sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ketika relawan capres saling beralih dukungan

Bagaimana posisi dan peran relawan dalam dukungan kepada capres?

Rizkia Salsabila
Rizkia Salsabila Selasa, 26 Sep 2023 06:36 WIB
Ketika relawan capres saling beralih dukungan

Menjelang pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk Pilpres 2024, sejumlah relawan pendukung capres beralih dukungan. Paling kentara, saling berpindah dukungan antara relawan pendukung Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Teranyar, pada awal September 2023 Relawan Milenial Ganjar Pranowo di Jawa Timur mengalihkan dukungan ke bakal capres Prabowo Subianto. Pada 16 September 2023, ratusan eks relawan Prabowo pada 2014 dan 2019 di Jawa Barat, mendeklarasikan dukungan ke Ganjar.

Relawan pendukung Joko Widodo pada Pilpres 2014 dan 2019 yang tergabung dalam Pro Jokowi (Projo) pun tak lantas mendukung Ganjar, yang notabene satu partai politik, yakni PDI-P, dengan Jokowi. Misalnya, awal September 2023, Projo Jawa Tengah malah berganti nama menjadi Garuda Nusantara 08, memberi dukungan kepada Prabowo. Hal serupa terjadi pada relawan Jokowi Mania (Joman).

Pada Februari 2023, mantan Ketua Joman, Immanuel Ebenezer atau akrab disapa Noel, menyatakan dukungan kepada Prabowo. Padahal, sebelumnya, Joman mendukung Ganjar sebagai capres dengan membentuk Ganjar Pranowo (GP) Mania. Noel kini menjadi Ketua Umum Prabowo Mania 08.

Alasan beralih dukungan

Ada beberapa hal yang mendasari Noel akhirnya beralih mendukung Menteri Pertahanan Prabowo. “Pertama, kami mau cari pemimpin yang punya gagasan,” kata Noel kepada Alinea.id, Jumat (22/9).

“Kedua, kita punya pemimpin yang punya keberanian dan itu sesuai dengan apa yang diharapkan Pak Jokowi.”

Menurut Noel, Jokowi berkali-kali menyatakan bahwa Indonesia butuh pemimpin yang punya keberanian, tidak takut dengan negara-negara lain. “Kami melihat itu ada di sosok Pak Prabowo,” tuturnya.

Sponsored

Meski tak menyebutkan secara rinci, Noel mengatakan, banyak relawan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019, seperti dari Projo dan Joman, yang beralih dukungan ke Prabowo. Noel mengakui, sebelumnya adalah pendukung Ganjar.

“Orang yang pertama dukung Ganjar adalah saya,” ujarnya.

Namun, seiring waktu, ia menilai mantan Gubernur Jawa Tengah dua periode itu tak punya gagasan dan tak ada keberanian. “Apa gagasan Ganjar untuk Indonesia ke depan? Tulisan besarnya, tidak ada kan?” kata dia.

Ia juga menuturkan, berkali-kali Ganjar menyampaikan, gagal dalam persoalan kemiskinan. “Nah, saya tidak mau, masa pemimpin gagal kita pilih,” ujar Noel.

Eks Ketua Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer (kanan), yang menjadi Ketua Prabowo Mania 08, menemui bakal capres Prabowo Subianto (kiri) di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (16/2/2023)./Foto Instagram Immanuel Ebenezer/@immanuelebenezer

Dalam pidato perpisahannya sebagai Gubernur Jawa Tengah di GOR Jatidiri, Semarang, Selasa (5/9), Ganjar mengakui target angka kemiskinan belum tercapai. Namun, hasilnya penurunan yang tertinggi.

Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2018-2023, Ganjar menargetkan angka kemiskinan di Jawa Tengah dapat turun antara 7,48% hingga 6,48% pada 2023. Akan tetapi, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk miskin pada Maret 2023 masih 10,77% atau 3,79 juta orang.

Walau begitu, selama Jawa Tengah dipimpin Ganjar sejak 2013 hingga 2023, angka kemiskinan cenderung berkurang. BPS mencatat, pada 2013 jumlah penduduk miskin 4,8 juta orang atau 14,44%. Setelah setahun menjabat, angkanya berkurang menjadi 4,56 juta orang atau 13,58%. Usai pandemi yang memukul perekonomian, pada 2022 penduduk miskin di Jawa Tengah turun menjadi 3,83 juta orang atau 10,93%.

Namun menurut Noel, kesejahteraan rakyat di Jawa Tengah belum bisa teratasi. “Contoh sederhananya, setiap tahun ada 45.000 anak putus sekolah,” ujarnya.

“Di Jawa, ini (Jawa Tengah) nomor dua provinsi termiskin ekstrem. Angka gangguan jiwa ada 25% dari penduduk Jawa Tengah. Saya sedih, ada di Jawa Tengah semua, dan kita bukan hoax, tapi by data semua.”

Terlepas dari itu, kata Noel, relawan pendukung Prabowo tetap akan menjalankan strategi sesuai pola-pola serupa yang pernah dijalani. “Ya tetap sama, turun ke bawah mengorganisir rakyat, meyakinkan publik, dan mengkampanyekan prestasi-prestasi apa yang sudah dilakukan Pak Prabowo,” kata dia.

Noel juga bakal menjaga semua program yang dijanjikan Prabowo. “Jadi, bukan lip service. Kalau melihat pemimpin itu, ya dari tindakannya. Apakah tindakannya itu selaras dengan apa yang diucapkan,” ujar Noel.

“Nah, Pak Prabowo sampai detik ini, tindakan dan ucapannya itu selaras. Pak Prabowo berkali-kali menyampaikan, dia bukan politikus, dia seorang patriot.”

Menurut analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, perpindahan dukungan kelompok relawan capres merupakan hal yang wajar. Segalanya, kata dia, masih cukup cair hingga pendaftaran capres dan cawapres untuk Pilpres 2024.

“Demikian pula dukungan dari partai politik, kan juga masih ‘berayun’, ya,” kata Arif, Senin (18/9).

Lebih lanjut, ia mengatakan, basis relawan berbeda dengan partai politik. Sering kali, basis relawan lebih bersifat melengkapi kelompok-kelompok yang tak mampu dijangkau oleh partai politik. Maka, tak selamanya pula relawan mendukung pilihan capres dari partai politik.

“Misalnya, kalau kita berbicara salah satu kelompok relawan yang cukup kuat selama ini adalah Projo. Apakah Projo akan memberikan suaranya otomatis kepada Ganjar karena Ganjar satu partai dengan Jokowi?”

“Ya, tidak demikian.”

Peran dan menjaga kesetiaan relawan

Bakal capres Ganjar Pranowo bertemu ribuan relawan di De Tjolomadoe, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu (3/9/2023)./Foto Instagram Ganjar Pranowo/@ganjar_pranowo

Arif menjelaskan, posisi relawan cukup penting bagi pemenangan pilpres. Sebab, penerimaan publik terhadap partai politik dari pemilu ke pemilu sejak era reformasi, tidak terlalu menggembirakan. Di sisi lain, pasangan capres-cawapres tak mungkin diajukan kalau bukan dari partai politik atau koalisi partai politik. Dari situasi ini, ada lubang yang perlu ditutup relawan.

“Artinya, kelompok yang cenderung punya persepsi negatif terhadap partai tidak ter-cover. Demikian pula sebaliknya, menggantungkan hanya pada kekuatan nonpartai politik, ya artinya kan hanya tidak mungkin berdasarkan pasangan calon,” ujarnya.

“Jadi, dari sisi itu posisi relawan cukup penting bagi pemenangan pasangan (capres-cawapres).”

Posisi relawan pun bisa menjadi salah satu mediator antarpartai politik. Ia memberikan contoh. Semisal, di dalam Koalisi Indonesia Maju—terdiri dari Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PBB, Partai Gelora, dan Partai Demokrat—yang mengusung Prabowo Subianto berbeda pendapat soal figur yang bakal dijadikan cawapres, maka relawan bisa menjadi mediator.

“Karena basisnya relawan kan ada pada figurnya ya,” ujar Arif.

Di balik berpindahnya dukungan relawan, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UNI) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, memandang lumrah ada dugaan “menggembosi” kekuatan para kandidat capres.

“Dalam kompetisi politik elektoral itu hal yang lumrah,” ujar Zaki, Senin (18/9).

“Ada yang kita kenal namanya kampanye negatif. Ada juga kampanye hitam atau black campaign.”

Relawan pun bertujuan pula untuk menggradasi lawan-lawan dari partai politik atau figur yang mereka dukung. “Makanya, itu relawan Prabowo tentu akan berusaha mendongkrak Pak Prabowo,” tuturnya.

“(Mengkampanyekan Prabowo) seorang pahlawan besar, orang yang tegas, rasionalis, dan macam sebagainya.”

Lantas, kata dia, relawan Prabowo bakal melihat Ganjar itu hanya petugas partai. Sebaliknya, relawan Ganjar juga akan mengatakan Prabowo penculik atau bagian dari keluarga korup Cendana.

“Seperti itu ya hal yang lumrah,” kata dia. “Dan bisa kita temukan dalam kompetisi (elektoral) di negara-negara demokratis mana pun.”

Menurut Zaki, kampanye negatif yang tak jarang dilakukan relawan, justru diperlukan agar masyarakat tak tertipu berbagai propaganda yang baik-baik saja dari capres. Namun, kekurangan dari masing-masing calon perlu diketahui masyarakat.

Misalnya, pendukung Prabowo menyoroti kekurangan Ganjar karena Jawa Tengah menjadi provinsi paling miskin atau punya problem di dunia pendidikan. Sebaliknya, relawan Ganjar menyoroti kekurangan Prabowo karena food estate tidak jalan atau tendensi pelanggaran HAM.

“Tidak masalah, itu justru bagus,” ujar Zaki. “Itu namanya negative campaign, bukan black campaign. Sah-sah saja dalam kompetisi elektoral.”

Di sisi lain, Arif tak alergi terhadap transaksi kekuasaan yang didapat relawan sebagai imbal jasa kemenangan seorang capres. Contohnya, mendapat posisi sebagai komisaris di perusahaan BUMN atau menteri.

“Transaksi (kekuasaan) itu hal yang normal ya dalam politik,” tutur Arif.

Lagi pula, menurutnya, janji mendapat kekuasaan itu adalah salah satu upaya menjaga agar relawan tak membelot. Terpenting, bagi Arif, antara relawan dan capres bisa menyamakan pandangan atau orientasi.

“Sebab, kalau pandangannya berbeda, ya bukan tidak mungkin, adanya hubungan yang split (terbelah),” kata dia.

Semisal, ada pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 kemudian terbelah sebagian mendukung Ganjar. Lalu, Projo sebagian mendukung Ganjar, sebagian lainnya mendukung Prabowo. Dugaan Arif, terbelahnya dukungan itu semacam usaha memperkuat posisi tawar relawan.

“Supaya para calon itu take something for guaranteed (mengambil sesuatu untuk jaminan), tidak menganggap bahwa ‘oh kalau dia dukung Jokowi (berarti) akan dukung saya’,” ujarnya.

“Upaya untuk menaikkan posisi tawar ini lah yang saya kira akan membuat pertarungan menjadi seru.”

Selain itu, agar menjaga relawan tetap setia, menurut Arif para capres harus memberi peran penting pada mereka. “Karena sebagian relawan itu ada yang hanya dijadikan sebagai simbol saja, tetapi peran yang memadai dalam kampanye aktif kemenangan (tak ada),” tutur Arif.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi tim pemenangan capres. Sebab, kata dia, hampir pasti tak mungkin memberikan tempat yang terlalu dominan kepada salah satu kelompok relawan.

“Karena yang dimaksud sebagai kelompok relawan itu juga tidak tunggal,” ujarnya.

Sedangkan Zaki memandang, ada dua tipe relawan capres, yakni idealis dan pragmatis. Relawan idealis adalah mereka yang benar-benar tidak mengincar jabatan atau akses ekonomi dari kandidat yang didukungnya. Sementara relawan pragmatis adalah mereka yang sebenarnya bertujuan mendapat kekuasaan atau proyek-proyek dari kandidat yang didukungnya.

“Relawan pragmatis ini tidak peduli dengan siapa (capres yang didukungnya), yang penting dia melihat kira-kira yang paling besar peluangnya siapa. Pindah-pindah dia,” ujarnya.

“Banyak relawan (pragmatis) tadi yang dianggap publik tidak kredibel.”

Relawan pragmatis, kata Zaki, tak punya motif ideologis dan tak dimotivasi oleh perjuangan. Akan tetapi, dimotivasi semangat untuk mendapatkan imbalan politik maupun ekonomi.

Supaya relawan tetap setia mendukung capres, menurut Zaki, tim pemenangan harus memastikan relawan yang dibentuk adalah relawan yang ideologis, bukan pragmatis.

“(Yang dibentuk adalah) relawan yang muncul dari aspirasi rakyat, relawan yang dimotivasi oleh semangat untuk membangun bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid