Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan pemberitaan seorang anak berusia 8 tahun diduga melakukan pelecehan seksual terhadap empat orang anak lainnya, yang juga di bawah umur di Bekasi, Jawa Barat. Usia korban 5 dan 6 tahun.
Kasus ini terbilang miris karena melibatkan anak sebagai pelaku dan korban. Menanggapi kasus tersebut, psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan mengatakan, anak usia dini cenderung melakukan tindakan berdasarkan peniruan atau imitating behavior.
“Anak bisa meniru apa yang ia lihat, baik dari lingkungan rumah, media digital, maupun pengalaman pribadi,” kata Sani kepada Alinea.id, Selasa (17/6).
“Mereka bisa saja tidak tahu bahwa yang mereka lakukan itu keliru.”
Menurut Sani, anak bukan pelaku kriminal. Namun, korban dari lingkungan yang gagal memberikan edukasi dan perlindungan. “Anak perlu diajarkan tentang batasan tubuh, persetujuan, dan etika sosial. Pendidikan seksual itu bukan tabu, justru penting untuk perlindungan anak,” tutur Sani.
Sementara itu, psikolog forensik klinis Kasandra Putranto mengatakan, ada beberapa pemicu yang bisa menyebabkan anak melakukan pelecehan, seperti trauma masa lalu, lingkungan keluarga yang bermasalah, kurangnya pendidikan seksual, pengaruh teman sebaya, media dan konten yang tak layak anak, masalah emosi atau psikologi, kurangnya pengawasan orang tua, dan pubertas dini.
“Sepertiga tindak kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh anak lain yang usianya lebih tua,” ucap Kasandra, Kamis (19/6).
“Anak bisa meniru tanpa tahu konsekuensi. Apalagi kalau minim interaksi dengan orang tua.”
Kasandra menambahkan, anak usia di atas 6 tahun berada pada tahapan perkembangan psikoseksual laten, yang ditandai dengan munculnya energi psikoseksual yang disebut libido. Karena itu, peran orang tua sangat penting untuk memberikan pendidikan seks yang tepat dan dukungan psikologis untuk membatasi anak dari pelanggaran atau penyimpangan perilaku.
Di sisi lain, Kasandra menjelaskan, anak yang mengalami kekerasan seksual atau korban, umumnya mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pengalaman mereka. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam memperoleh bukti. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual, kata Kasandra, kerap tidak menyadari kalau dirinya telah menjadi korban.
“Mereka merasa bingung, malu, atau bahkan nyaman dengan pelaku karena tidak pernah dibekali pemahaman soal batasan tubuh,” tutur Kasandra.
Dihubungi terpisah, kriminolog Arthur Josias Simon Runturambi menyoroti lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap akses anak pada konten digital yang mengandung unsur seksual.
“Media sosial dan teknologi memungkinkan konten asusila masuk ke ranah anak-anak dengan sangat mudah, bahkan bercampur dengan platform permainan,” ujar Josias, Jumat (20/6).
Dia menekankan pentingnya literasi digital dan pengawasan kolektif. “Semua pihak harus terlibat, mulai dari keluarga, sekolah, pembuat kebijakan, hingga pengelola media sosial,” kata Josias.
“Negara harus hadir membatasi dan menyaring konten untuk usia anak-anak.”
Menurut Kasandra, jika anak yang menjadi korban tidak segera ditangani secara psikologis, maka dampaknya bisa serius. “Mulai dari trauma berkepanjangan, gangguan kecemasan, hingga sulit membentuk relasi yang sehat di masa depan,” ujar Kasandra.
Di samping itu, anak korban bisa mengalami masalah kesehatan mental, stigma sosial, regresi perkembangan, dan risiko berulangnya kekerasan di masa depan.
Kasandra menyarankan, penanganan anak pelaku harus bersifat holistik, dengan pendekatan psikologis, sosial, dan pendidikan tentang perilaku yang sehat, serta pemulihan dari trauma. Untuk melaksanakan itu semua, kata dia, perlu keterlibatan keluarga, dukungan psikolog, serta program rehabilitasi sosial dan emosional.
“(Program rehabilitasi) untuk membantu anak berintegrasi kembali ke dalam masyarakat dengan cara yang positif,” kata Kasandra.