sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Viralkan kekerasan seksual di kampus dinilai strategi hadapi jalan buntu

Kemunculan akun-akun medsos yang memiliki fokus dalam menyuarakan isu kampus di masing-masing kampus, merupakan kemajuan.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 11 Jan 2022 13:25 WIB
Viralkan kekerasan seksual di kampus dinilai strategi hadapi jalan buntu

Seorang mahasiswa terduga pelaku kekerasan seksual di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berinisial MKA resmi dipecat. Surat penandatanganan pemecatan MKA dari status mahasiswa ditandatangani langsung Rektor UMY Gunawan Budiyanto. MKA terbukti melanggar disiplin dan etik mahasiswa kategori berat. MKA melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswi UMY. Semua kasus kekerasan seksual tersebut viral melalui Instagram @dear_umycatcallers.

Selain itu, kasus kekerasan seksual di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) juga terungkap melalui akun Instagram @dear_unesacatcallers. Oknum dosen berinisial H disebut melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi saat bimbingan skripsi.

Menanggapi hal itu, Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan, kemunculan akun-akun tersebut dapat menjadi alat advokasi ketika bersinergi dengan lembaga pendamping korban. Ini untuk memaksimalkan strategi advokasi melalui media. 

Kemunculan akun-akun media sosial (medsos) yang memiliki fokus dalam menyuarakan isu kampus di masing-masing kampus, kata dia, merupakan sebuah kemajuan. Menurut Ika, kemunculan akun-akun tersebut adalah upaya anak muda untuk mengokupasi ruang sosial media sebagai ruang berkembangnya isu-isu kesetaraan. 

Perempuan Mahardhika mencatat ada 3 pola kenapa kekerasan seksual langgeng di kampus. Yaitu, karena dilakukan oleh seseorang yang memiliki kuasa atas nilai akademik; pembentukan tim investigasi yang tertutup dan justru kemudian mengaburkan proses pencarian keadilan itu sendiri; serta pelaku memiliki impunitas dan bisa melaporkan balik korban.

 “Strategi advokasi melalui media sosial biasanya digunakan ketika proses advokasi menemui jalan buntu dan tidak mendapat respons dari birokrasi kampus,” ucapnya kepada Alinea.id, Selasa (11/1).

Adanya inisiatif lembaga pengaduan kekerasan seksual di kampus adalah hal yang patut diapresiasi. Berbagai lembaga pengaduan kekerasan seksual di kampus sudah ada sebelum Permendikbud 30/2021. Kehadiran Permendikbud, kata dia, memberi penguatan pada lembaga-lembaga seperti ini untuk terus bergerak menjamin perspektif yang berpihak pada korban. 

Ia pun menyebut, seringkali gerak lembaga pengaduan kekerasan seksual di kampus juga sangat terbatas. “Ini karena berhadapan dengan sistem birokrasi kampus yang belum berpihak pada korban sehingga kita memang harus melihat situasinya secara lebih komprehensif dan mengawal implementasi Permendikbud ini sesuai semangat dasarnya yaitu agar institusi kampus menjadi institusi yang menghargai nilai-nilai kesetaraan dan tidak menoleransi kekerasan seksual,” tutur Ika.

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid