Terkait tema perayaan Natal Nasional 2019 “Hiduplah Sebagai Sahabat bagi Semua Orang”, Josafat menjelaskan, kata “sahabat” berakar dari kata dalam bahasa Latin, socious. Ini mengingatkan keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang saling bersahabat.

Adanya situasi dunia yang tidak bersahabat, menurutnya, menjadi alasan pentingnya membawa semangat persahabatan dan sukacita Natal ke tengah-tengah warga dunia. Merujuk pemikiran seorang filsuf, Josafat mengungkapkan pentingnya menyayangi dalam perbedaan antarmanusia. Dibandingkan gambaran kelam dari frasa homo homini lupus, dia menyarankan keberanian umat Kristiani menjadi pembawa kasih yang mendamaikan.

“Homo homini socius, kita manusia itu bersahabat. Kalau kita saling mengalahkan, maka kita adalah hewan yang melukai. Dalam dunia yang penuh kebencian, mari kita tawarkan kedamaian,” ujarnya.

Josafat menyederhanakan pesan kasih dari tiga suku kata dalam “sahabat”. Mengacu sejumlah bacaan dalam Injil, dia menuturkan, Sa berarti “Satu dalam suka”. Sementara itu, Ha adalah “Hadir dalam duka” dan Bat sikap “Berjabat dalam doa”.

Berpedoman pada teladan hidup Yesus Kristus, menurut Josafat, ketiga sikap itu menjadi cara hidup yang mesti dilakukan dalam kehidupan sosial kiwari. Orang Kristiani, kata dia, perlu menerapkan hal serupa dalam laku konkret sehari-hari, terlebih kepada orang dengan kepercayaan berbeda.

Romo Kokoh juga mengingatkan pentingnya solidaritas dengan sesama yang berbeda.

“Sahabat itu juga bersetiakawan, satu dalam suka, duka, dan doa. Orang sakit, walaupun berbeda agama, kunjungilah. Jangan sampai karena dia Islam, tidak kita jenguk. Kita tidak boleh pilih kasih,” katanya.

Dia pun terkenang dengan pengalamannya semasa menjalankan pelayanan sosial bersama para narapidana di Rutan Kelas I Surakarta, Jawa Tengah, pada 2013. Kala itu, setelah beberapa minggu di sana, Josafat dihadiahi kaus bertulisan inisial nama pendeknya, JOST.

Cendera mata itu juga menjadi tanda perpisahannya dengan para napi. Seakan meniru kebiasaan si pastor membuat bermacam-macam singkatan, para napi juga menyertakan kepanjangan inisial itu pada sablon kaus tersebut, yakni “Jadikan Orang Sahabatnya Tuhan”.

Sebagaimana laku hidup “sa-ha-bat” tersebut, Romo Kokoh mengharapkan akan tumbuh buah-buah Natal dalam hidup manusia, yaitu kebahagiaan, kesucian, dan kesehatan. Terlebih dalam peringatan hari raya Natal kali ini, pesan itu menjadi relevan untuk digiatkan oleh umat Kristiani. Josafat mengajak umat berperan aktif menjadi pembawa terang bagi lingkungan sekitar.

“Natal adalah sebuah bukti intervensi Tuhan dalam hidup kita. Kita tidak boleh berdiam saja agar Natal lebih bermakna,” ucapnya

Berita Lainnya
×
tekid