sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Komersialisasi tes Covid-19 di rumah sakit, aji mumpung di tengah pandemi?

Beban biaya tes Covid-19 membuat beberapa pasien tak bisa mengakses layanan kesehatan di rumah sakit.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 27 Jun 2020 13:08 WIB
Komersialisasi tes Covid-19 di rumah sakit, aji mumpung di tengah pandemi?

Pada April 2020, Petrus Hariyanto melayangkan protes kepada manajemen Rumah Sakit (RS) Siloam Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Musababnya, Petrus yang merupakan pasien cuci darah diwajibkan menjalani rapid test (tes cepat) dan tes swab (air liur) atau polymerase chain reaction (PCR).

Pihak rumah sakit beralasan, tes Coronavirus disease 2019 (Covid-19) itu dilakukan untuk melindungi pasien dan tenaga medis agar tak terpapar virus, sebelum melakukan tindakan cuci darah.

"Jadi, semacam screening agar pasien dan tenaga medis dipastikan negatif," katanya ketika dihubungi reporter Alinea.id, Sabtu (20/6).

Akan tetapi, protes Petrus tak mendapatkan respons positif dari manajemen rumah sakit. Menurutnya, manajemen malah mengatakan dirinya bisa melakukan tes Covid-19 di luar RS Siloam Asri.

"Tapi bila tidak melakukan tes, cuci darahnya akan diisolasi. Terpisah dengan lainnya dan kemungkinan satu ruangan dengan orang PDP (pasien dalam pengawasan) dan suspect,” ujarnya.

“Inilah yang membuat pasien takut dan akhirnya terpaksa melakukan tes.”

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) itu mengatakan, banyak pasien cuci darah yang keberatan bila harus membayar biaya tes Covid-19, sebelum melakukan cuci darah.

"Sebab biayanya terbilang besar bagi pasien dan keluarga untuk sekali tes. Awalnya Rp500.000, sempat turun jadi Rp250.000," tuturnya.

Sponsored

Karena hal itu, Petrus mengatakan, dari April-Mei 2020 banyak pasien cuci darah yang enggan melakukan tes pemeriksaan Covid-19. Bagi pasien yang rutin ke rumah sakit untuk cuci darah, Petrus menyebut, harus melakukan tes Covid-19 setiap 10 hari sekali.

Petrus pun sempat melaporkan permasalahan ini ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia berharap, RS Siloam Asri bisa menggratiskan biaya tes Covid-19 bagi pasien cuci darah.

"Saya melawan. KPCDI secara organisasi juga melakukan lobi ke Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) untuk menegur Siloam, tidak boleh rapid test dengan membayar atau tak perlu ada ketentuan rapid test," katanya.

Setelah melakukan lobi yang cukup alot, akhirnya pada penghujung April 2020, manajemen RS Siloam Asri bersedia membebaskan biaya tes Covid-19 bagi pasien cuci darah. Keputusan menggratiskan biaya tes Covid-19 itu diambil usai manajemen RS Siloam Asri melakukan nota kesepahaman dengan Kemenkes.

"Sehingga biaya rapid test dan swab pasien cuci darah diklaim oleh Kementerian Kesehatan," ucapnya.

Pada kenyataannya, tak semua rumah sakit menggratiskan biaya tes Covid-19 bagi pasien cuci darah. "Seperti laporan kasus di Jambi. Ada pasien di rumah sakit swasta yang masih dibebankan biaya tes Covid-19," ujarnya.

Namun, ketika dihubungi, Maria yang merupakan salah satu orang tua pasien cuci darah di Jambi yang mengaku dibebani biaya tes Covid-19, belum berani berkomentar soal kebijakan rumah sakit tempat anaknya melakukan cuci darah.

"Saya belum berani kasih informasi apa pun," ujar Maria, Sabtu (20/6).

Warga menjalani rapid test atau pemeriksaan cepat Covid-19 di Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, Selasa (21/4). Foto Antara/Fauzan.

Sulit digratiskan

Kasus yang membelit Petrus dan kawan-kawannya barangkali hanya secuil cerita pasien yang terbebani biaya tes Covid-19. Rumah sakit swasta beragam mematok harga pengecekan Covid-19.

Misalnya, di Rumah Sakit Pusat (RSP) Pertamina, Jakarta, berdasarkan situs web rspp.co.id rapid test dibanderol Rp350.000, sedangkan swab dihargai Rp1.950.000. Di RS Advent Bandung, Jawa Barat, berdasarkan situs web rsadventbandung.com rapid test drive thru biayanya Rp300.000, rapid test non-drive thru biayanya Rp368.000, PCR hasil selesai lebih dari tiga hari Rp2.500.000, dan PCR hasil selesai lebih dari lima hari Rp2.200.000.

Ketika dikonfirmasi, pihak Kemenkes enggan memberi penjelasan terkait prosedur tes Covid-19 gratis bagi pasien. Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan (PKR) Kemenkes Tri Hesty Widyastuti mengaku, tak begitu paham soal masalah ini.

“Bisa minta tolong ke P2P (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit) Kemenkes atau Litbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan),” tutur dia saat dihubungi, Senin (22/6).

Namun, saat dihubungi, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan P2P Kemenkes Vensya Sitohang malah mengembalikan permasalahan ke PKP Kemenkes. "Lho, urusan rumah sakit itu ada di beliau," ucap Vensya saat dihubungi, Senin (22/6).

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Susi Setiawaty mengatakan, prosedur tes Covid-19 sebelum cuci darah merupakan usaha untuk mencegah terjadinya penularan virus. Sebab, praktik cuci darah sangat rentan terjadi penularan Covid-19 dari alat-alat yang digunakan.

"Beberapa kasus yang pernah saya dapat laporan di rumah sakit, ada di antara penggunaan hemodialisa (terapi cuci darah) itu positif. Itu membahayakan bila alat hemodialisa itu juga dipakai orang lain," ujarnya saat dihubungi, Minggu (21/6).

Petugas ber-APD lengkap melintasi fasilitas Covid-19 bagi pasien anak di Gedung Kiara, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Foto Antara/Aditya Pradana Putra.

Berpijak dari alasan tadi, ia mengaku sejauh ini rumah sakit swasta belum berani melayani pasien cuci darah tanpa melakukan tes Covid-19, apalagi yang berasal dari zona merah. Sebab, hal tersebut membahayakan tenaga medis dan pasien lainnya.

"Sebenarnya kalau kami di rumah sakit tidak mengharuskan. Tapi, kalau dia dari lingkungan zona merah, paling tidak satu kali rapid test,” ujarnya.

“Silakan masyarakat menilai. Kalau tidak mau bayar dan tidak mau periksa ya monggo (silakan). Tapi kami tidak tahu mesin itu telah dipakai oleh siapa saja.”

Susi mengaku sulit untuk membebaskan biaya tes Covid-19. Alasannya, harga alat rapid test dan swab di pasaran tergolong tinggi. "Kami enggak mungkin dapat dari pemerintah. Alatnya kami beli sendiri," ucapnya.

Harga alat tes pun, kata Susi, beragam. Mulai dari Rp250.000 hingga Rp500.000. “Tergantung merek,” katanya.

Biaya itu belum termasuk ongkos operasional dan tenaga kesehatan. Ia menjelaskan, saat ini rumah sakit swasta masih sulit menekan biaya Covid-19. Pasalnya, untuk memeriksa dengan akurat, modalnya cukup besar.

"Kecuali kalau kami dikasih pemerintah. Tapi kan enggak mungkin pemerintah memberikan ke seluruh rumah sakit di seluruh Indonesia," ujarnya.

Menurut Susi, sejauh ini hanya pasien BPJS Kesehatan yang bisa digratiskan tes Covid-19 di rumah sakit swasta. Namun, untuk pasien umum, beberapa rumah sakit belum bisa membebaskan biaya itu.

Untuk menekan biaya tes Covid-19, Susi mengatakan, saat ini pihak rumah sakit swasta tengah berusaha menyiasati harga. Caranya, dengan merancang paket yang kira-kira bisa terkangkau pasien dari golongan ekonomi rentan.

"Karena harga alatnya beragam, kami pun tak bisa menentukan harga minimum. Ada yang Rp700.000 dengan dokter. Ada yang cuma Rp400.000, tapi rapid test saja. Tarifnya beda-beda. Tergantung mereka membuat paketnya dan pakai merek apa," ujarnya.

Senada, Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia Partakusuma mengatakan, tes Covid-19 penting dilakukan, sebelum pasien dengan penyakit berat menjalani pemeriksaan kesehatan.

"Harus ada kesiagaan. Terkadang, ada orang tanpa gejala datang ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan non-Covid-19," ujarnya saat dihubungi, Minggu (21/6).

Dikatakan Lia, di rumah sakit kerap ditemukan kasus tenaga kesehatan tertular SARS-CoV-2 dari pasien, yang belakangan diketahui positif terinfeksi virus. Lia memahami, kewajiban tes Covid-19 akan membebani lantaran biayanya ditanggung pasien. Oleh karenanya, menurut Lia, Persi sempat mengimbau rumah sakit agar jangan menjadikan tes Covid-19 sebagai syarat utama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

"Karena kasihan, biayanya dibebankan ke pasien," katanya.

Meski begitu, tak semua rumah sakit sepakat dengan Persi. Sebab, banyak rumah sakit yang ragu terhadap pasien dan tak mau membahayakan tenaga kesehatan. Situasi ini berujung pada protes sebagian pasien karena menganggap rumah sakit aji mumpung di tengah pandemi. Padahal, problem utamanya terletak pada harga alat tes Covid-19.

"Yang enggak bisa dibuat gratis," ucap Lia.

Lia mengatakan, alat tes Covid-19 bukan barang murah dan tak bisa dibeli dengan mudah. Sehingga, ia menilai wajar bila rumah sakit swasta mematok harga tes Covid-19 terhadap pasien.

"Kalau rumah sakit yang ditentukan pemerintah daerah atau pusat mungkin bisa gratis. Tapi kalau rumah sakit swasta sulit. Soalnya terus terang cost-nya tinggi," ujarnya.

Persi pun, menurut Lia, sudah mengingatkan rumah sakit untuk tak memberikan harga tinggi kepada pasien sebagai dalih menutup modal pembelian alat-alat tes Covid-19. Sejauh ini, kata dia, Persi hanya bisa menyiasati biaya tes Covid-19 dengan hanya menghitung modal pembelian alat tesnya saja.

"Harga alat tes Covid-19 sekarang sudah turun. Kami mengimbau jangan membebani, bahkan pokoknya jangan ada untung," ucapnya.

Terkait pasien cuci darah, Lia mengakui, perlu ada perhatian khusus. Alasannya, pasien cuci darah rentan terpapar virus dari pasien maupun tenaga medis yang positif.

"Makanya kebanyakan rumah sakit meminta mereka melakukan pemeriksaan dulu," ujarnya.

Akan tetapi, Lia mewanti-wanti rumah sakit untuk tidak menelantarkan pasien cuci darah yang tak sanggup membayar biaya tes Covid-19. Sebab, hal itu bisa mengancam keselamatan pasien.

Petugas kesehatan mengambil sampel lendir dari hidung salah satu warga saat mengikuti swab test dan tes diagnostik cepat (rapid test) COVID-19 secara massal di Surabaya, Jawa Timur, Senin (1/6). Foto Antara/Moch Asim.

Seharusnya bisa gratis

Dihubungi terpisah, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai, pemeriksaan dengan rapid test dan PCR sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah.

"Tidak ada gunanya dilakukan secara individu. Apalagi pada akhirnya dibebankan biaya kepada pasien oleh rumah sakit," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (19/6).

Menurut Hermawan, jika rumah sakit ingin memastikan kondisi pasien lantaran makin banyak orang tanpa gejala (OTG), sebaiknya pemeriksaan dilakukan di rumah sakit rujukan pemerintah. Tujuannya, agar seluruh biaya ditanggung pemerintah, bukan pasien.

Ia menjelaskan, rapid test hanya bisa dilakukan untuk kepentingan penyelidikan epidemiologi. Maka, semestinya tak perlu ada biaya yang dibebankan kepada pasien, terlebih tak ada permintaan dari sang pasien.

"Sedangkan PCR harusnya dilakukan secara terstruktur, mengikuti protokol diagnosis, terutama untuk rumah sakit-rumah sakit rujukan,” kata dia.

“Jadi, harusnya tidak ada pembebanan yang tak perlu untuk rumah sakit swasta."

Hermawan mengingatkan pemerintah agar serius mencegah terjadinya penyalahgunaan tes Covid-19 oleh oknum yang ingin mencari keuntungan.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan mengatakan, pandemi Covid-19 memaksa pelayanan kesehatan mengantisipasi penularan. Salah satunya kewajiban tes Covid-19, yang nyatanya membebani pasinen non-Covid-19.

Pemerintah, ujar Satria, seharusnya bisa menyediakan alat tes Covid-19 secara gratis. Alasannya, pemerintah sudah kadung menerapkan new normal atau kenormalan baru.

“Yang berarti kemungkinan orang keluar rumah lebih banyak. Sehingga mestinya kesediaan fasilitas kesehatan harus lebih besar," ujarnya ketika dihubungi, Sabtu (20/6).

Mengenai mahalnya tes Covid-19 di rumah sakit, Satria memandang, semestinya Kemenkes bisa membangun kerja sama dengan rumah sakit swasta, supaya beban biaya dapat ditanggung pemerintah.

Satria mengingatkan, Kemenkes tak lari dari tanggung jawab saat mendengar adanya protes dari publik terkait mahalnya biaya tes Covid-19 di rumah sakit. Hal itu, kata dia, sama saja membiarkan masyarakat makin terpuruk akibat pandemi.

"Semestinya Kementerian Kesehatan mendata rumah sakit yang masih membebani pasien. Lalu intervensi melalui mekanisme kerja sama," ujar dia.

Infografik tes Covid-19. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Bila Kemenkes tak peduli terhadap keluhan masyarakat, Satria menilai sama saja membiarkan pandemi menjadi ladang bisnis oknum tertentu. Padahal, menurutnya, untuk menangani kasus Covid-19 diperlukan kerja sama yang erat antara pemerintah dan swasta.

Ia menegaskan, tak ada lagi alasan dari pemerintah yang tak mampu menyediakan tes Covid-19 secara gratis bagi masyarakat. Pasalnya, pemerintah sudah menyusun anggaran untuk penanganan Covid-19 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.

"Meski bertarung dengan alat-alat medis yang mahal, tapi kepala negara sudah menjamin bahwa ini sudah disediakan. Saya pikir (tes Covid-19 secara gratis) sangat mungkin dilakukan karena alokasi anggarannya sudah ada," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid