sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Soal darurat sipil, pernyataan Wakil Ketua DPR dinilai dapat memicu eskalasi kekerasan di Papua

Dengan adanya kebijakan darurat sipil pemerintah dapat melarang atau membatasi pengiriman berita atau percakapan telepon atau radio.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Minggu, 12 Feb 2023 11:53 WIB
Soal darurat sipil, pernyataan Wakil Ketua DPR dinilai dapat memicu eskalasi kekerasan di Papua

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mempertanyakan dasar pernyataan Wakil DPR Lodewijk Paulus yang menyebut situasi Papua sedang dalam status darurat sipil. Pangkalnya, hingga saat ini, belum ada keputusan resmi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait status operasi keamanan di Papua.

Selain itu, menurut Kontras penyelesaian masalah dengan pendekatan keamanan, seperti darurat sipil tidak akan dapat menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi di Papua.

"Kami menilai, pernyataan tersebut sangatlah berbahaya, sebab dapat memicu eskalasi kekerasan dan dapat memperparah situasi kemanusiaan di Papua," kata Fatia dalam keterangannya kepada Alinea.id, Minggu (12/2).

Fatia khawatir pernyataan Lodewijk tersebut dijadikan pembenaran oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan yang berlebihan dan sewenang-wenang. Alasannya, melalui kebijakan darurat sipil negara memiliki wewenang yang begitu besar dan berpotensi terjadi adanya pelanggaran hak asasi manusia.

"Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pejabat negara untuk tidak reaktif menyikapi situasi konflik yang sedang terjadi," katanya.

Pernyataan Papua dalam kondisi darurat sipil disampaikan Lodewijk merespons serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Bandara Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. "Harus dipahami Papua ini sekarang status darurat sipil. Maka yang di depan adalah penguasa darurat sipil adalah gubernur, kepala daerah yang di depannya adalah otomatis penegakan hukum, kepolisian," ujar Lodewijk, Jumat (10/2).

DPR, kata Lodewijk, mendukung penuh operasi yang dilakukan oleh kepolisian di Papua Pegunungan. Termasuk upaya prioritas mencari pilot, statusnya seperti apa. "Apakah beliau sembunyi, melarikan diri, atau disandera kita masih menunggu," ujar anggota Komisi I DPR itu.

Fatia Maulidiyanti menjelaskan, apabila merujuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, dengan adanya kebijakan darurat sipil pemerintah dapat melarang atau membatasi pengiriman berita atau percakapan melalui telepon maupun radio, menggeledah tempat-tempat di luar kehendak pemilik hingga dapat mengontrol semua akses informasi seperti penyebaran tulisan/gambar dan penerbitan.

Sponsored

Wewenang pemerintah yang besar tersebut, kata dia, tentunya akan dapat menimbulkan persoalan baru dan warga sipil yang tidak bertikai dapat menjadi korban.

Berkaitan dengan status operasi keamanan di Papua, Kontras sebelumnya pernah mengajukan permohonan informasi publik kepada Kemenkopolhukam pada 5 April 2022 dengan nomor surat 17/SK-KontraS/IV/2022, mempertanyakan terkait status keamanan di Papua saat itu. Namun, menurut Fatia, surat tersebut tidak mendapatkan balasan.

"Dengan tidak diberikannya informasi tersebut, membuktikan bahwa pengerahan aparat keamanan secara masif ke Papua patut dipertanyakan sebab tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari negara atas pengerahan pasukan keamanan yang selama ini dilakukan," ungkapnya.

Berdasarkan catatan Kontras, lanjut dia, sebanyak 8.264 personel gabungan TNI/POLRI diterjunkan ke tanah Papua. Kedatangan pasukan dengan jumlah besar ini memicu terjadinya kontak senjata antara TNI/POLRI dengan TPNPB-OPM.

Akibatnya, sepanjang Desember 2021-November 2022 diketahui terdapat sekitar 48 peristiwa kekerasan yang terjadi. Banyak korban yang jatuh justru didominasi warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak.

Kontras, tegas Fatia, menilai berulangnya berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua, membuktikan pendekatan keamanan atau militerisme tidak dapat menyelesaikan pokok masalah. Pemerintah seharusnya melihat konflik yang selama ini terjadi di Papua berdasarkan pada akar masalah.

Fatia mengutip temuan tim kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Papua. Disebutkan, terdapat empat akar masalah yang menjadi pemicu terjadinya konflik kekerasan di wilayah Papua. Pertama, marjinalisasi terhadap masyarakat Papua. Kedua, kegagalan pembangunan. Ketiga, persoalan status politik Papua. Keempat, pelanggaran hak asasi manusia.

"Bahwa atas temuan tersebut, pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan mengupayakan cara-cara non-kekerasan berupa pendekatan dialog untuk menyelesaikan akar permasalahan yang terjadi," katanya.

Lebih lanjut, Fatia menyikapi adanya penyanderaan yang diduga dilakukan kelompok TPNBP-OPM pada Selasa (7/2) di lapangan terbang Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, terhadap seorang pilot pesawat Susi Air, berkewarganegaraan Selandia Baru. Menurutnya, pihak yang berkonflik patut bersikap hati-hati, sehingga orang yang disandera dapat dibebaskan dengan keadaan selamat.

"Semua pihak harus menghindari cara-cara kekerasan dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Keselamatan orang yang disandera harus menjadi prioritas. Kami mendorong pihak yang berkonflik mengedepankan pendekatan secara damai atau non-kekerasan dalam menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid