sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib rumah DP 0: Anggaran dipangkas, tak dinikmati masyarakat kecil

Rusunami merupakan wujud realisasi janji kampanye Anies Baswedan untuk menyediakan rumah DP 0.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Kamis, 05 Des 2019 18:07 WIB
Nasib rumah DP 0: Anggaran dipangkas, tak dinikmati masyarakat kecil

Rumah susun sederhana milik (rusunami) Nuansa Pondok Kelapa, Jakarta Timur setinggi 21 lantai di Jalan H. Naman, Duren Sawit, Jakarta Timur merupakan wujud janji kampanye Anies Baswedan saat maju menjadi Gubernur DKI pada 2017. Ketika itu, Anies berjanji membangun hunian dengan down payment (DP) 0% alias 0 rupiah.

Selain dikenal dengan nama Nuansa Pondok Kelapa, rusunami bercat putih kombinasi cokelat yang dibangun BUMD Perumda Pembangunan Sarana Jaya ini juga disebut Menara Samawa dan Klapa Village.

Suharyati—bukan nama sebenarnya—mengaku tertarik ikut mendaftarkan program rumah DP 0 karena sudah lelah mengontrak. Sebelumnya, ia bersama suami dan seorang anaknya mengontrak rumah di Cakung, Jakarta Timur.

“Daripada ngontrak, lebih baik beli rumah kayak begini,” kata dia saat ditemui Alinea.id di rusunami Nuansa Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Rabu (4/12).

Suharyati mengambil hunian tipe 21, yang harganya Rp213 juta. Angsuran yang harus dikeluarkan per bulan Rp1,7 juta, dengan rentang waktu 15 tahun.

Akan tetapi, Suharyati juga harus mengeluarkan uang untuk membayar listrik, air, dan iuran pemeliharaan lingkungan. Jika ditotal, ia mengeluarkan Rp2,5 juta per bulan.

“Enaknya tidak kena DP, jadi bisa langsung bayar cicilan saja,” ujar Suharyati, yang sudah tinggal di rusunami ini sejak Agustus 2019.

Penghuni Nuansa Pondok Kelapa lainnya, Farida, mengaku puas tinggal di bangunan yang masih baru dan bersih. Sebelum memutuskan ikut program rumah DP 0, Farida sempat mempertimbangkannya, terutama perkara luas bangunan. Ia pun sempat membandingkan dengan beberapa apartemen di Jakarta Timur.

Sponsored

“Sebelum mengambil tempat ini, saya sudah harus tahu konsekuensinya, tapi yang paling penting di sini bersih banget,” kata Farida saat ditemui di rusunami Nuansa Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Rabu (4/12).

Farida mengambil tipe rumah yang sama dengan Suharyati, tetapi memilih cicilan yang jauh lebih murah. “Saya per bulannya Rp1,4 juta, masa waktunya 20 tahun,” ujarnya.

Namun, Farida mengeluh dengan biaya iuran pemeliharaan lingkungan, yang dinilai memberatkan penghuni rusunami. Menurutnya, banyak peminat program rumah DP 0 yang mundur gara-gara ada iuran ini.

Rusunami Nuansa Pondok Kelapa di Jakarta Timur merupakan tahap pertama pembangunan rumah DP 0. Alinea.id/Ardiansyah Fadli.

Tipe hunian dan persyaratan

Bagian pemasaran rumah DP 0 Nuansa Pondok Kelapa, Heri mengatakan, saat ini total ada 4.000 orang yang mengajukan pembelian rumah. Ia menyebut, gelombang kedua pendaftaran sudah dibuka sejak Agustus 2019. Sedangkan gelombang pertama dibuka pada Juli 2019.

Menurut dia, baik gelombang pertama maupun kedua, banyak peminat yang gugur karena tidak memenuhi persyaratan.

"Nah, 4.000 orang itu banyak yang gugur karena dia sudah punya rumah," kata Heri saat ditemui di kantor pemasaran hunian Nuansa Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Rabu (4/12).

Heri menerangkan, syarat lainnya untuk peminat rumah DP 0 adalah memiliki penghasilan Rp4 juta-Rp7 juta per bulan. Selain itu, warga ber-KTP DKI yang sudah tinggal di Jakarta minimal 5 tahun, tidak pernah menerima subsidi rumah, taat membayar pajak, dan prioritas bagi warga yang sudah menikah menjadi syarat lainnya.

Calon pembeli bisa memilih dengan bebas tipe hunian. Namun, kata dia, penentuan akhir tergantung dari pihak perbankan. Bank DKI, sebutnya, akan menghitung seberapa besar kemampuan konsumen dalam membayar cicilan berdasarkan penghasilan per bulan.

Sejauh ini, Heri mengatakan, banyak yang mengambil tipe hunian dua kamar. "Banyak yang ambil cicilan 20 tahun, jadi Rp2,2 juta, ya daripada dia ngontrak Rp1,5 juta mending beli ini," ucap dia.

Ditanya soal iuran pemeliharaan lingkungan yang dikeluhkan beberapa penghuni, Heri menjelaskan, biaya itu untuk kebutuhan pemeliharaan gedung, operasional benda-benda di dalam gedung, cadangan renovasi, pemeliharaan taman, pengamanan, pengelolaan pegawai, dan premi asuransi kebakaran.

Heri merinci, kira-kira biaya yang dikeluarkan bagi pembeli hunian tipe 21 studio (STC) dengan ukuran 22,25 meter persegi, biaya iuran pemeliharaan lingkungan per bulan sekitar Rp296.000. Hal itu dihitung dengan biaya per meter persegi sebesar Rp9.900.

Secara umum, di rusunami ini terdapat tiga tipe, yakni studio, 21, dan 36. Rinciannya, tipe 21 studio (ST) ukuran 21 meter persegi seharga Rp184,8 juta dengan cicilan per bulan Rp1,9 juta selama 10 tahun, Rp1,4 juta selama 15 tahun, dan Rp1,1 juta selama 20 tahun.

Tipe 21 studio (STC) ukuran 22,25 meter persegi seharga Rp195,8 juta dengan cicilan per bulan Rp2 juta selama 10 tahun, Rp1,4 juta selama 15 tahun, dan Rp1,2 juta selama 20 tahun.

Kemudian, tipe 21 satu kamar tidur (1BA) ukuran 23,95 meter persegi seharga Rp210,7 juta dengan cicilan Rp2,1 juta selama 10 tahun, Rp1,6 juta selama 15 tahun, dan Rp1,3 juta selama 20 tahun.

Lalu, tipe 21 satu kamar tidur (1BC) ukuran 24,25 meter persegi seharga Rp213,4 juta dengan cicilan Rp2,2 juta selama 10 tahun, Rp1,6 juta selama 15 tahun, dan Rp1,3 juta selama 20 tahun.

Tipe 36 dua kamar tidur (2BA) ukuran 34,65 meter persegi seharga Rp341,7 juta dengan cicilan Rp3,4 juta selama 10 tahun, Rp2,5 juta selama 15 tahun, dan Rp2,1 juta selama 20 tahun.

Terakhir tipe 36 dua kamar tidur (2BC) ukuran 35,30 meter persegi seharga Rp341,7 juta dengan cicilan Rp3,5 juta selama 10 tahun, Rp2,6 juta selama 15 tahun, dan Rp2,1 juta selama 20 tahun.

Heri mengatakan, rumah tersebut boleh dijual kembali, tetapi harus melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta. Ia melanjutkan, rumah ini juga harus dijual kepada orang yang membutuhkan dan punya kriteria yang sesuai.

Selain ada petugas keamanan, teknologi sensor dengan kartu akses menjadi pelengkap pengamanan lingkungan rusunami. Untuk masuk dan naik ke lantai tujuan di dalam rusunami, penghuni harus menggunakan kartu akses yang disentuh ke sensor di lift dan pintu.

"Jadi kayak di hotel," katanya.

Setiap lantai memiliki 39 unit hunian. Di dalam kompleks rusunami yang hanya satu tower ini, terdapat taman bermain dengan rumput sintetis.

Menurut Heri, pada Desember 2019 pihaknya akan meluncurkan pembangunan hunian DP 0 yang kedua di daerah Cilangkap, Jakarta Timur. “Dibangun seperti ini, nanti tingkat ke atas juga," kata dia.

Nantinya, hunian DP 0 di Cilangkap akan dibangun 900 unit, dengan luas lahan 2,8 hektare. Rencananya, tahap selanjutnya dibangun di Pulo Gebang, Jakarta Timur, seluas 4 hektare pada awal 2020.

Anggaran dipangkas

Rusunami Nuansa Pondok Kelapa, Jakarta Timur terdiri dari 21 lantai. Alinea.id/Ardiansyah Fadli.

Meski akan melakukan pembangunan lagi, anggaran untuk program DP 0 sesungguhnya mengalami pemangkasan sebanyak dua kali oleh DPRD DKI Jakarta.

Anggaran tersebut diajukan badan usaha milik daerah (BUMD) Perumda Pembangunan Sarana Jaya dalam rancangan kebijakan umum APBD dan plafon prioritas anggaran sementara (KUA-PPAS) 2020. Mata anggaran yang diajukan ialah untuk fasilitas pembiayaan perolehan rumah.

Sebelumnya, anggaran untuk DP 0 adalah Rp2 triliun. Lalu, sekarang tinggal Rp500 miliar.

Ketua fraksi PDI-P DPRD DKI Gembong Warsono menjelaskan, dipangkasnya anggaran rumah DP 0 karena alokasi tersebut dinilai terlalu besar dan berlebihan.

Menurutnya, alokasi anggaran DP 0 sebelumnya justru belum terserap. Hal itu menjadi salah satu alasan DPRD tidak meloloskan anggaran rumah DP 0 sebesar Rp2 triliun.

"Jadi, DP itu ditalangin pakai APBD," ucap dia saat dihubungi, Rabu (4/12).

Alasannya, kata Gembong, tahun 2017 program ini menyerap anggaran Rp350 miliar. Pada 2018, sebesar Rp717 miliar. “Maka, tahun depan itu Rp500 miliar untuk talangan DP 0, pertimbangannya itu,” ujarnya.

Gembong pun merasa janggal terhadap pengajuan dana Rp2 triliun. Sebab, kata dia, anggaran sebesar itu sebaiknya tak hanya untuk rusunami, tetapi dialokasikan membuat rumah susun sewa (rusunawa), yang sasarannya lebih jelas.

"Agar masyarakat kelas bawah juga bisa punya rumah, itu yang kita minta ke Pak Anies," katanya.

Sementara itu, menurut pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, pemangkasan anggaran untuk rumah DP 0 merupakan langkah yang tepat. Apalagi saat ini APBD DKI sedang defisit.

Namun, menurut dia, jika Pemprov DKI keberatan, mereka harus menyampaikan argumentasi sekaligus menjelaskan urgensi program tersebut.

"Tergantung lobi gubernur ke DPRD, harus berani beragumentasi. Namanya juga negosiasi harga," kata dia saat dihubungi, Rabu (4/12).

Di sisi lain, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, rumah DP 0 hanya menjadi beban APBD DKI. Anggaran yang dikeluarkan, menurutnya, tidak sesuai dengan keuntungan yang diperoleh.

"Pemprov justru enggak dapat keuntungan apa-apa, makanya dipangkas sangat besar, wong huniannya saja sekarang belum laku semua," ucapnya saat dihubungi, Rabu (4/12).

Akan tetapi, imbas pemangkasan anggaran ini, Pemprov DKI akan sangat kesulitan membangun rusunami. Pembangunannya, kata Trubus, jadi terbatas.

“Padahal dulu program ini tidak hanya dibangun di Pondok Kelapa, tapi di Cakung, Pulo Gadung, Pulo Gebang, Cilincing, dan tempat lainnya," katanya.

Unit-unit di rusunami Nuansa Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Alinea.id/Ardiansyah Fadli.

Tak tepat sasaran

Meski dianggap banyak membantu masyarakat yang tak memiliki rumah, ternyata program hunian DP 0 menyisakan sejumlah masalah. Menurut Gembong, program rumah DP 0 tidak tepat sasaran.

“Itu yang menikmati kan bukan masyarakat berpenghasilan rendah, yang kita persoalkan, yang menikmati kelas menengah,” kata Gembong.

Gembong berharap, Pemprov DKI tak cuma fokus pada program rumah DP 0, tetapi harus juga menyediakan banyak rusunawa agar masyarakat berpenghasilan rendah bisa punya hunian.

Sebab, masyarakat berpenghasilan rendah, kata dia, sulit menikmati rusunami karena gajinya di bawah upah minimum provinsi (UMP).

Gembong mengatakan, awal konsep DP 0 adalah rumah tapak. Akan tetapi, realisasinya Pemprov DKI malah membuat rumah susun. Ia menuturkan, Anies malah tak menyebut rumah itu rumah susun karena takut dianggap ingkar janji kampanye.

“Anies menyebutnya rumah lapis, dan ini salah Anies karena sebelumnya program itu rumah tapak," ucap dia. "Lagi pula di Jakarta mau bikin rumah tapak di mana? Harganya berapa? Pasti mahal.”

Gembong mengingatkan, rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Pemprov DKI adalah menyediakan hunian sebanyak 250.000 unit. Tiga tahun kepemimpinan Anies, katanya, justru belum mencapai target setengahnya.

"Sekarang rumah DP 0 saja sampai hari ini belum sampai seribu," katanya.

Menurut Gembong, jika Anies hanya fokus pada rumah DP 0, target pembangunan tidak akan pernah tercapai. Apalagi, APBD DKI sedang mengalami defisit.

Menanggapi hal ini, Agus Pambagio mengatakan, Pemprov DKI tidak benar-benar bisa menerapkan program DP 0. Ia mengatakan, DP itu sudah digabungkan terlebih dahulu dengan harga angsuran per bulan.

“Tidak ada DP 0. Pemprov DKI itu hanya jualan saja, DP dijadikan satu sama cicilan,” tuturnya.

Infografik. Alinea.id/Wahyu Kurniawan.

Agus menuturkan, harga rumah DP 0 masih terbilang mahal. Hal itu yang membuat banyak unit yang belum terjual.

"Saya sudah bilang dari dulu, rumah DP 0 itu enggak bisa. Sulit," katanya.

Sementara itu, Trubus Rahadiansyah mengatakan, program DP 0 hanya pemenuhan janji kampanye Anies. Senada dengan Agus, ia menilai, rumah DP 0 sangat sulit dijangkau masyarakat berpenghasilan rendah.

Trubus mengaku, masyarakat antusias terhadap program ini. Hanya, banyak yang tak lolos persyaratan. Terutama terkait syarat gaji per bulan, yang harus Rp4 juta-Rp7 juta.

Akan tetapi, dari sekian orang yang daftar, banyak pula yang akhirnya tak tertarik rumah DP 0. Sebab, huniannya dianggap terlalu kecil. Ia pun menyebut, bangunan itu tidak memenuhi standar kesehatan lingkungan untuk dihuni.

"Pembeli juga kan melihat kualitas bangunanya," kata Trubus.

Menurut Trubus, solusi agar rusunami tersebut dapat terserap, pemerintah harus dapat memudahkan persyaratan. Kata dia, BI chekcing mestinya tidak lagi diperlukan selama masyarakat memiliki kemampuan untuk membayar cicilan.

"Pokoknya yang penting itu kemampuan bayar saja, dilihat dari gaji," kata dia. "Ya kalau targetnya biar laku ya seperti itu. Tapi ya tidak akan tepat sasaran, MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) tidak akan bisa menikmati."

Berita Lainnya
×
tekid