sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

YLBHI soroti pola penyiksaan dan rekayasa di kasus Brigadir J: Bukan pertama kali terjadi!

YLBHI menjelaskan bahwa prilaku penyiksaan ini kerap mendapat pembenaran dari pejabat atasan dengan berlindung pada kewenangan diskresi.

Fitra Iskandar
Fitra Iskandar Jumat, 12 Agst 2022 22:02 WIB
YLBHI soroti pola penyiksaan dan rekayasa di kasus Brigadir J: Bukan pertama kali terjadi!

Pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J diawali dengan manipulasi peristiwa oleh pelakunya yakni Irjen Ferdy Sambo. Ironisnya, kebohongan itu sempat disebarkan instusi Polisi melalui Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pola-pola rekyasa seperti ini bukan pertama kali terjadi dan dilakukan aparat kepolisian. 

"Pola – pola rekayasa kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi dan pada umumnya pola rekayasa kasus seperti ini dilatarbelakangi adanya serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan hingga pembunuhan diluar proses hukum (extra judicial killing)," ungkap YLBHI dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8).

LBH-YLBHI di 17 wilayah selama 3 tahun terakhir (2019-2021) mencatat sebanyak 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah korban mencapai 1.088 korban. Sebagian besar kasus-kasus tersebut ditangani langsung oleh LBH-YLBHI.
 
"Dari kasus-kasus tersebut, terungkap bahwa penyiksaan dilakukan oleh anggota kepolisian pada saat proses BAP, penyelidikan dan penyidikan, dalam tahanan, dan sebagian di antaranya menjadi korban salah tangkap, bahkan berujung pada kematian atau pembunuhan di luar proses hukum (Extra Judicial Killing), serta sebagian lainnya diduga menjadi korban penjebakan kasus kepemilikan narkotik," papar YLBHI.

YLBHI menjelaskan bahwa prilaku penyiksaan ini kerap mendapat pembenaran dari pejabat atasan dengan berlindung pada kewenangan diskresi untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. 

"Maka terjadi pengkondisian untuk mengaburkan fakta-fakta akan suatu peristiwa. Sementara itu, “Arogansi Institusi” dan “solidaritas angkatan“ di tubuh Polri, di mana sesama anggota Polri terdapat kecenderungan untuk saling menutup-nutupi kesalahan bahkan melindungi sehingga sangat sedikit kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian yang dapat dituntaskan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku," tambah keterangan itu.

Menurut YLBHI, serangkaian kasus-kasus penyiksaan hingga pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh anggota Kepolisian membuktikan bahwa POLRI belum sungguh – sungguh melakukan reformasi kepolisian.

"Polri belum mampu menghilangkan kultur kekerasan internal Polri serta lemahnya fungsi pengawasan terhadap anggota Polri. Apalagi pelaku dalam kasus pembunuhan Brigadir J justru Kadiv Propam yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan kode etik Polri."

YLBHI menyoroti pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti Penyiksaan, yang belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan. Sudah 24 tahun berlakunya UU ini namun peristiwa penyiksaan terus berulang dan belum ada mekanisme pencegahan yang efektif. 

Sponsored

Terkait kasus pembunuhan Brigardir J, YLBHI pun menuntut Polri untuk mengusut kasus pembunuhan tersebut secara tuntas, profesional, transparan dan akuntabel. Selain itu YLBHI meminta Polri untuk merujuk UU No. 5/1998 dalam menangani kasus tersebut.

"Pemerintah dan DPR RI untuk segera mempercepat proses revisi KUHAP dalam rangka menjalankan reformasi mendasar peradilan dan pengawasan external kepolisian yang efektif."

YLBHI juga mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera membuat mekanisme yang efektif untuk mencegah berulangnya peristiwa penyiksaan.

Berita Lainnya
×
tekid