sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat Paman Bobby duduk di kursi Sekda Medan

Promosi Paman Bobby sebagai Sekda Medan diduga terkait dengan kepentingan politik.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 05 Mei 2024 12:12 WIB
Saat Paman Bobby duduk di kursi Sekda Medan

Potensi kecurangan pada Pilkada Serentak 2024 dinilai jauh lebih besar dibandingkan dengan Pilpres 2024. Kehadiran penjabat kepala daerah, mulai dari penjabat gubernur hingga bupati dan wali kota, perlu diwaspadai. Dipilih langsung oleh pemerintah pusat, para penjabat bisa disalahgunakan untuk kepentingan pemenangan kandidat di pilkada. 

Salah satu potret indikasi ketidaknetralan kepala daerah tercium dari manuver Wali Kota Medan Bobby Nasution. Sejak April 2024, Bobby mengangkat pamannya, Benny Sinomba Siregar menjadi pelaksana harian Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan. 

Benny berkarier sebagai pegawai ASN di lingkungan Pemkot Medan sejak 2002. Pria kelahiran 1 Juni 1973 itu pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Hotel, Restoran dan Hiburan Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Medan serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Medan.

Sebelum ditunjuk Bobby jadi Sekda Medan, Benny menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Medan. Benny kini menggantikan posisi Wiriya Alrahman yang menjadi diangkat menjadi penjabat Bupati Deli Serdang.

Analis politik dari Universitas Medan Khairunnisa Lubis menerka Benny disiapkan Bobby untuk membantunya dalam kampanye di Pilgub Sumatera Utara 2024. Meskipun belum mengantongi tiket dari parpol, Bobby telah menyatakan niatnya untuk maju di Pilgub Sumut. 

"Nantinya Wali Kota Medan sendiri akan dicalonkan sebagai Gubernur Sumatera Utara. Walaupun rekomendasi itu diberikan oleh Wakil Wali Kota Medan, namun sentimen publik terhadap dinasti politik Istana sudah cukup tinggi," ucap Nisa, sapaan akrab Khairunnisa, kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Nisa, naif bila menganggap pengangkatan Benny Sinomba bebas dari kepentingan politik. Karena itu, pencegahan harus diperkuat, terutama terkait bansos. Salah satunya dengan mengakuratkan data penerima bantuan sosial secara online sesuai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

"Perlu diakuratkan data dari Basis Data Terpadu (BDT) ke DTKS. Kalau melihat pola-pola seperti ini mestinya memang dilakukan peningkatan pengawasan lembaga, khususnya aparat penegak hukum seperti KPK, BPKP dan aparat Kepolisian," ucap Nisa.

Sponsored

Selain KPK dan BPKP, pengawas internal pemerintah juga perlu aktif mengawasi penyalahgunaan anggaran pada jelang Pilkada Serentak 2024. Tidak kalah penting ialah pelibatan masyarakat untuk aktif melakukan pengawasan.

"Tentunya sebelum melibatkan masyarakat, perlu diberi sosialisasi pedoman umum penyaluran bansos. Semoga masyarakat Sumatera Utara nantinya tidak apatis terhadap pemilihan kepala daerah berikutnya," kata Nisa.

Berkaca pada Pilpres 2024, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan ketidaknetralan penjabat kerap terindikasi kuat dalam proses mutasi, demosi, dan promosi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan pemda. Mutasi dan promosi kerap dilakukan jelang pemilu dengan alasan yang tak jelas. 

Padahal, merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), seorang kepala daerah atau penjabat kepala daerah dilarang melakukan mutasi, promosi atau demosi kepada jajaran ASN di lingkupnya sedari enam bulan sebelum pilkada.

"Boleh asal mendapat persetujuan Kementerian Dalam Negeri. Tapi, jangan sampai proses mengajukan persetujuan Kementerian Dalam Negeri itu terjadi di ruang gelap," kata Herman kepada Alinea.id. 

Sebagaimana yang sudah terjadi saat Pilpres 2024, Herman juga mengingatkan pemerintah daerah agar tidak menyalahgunakan bantuan sosial (bansos) untuk kampanye kandidat. Apalagi, Kemendagri dan Mahkamah Agung (MA) sudah menyebarkan edaran melarang penyaluran bansos saat pilkada. 

"Supaya tidak boleh menyebar bansos jelang pilkada. Bagi kami, sebenarnya ini sangat terlambat karena pemerintah pusat sudah memberikan contoh. Daerah merasa, 'Kalau kalian bisa, kenapa kami enggak?'," ucap Herman. 

Pencegahan penyalahgunaan wewenang dan anggaran oleh penjabat kepala daerah bisa diantisipasi bila DPRD tingkat daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota mengaktifkan fungsi pengawasan. Dengan begitu, APBD tidak mudah disalahgunakan oleh penjabat untuk kepentingan pemenangan calon tertentu.  

"Kita berharap banyak kepada institusi formal, dalam hal ini DPRD, untuk mengaktifkan fungsi mereka, terutama fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Fungsi anggaran di sini bukan hanya bicara ketika mereka menyusun anggarannya, tetapi juga dalam implementasi atau realisasi dari anggaran yang ditetapkan dari APBD itu," ucap Herman. 

 

Berita Lainnya
×
tekid