Tahun 1965 menjadi salah satu titik gelap dalam sejarah Indonesia. Situasi politik yang memanas, peristiwa G30S, serta kebijakan Presiden Sukarno yang melarang musik Barat ikut memengaruhi perkembangan musik tanah air. Banyak musisi mengalami tekanan, sebagian bahkan harus berurusan dengan penjara. Namun dari situasi kelam itu, lahir pula karya-karya yang justru menjadi penanda transisi musik Indonesia menuju era baru.
Pemerhati musik David Tarigan menjelaskan, tahun 1965 tidak hanya menandai kekacauan politik, tetapi juga meninggalkan jejak kuat dalam dunia musik.
“Kalau kita ngomong tentang tahun 1965, tentu saja ada rekaman-rekaman yang memang khas tahun 1965. Dalam artian, dia menggambarkan apa yang sedang terjadi pada saat itu,” ujar David saat ditemui Alinea.id di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (10/9).
“Misalnya rekaman lenso di tahun 1965, seperti ‘Mari Bersukaria’ yang dirilis oleh Irama Records dan didukung Bung Karno. Itu adalah upaya tandingan dari musik Barat.”
Menurut David, salah satu lagu paling ikonik dari era itu adalah “Genjer-Genjer”. Lagu ini direkam dalam berbagai versi dan menjadi representasi kuat dari suasana sosial-politik kala itu. Namun, setelah Orde Baru berkuasa, banyak rekaman “Genjer-Genjer” dihancurkan atau dihapus dari piringan hitam, sebuah bukti nyata adanya perubahan besar dalam arah budaya.
Personel dari kelompok musik Koes Bersaudara—sebelum menjadi Koes Plus—menjadi contoh nyata korban represi. Mereka dipenjara pada 1965 karena dianggap membawakan musik berbau Barat.
Setelah bebas, mereka merilis dua lagu penting, yakni To The So-Called Guilties (1967) yang berisi protes terhadap ketidakadilan yang mereka alami dan Jadikan Aku Dombamu (1968) yang bernuansa spiritual dan reflektif. Album-album ini menjadi simbol kebangkitan musik Indonesia setelah masa kegelapan.
Di masa-masa “gelap” itu, musik pop Indonesia tetap berjalan. Pengaruh Barat masih menyusup lewat gaya bermain dan aransemen, meski dibalut dengan sentuhan lokal. David menilai, tekanan politik saat itu justru melahirkan karakter musik yang unik.
“Makanya ada rock’n’roll tapi berbahasa daerah, atau lagu perjuangan dengan gaya rock’n’roll. Itu lahir dari tekanan, tapi menghasilkan karakter yang menarik. Identitas lokal bertemu pengaruh Barat, dan jadilah sesuatu yang khas Indonesia,” tuturnya.
Kebijakan Sukarno melarang musik Barat dimaksudkan sebagai bagian dari perlawanan terhadap imperialisme budaya. Lagu dari grup-grup musik seperti The Beatles dilarang diputar secara bebas. Namun generasi muda tetap mencari cara untuk mengakses musik global. Larangan itu tidak sepenuhnya memutus pengaruh, melainkan melahirkan perpaduan unik antara semangat nasionalisme dan modernitas musik dunia.
David menegaskan, apa yang terjadi di tahun 1965 dan sesudahnya tidak bisa dilepaskan dari musik. Ia mengatakan, musik Indonesia tahun 1965 adalah cermin dari konflik, trauma, sekaligus harapan. Dari larangan dan represi, lahirlah karya yang merekam pergulatan sejarah. Dari situ pula, jalan terbuka menuju musik Indonesia yang lebih bebas, lebih kaya, dan lebih beragam.
“Itu bukan hanya karya musik, tapi juga bentuk ekspresi budaya. Dan di tahun 1965 itu semua sangat terasa,” katanya.