sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

LBHM menilai vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan tidak tepat

Yosua menyebut, kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuha

Immanuel Christian
Immanuel Christian Rabu, 06 Apr 2022 06:46 WIB
LBHM menilai vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan tidak tepat

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) memandang vonis pidana mati terhadap terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 anak santri di Bandung, Herry Wirawan, tidak akan menimbulkan efek jera. Meski, tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan Herry mengundang perhatian dan gelombang amarah di kalangan masyarakat.

Koordinator Penanganan Kasus LBHM Yosua Octavian mengatakan, secara prinsip putusan tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebab, hak hidup yang bersifat prinsipil dan putusan tersebut cenderung bermuatan emosi publik semata. 

"Perlu diingat dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan korban, bukan kepada kemarahan yang tidak berdampak kepada korban," kata Yosua dalam keterangan, Selasa (5/4).

Yosua menyampaikan, Indonesia merupakan salah satu negara yang rajin memberikan hukuman mati pada beberapa jenis tindak pidana, dengan vonis pidana mati paling banyak dijatuhkan terhadap kasus narkotika. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Reprieve, sepanjang 2017-2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan sebanyak 279 vonis pidana mati adalah kasus narkotika. 

Namun tingginya vonis pidana mati dalam kasus narkotika tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika. Berangkat dari konstruksi tersebut, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada HW yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi. 

Yosua menyebut, kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuhan hukuman mati. Apalagi di akar rumput masih banyak kasus perkosaan yang bungkam untuk dilaporkan. 

Menurutnya, akar masalah atas hal ini karena korban perkosaan kerap mendapat stigma dan berpotensi dituntut balik oleh pelaku. Tantangan ini menciutkan nyali korban untuk melapor. 

"Pada sisi lain, RUU TPKS (Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) saat ini dibahas menghilangkan beberapa kekerasan seksual yang dalam praktiknya berpotensi tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban," ucap Yosua.

Sponsored

Staf Penanganan Kasus LBHM A’isyah Humaida melihat, proses hukum dan perlindungan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual masih dirasa sangat minim. Oleh karena itu vonis pidana terhadap Herry dianggap bukan jawaban terhadap kebutuhan korban.

"Seharusnya kasus ini merupakan notifikasi bagi Pemerintah untuk lebih maksimal dalam merealisasikan perlindungan bagi korban, bukan dengan menjatuhkan vonis pidana mati," ucap Aisyah.

Dalam hal penjatuhan hukuman, kata Aisyah, hakim juga telah lalai dalam mempertimbangkan pasal 67 pada KUHP. Karena, membatasi jenis pemidanaan apabila hukuman mati atau seumur hidup diberikan kepada pelaku tindak pidana. 

Menurutnya, akrobatik hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutus perkara HW di tingkat banding ini justru mengaburkan prinsip-prinsip dasar hukum pidana di Indonesia. Ia meminta supaya Mahkamah Agung menguji kembali melalui upaya hukum untuk menolak tuntutan pidana mati oleh Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Bandung.

Selain itu, ia berharap pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU TPKS yang akomodatif terhadap pemenuhan jaminan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Serta berpihak terhadap korban dalam mendapatkan hak atas keadilan.

"APH tidak melakukan penolakan atas pengaduan tindak pidana kekerasan seksual oleh anak, perempuan dan kelompok minoritas lainnya, serta memberikan layanan yang ramah terhadap korban dan saksi tindak pidana kekerasan seksual melalui peraturan dan pedoman," ucapnya

Berita Lainnya
×
tekid