sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sekolah adat di tengah ancaman kerusakan lingkungan dan serakahnya korporasi

Perluasan industri ekstraktif dan perkebunan tanaman industri mengancam kelestarian hutan adat dan pendidikan bagi masyarakat adat.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Rabu, 13 Apr 2022 17:33 WIB
Sekolah adat di tengah ancaman kerusakan lingkungan dan serakahnya korporasi

Risnan Ambarita gelisah dengan kondisi lingkungan adat Sihaporas di Simalungun, Sumatera Utara yang semakin rusak akibat perluasan lahan industri PT Toba Pulp Lestari (TPL). Akibatnya, inisiator sekolah adat Sihaporas itu mengaku kian kesulitan mendidik anak-anak masyarakat adat Sihaporas karena “ruang belajar” yang tak bisa lagi dipakai untuk media pembelajaran.

Aktivitas PT TPL menimbulkan pencemaran, membuat hutan adat rusak. Padahal, hutan menjadi ruang belajar untuk memperkenalkan tanaman obat dan pangan kepada anak-anak. Kini malah beralih menjadi tanaman ekaliptus untuk industri kertas.

“Pestisida mengalir ke tempat air minum, mengakibatkan ikan-ikan yang jadi sumber makanan kami mati dan tanah tandus,” kata Risnan saat dihubungi Alinea.id, Minggu (10/4).

"Sungai tempat ikan endemik yang sangat penting untuk keperluan ritual adat Sihaporas hampir punah.”

Pendidikan dan lingkungan terancam

Aktivitas belajar mengajar di sekolah adat Sihaporas, Simalungun, Sumatera Utara. Foto dok. Risnan Ambarita.

Risnan menjelaskan, sekolah adat Sihaporas berdiri pada 15 Maret 2020. Saat ini ada 50-an anak masyarakat adat Sihaporas yang tengah menjalani pendidikan di sekolah tersebut.

Yang dipelajari di sekolah adat Sihaporas, di antaranya sejarah kebudayaan leluhur, tradisi, hukum adat, tarian tradisional, musik tradisional, dan permainan tradisional.

Sponsored

“Sekolah kami adalah sekolah nonformal, khusus merawat generasi (penerus) mempelajari jejak leluhur kami, yang perlahan luntur di zaman modern saat ini,” tutur Risnan.

“Tujuannya supaya generasi (penerus) tetap menjaga dan merawat warisan dari leluhur.”

Sekolah adat Sihaporas bertumpu pada ilmu pengetahuan lokal, yang sangat bergantung pada kondisi lingkungan sekitar. Oleh karenanya, praktik di alam terbuka sangat dibutuhkan.

Ia mengatakan, sejak 2018 sudah berulang kali melaporkan kondisi lingkungan adat kepada pemerintah setempat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Para tetua adat Sihaporas, kata Risnan, juga mendesak pemerintah untuk mencabut izin PT TPL yang sudah beroperasi sejak 1998. Namun, hingga kini belum ada tindakan apa pun.

"Mereka (KLHK) hanya bilang sedang proses. Itu terus yang dibilang," kata Risnan.

Jika tak ada penanganan dari pemerintah, Risnan khawatir dalam waktu dekat ruang hidup dan sekolah adat masyarakat Sihaporas bakal lenyap digeser korporasi.

Potret serupa juga menimpa sekolah adat Samabue di Menjalin, Landak, Kalimantan Barat. Menurut salah seorang inisiator sekolah yang didirikan pada 2016 itu, Yosita, saat ini masyarakat adat Menjalin yang hidup di sekitar bukit Samabue, terkepung perusahaan industri ekstraktif bauksit dan perluasan perkebunan kelapa sawit.

Hal ini turut mengancam kelestarian lingkungan komunitas adat Menjalin dan mengakibatkan pembelajaran di sekolah adat terganggu.

“Ketika kami mengambil contoh untuk memberikan pelajaran sama anak-anak, misalnya tentang ramuan tradisional, sudah langka tanamannya,” ucap Yosita, Minggu (10/4).

Yosita menuturkan, tanaman obat menjadi langka karena aktivitas industri ekstraktif. Perluasan daerah pertambangan melenyapkan tanaman obat itu.

“Kita memakai obat-obatan (dari tanaman) yang ada di hutan, sementara hutan sudah banyak dibabat perusahaan,” kata Yosita.

Sekolah adat pun kesulitan mengenalkan resep obat-obatan kepada anak-anak komunitas Menjalin. “Ketika para tetua mengadakan pelajaran ramuan tradisional, dia kesulitan mencari bahan bakunya,” ujar Yosita.

Selain itu, menurut Yosita, aktivitas industri ekstraktif menyebabkan daerah sekitar bukit Samabue krisis air. Pertambangan yang beroperasi di dekat sungai membuat air keruh.

Sejak 2019, kata Yosita, para tetua adat dan beberapa pemuda sudah berdiskusi dengan pemerintah setempat terkait kerusakan lingkungan di Menjalin. Akan tetapi, hingga kini tak ada upaya nyata dari pemerintah setempat.

Dihubungi terpisah, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sjamsul Hadi mengaku siap mengadvokasi sekolah adat yang menghadapi masalah kerusakan lingkungan karena aktivitas perusahaan atau negara. Ia mengatakan, pihaknya sudah membentuk tim advokasi.

“(Kepala adat) bersurat saja ke saya, biar ada dasar tindaklanjutnya,” ujar Sjamsul, Senin (11/4).

Alinea.id sudah berusaha mengonfirmasi masalah yang tengah dihadapi sekolah adat akibat perluasan industri ekstaktif kepada pihak KLHK. Namun, hingga laporan ini terbit, pihak KLHK belum bersedia memberikan komentar lebih jauh.

Salah seorang inisiator sekolah adat Samabue di Menjalin, Kalimantan Barat, Yosita tengah memberi materi pelajaran kepada anak-anak komunitas adat Menjalin, Kalimantan Barat. Foto dok. Yosita.

Butuh perhatian pemerintah

Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), per Maret 2020 ada 53 sekolah adat yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua. Kini, jumlah sekolah adat mencapai 84.

Staf Deputi IV untuk Urusan Pendidikan Adat AMAN Marolop Manalu Gorga menyebut, ada puluhan sekolah adat yang terancam industri ekstraktif, perluasan tanaman hutan industri, dan sengketa dengan KLHK.

“Jadi, ada yang berhadap-hadapan dengan korporasi tambang, sawit, dan negara,” ucap Marolop, Senin (11/4).

Menurut Marolop, ancaman terhadap masyarakat adat sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Tepatnya usai terbit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

“Semenjak itu, banyak wilayah adat yang secara sepihak diklaim negara, kemudian diberikan kepada korporasi,” katanya.

Menyadari ancaman yang bakal mengganggu kehidupan masyarakat adat, sejumlah pemuda adat bergerak lewat pendidikan dengan membangun sekolah adat pada 2016. Ia memandang, upaya menjaga kelangsungan pendidikan masyarakat adat tak akan cukup kuat jika RUU Masyarakat Adat belum disahkan menjadi undang-undang oleh DPR.

“Aturan itu memastikan hak masyarakat adat,” katanya.

“Karena hak masyarakat adat atas tanah, berkaitan langsung dengan segala aspek kehidupan yang ada di dalamnya, termasuk kekayaan pengetahuan.”

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan, Andreas Tambah menilai, potret buram yang terjadi pada sekolah adat Sihaporas dan Samabue patut menjadi perhatian pemerintah setempat.

Infografik sekolah adat. Foto dok Yosita. Alinea.id/Aisya Kurnia.

Semestinya, kata Andreas, aktivitas industri ekstraktif dan perkebunan tanaman industri perlu dikaji ulang bila sudah mengganggu ruang hidup warga. Bila perlu, konsensi pertambangan dan perkebunan dicabut kalau merusak ruang hidup masyarakat adat.

“Kalau misalnya (analisis mengenai dampak lingkungan/amdal) diabaikan, masyarakat adat harus bisa melaporkan hal ini ke pemerintah pusat atau lembaga tertentu,” ucap Andreas, Senin (11/4).

Lebih lanjut, Andreas menuturkan, ruang belajar sekolah adat perlu diberikan jaminan kelestariannya oleh pemerintah. Menurutnya, pendidikan terkait kearifan lokal adalah aset penting bagi keberlangsungan hidup komunitas adat.

“Kalau lingkungan mereka rusak, yang terganggu bukan hanya kesehatan saja, tetapi proses pendidikan,” tuturnya.

“Nanti bisa menjadi masalah sosial yang lebih luas.”

Andreas juga menyarankan pemerintah pusat agar peka dengan problem lingkungan yang tengah dihadapi masyarakat adat. Kata dia, jika masalah sudah menyentuh ke ranah pendidikan sekolah adat, bakal mengganggu regenerasi masyarakat adat.

"Jadi perlu diperhatikan mereka, harus peka pemerintah pusat," kata Andreas.

Berita Lainnya
×
tekid