

Anang Hermansyah: Revisi UU tentang Hak Cipta harus...

Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 sekaligus musisi senior, Anang Hermansyah, menegaskan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam wawancara bersama Alinea.id, Anang menjelaskan urgensi penyesuaian regulasi terhadap dinamika teknologi dan ekonomi kreatif saat ini, serta menyuarakan dukungannya terhadap gerakan seniman yang mendorong kejelasan perlindungan hukum bagi pelaku industri musik.
Berikut kutipan lengkap perbincangan kami dengan Anang Hermansyah:
Bagaimana perkembangan pembahasan revisi UU Hak Cipta sejauh yang Mas Anang ketahui?
Revisi ini sebenarnya sudah berjalan. Bahkan sudah sampai tahap harmonisasi di PPP (Peraturan Perundang-undangan). Tapi karena perkembangan teknologi dan infrastruktur yang begitu cepat, undang-undangnya memang perlu disinkronkan lagi. Sama seperti di luar negeri, undang-undang soal hak cipta terus berubah menyesuaikan zaman.
Kita sedang dikejar-kejar oleh isu dan tuntutan para pelaku industri. Pembuat konten, penyelenggara acara, pemerintah sebagai pemungut pajak—semuanya butuh payung hukum yang relevan. Dulu, teknologi belum secanggih sekarang, jadi banyak hal yang dulu belum terpikirkan kini jadi kebutuhan mendesak.
Bagaimana pandangan Mas soal munculnya kelompok ‘VISI’ dan ‘AKSI’ yang menyuarakan aspirasi seniman?
Saya sangat apresiasi. VISI dan AKSI itu punya semangat yang sama: menyejahterakan seniman dan pelaku industri kreatif. Jadi jangan dipertentangkan. Justru mereka semua harus duduk bareng, saling mengisi. Tim Perumus Strategi (TPS) wajib mengundang dan mendengarkan mereka dalam penyusunan revisi UU Hak Cipta.
Regulasi ini nanti akan langsung berdampak ke karya mereka. Jadi, suara mereka sangat penting. Ini semangat positif dari seniman yang sadar masa depan industrinya tergantung pada keberpihakan hukum.
Mas, salah satu isu hangat adalah soal royalti. Siapa yang seharusnya mendapatkan hak utama: musisi atau penyelenggara acara?
Kita harus lihat lebih luas. Undang-undang ke depan tidak boleh hanya berpihak ke korporasi. Harus kembali ke pencipta. Tapi bukan cuma pencipta lagu, ya. Semua pelaku yang terlibat dalam proses karya, mereka harus dilindungi haknya, hak ekonominya harus jelas.
Pemerintah dapat pemasukan pajak, pengusaha bisa tetap berbisnis, dan seniman bisa hidup dari karyanya. Ini soal keadilan struktural. Jadi konstruksi UU-nya harus ulang dari hulu ke hilir.
Apakah UU Hak Cipta yang sekarang sudah cukup menampung kebutuhan industri?
Belum. Banyak hal yang belum terakomodasi, termasuk perkembangan teknologi seperti AI (kecerdasan buatan) dan blockchain. Di luar negeri, Performing Rights Organization (PRO) sudah berkembang pesat, sistemnya rapi, insentifnya jelas.
Sementara di kita, regulasinya belum mengatur mekanisme industri secara rinci. Padahal Indonesia itu negara super power budaya. Kita punya lebih dari 1.400 suku bangsa, masing-masing dengan kekayaan musiknya sendiri. Masa iya itu semua dibiarkan begitu saja tanpa perlindungan hukum?
Soal pernyataan Ahmad Dhani dulu, katanya Mas Anang tidak sanggup lawan mafia musik. Apa komentar Mas?
Itu kan bagian dari wacana. Kalau ditarik ke belakang, memang dulu industrinya jalan duluan, aturan belum ada. Wajar kalau muncul persepsi macam-macam. Tapi sekarang, semua sudah duduk di kursi pembuat regulasi.
Kita jangan lagi bicara soal siapa lawan siapa. Sekarang saatnya bareng-bareng bikin aturan yang bisa menghapus persepsi negatif itu. Semua harus punya semangat memperbaiki, bukan memperkeruh suasana.
Menurut Mas, apakah AI perlu dimasukan dalam revisi UU Hak Cipta?
Sangat perlu. Saat ini AI sudah bisa membuat lagu, mengatur distribusi, bahkan membaca pasar. Tapi UU kita belum menyinggung itu sama sekali. Kita hanya mengatur soal elektronik properti yang sudah lama ketinggalan zaman.
Kalau kita tidak segera bergerak, industri musik bisa stagnan. Bayangkan, dari 17 subsektor ekonomi kreatif, musik hanya menyumbang 0, sekian persen ke PDB (produk domestik bruto). Padahal potensinya luar biasa. Kalau dikelola benar, industri musik bisa tembus Rp30 triliun. Tapi sekarang baru di kisaran Rp6 triliun hingga Rp7 triliun. Itu karena tidak ada aturan yang benar-benar menjamin kelangsungan dan keadilan bagi pelaku industrinya.
Apa harapan Mas terhadap revisi UU Hak Cipta ini?
Saya berharap ini jadi momentum besar. Momentum yang membuat seniman bukan hanya sebagai pelaku hiburan, tapi bagian dari pilar kebudayaan dan ekonomi nasional. Apresiasi buat teman-teman di parlemen seperti Melly Goeslaw, Dhani, Pasha (Sigit Purnomo Syamsuddin Said), dan lainnya. Mereka bergerak bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk masa depan musik Indonesia.
Seniman tidak bisa lagi jadi korban sistem. Jangan sampai generasi mendatang tidak bisa hidup dari karyanya hanya karena kita gagal menyiapkan regulasi yang adil. Dan jangan sampai kekayaan budaya kita justru dimanfaatkan negara lain, sementara kita tertinggal.

Nah, dengan keterlibatan aktif berbagai pihak, termasuk pelaku industri dan para legislator dari latar belakang seni, revisi UU Hak Cipta berpeluang besar menjadi payung hukum yang kuat, adil, dan relevan. Sebagaimana disampaikan Anang, revisi ini bukan hanya soal undang-undang, tapi juga soal harga diri bangsa sebagai kekuatan budaya dunia.


Tag Terkait
Berita Terkait
Gitaris blues “tingkat dewa” yang legendaris
5 band punk legendaris yang piringan hitamnya layak dikoleksi
Apa yang bisa dipelajari dari perkara hak cipta Agnez Mo vs Ari Bias?
Main alat musik dan bernyanyi bisa jaga kesehatan otak

