Angola sedang menghadapi situasi genting. Selama dua hari berturut-turut, ibu kota Luanda dan sejumlah kota lainnya dilanda kerusuhan dan penjarahan menyusul aksi protes terhadap kenaikan harga bahan bakar. Pemerintah Angola melaporkan bahwa 22 orang tewas, termasuk seorang polisi, akibat kekerasan yang pecah sejak awal pekan ini.
Kerusuhan ini terjadi sebagai buntut dari kenaikan harga bahan bakar pada 1 Juli 2025, dari 300 menjadi 400 kwanza (sekitar US$0,33 ke US$0,43) per liter. Pemogokan yang dipelopori oleh para pengemudi taksi berubah menjadi aksi kekerasan massal, menjadikannya salah satu kerusuhan terburuk dalam beberapa tahun terakhir di negara Afrika selatan yang kaya minyak namun masih bergulat dengan kemiskinan.
“Kami menyesalkan 22 kematian, termasuk seorang petugas polisi,” ujar Menteri Dalam Negeri Manuel Homem saat memberikan keterangan kepada wartawan setelah rapat kabinet yang dipimpin Presiden Joao Lourenco, Rabu (29/7/2025).
Penjarahan, bentrokan, dan situasi terkini
Kerusuhan yang dimulai pada hari Senin menyebar cepat. Tembakan terdengar di beberapa sudut kota, sementara massa menjarah toko, supermarket, hingga gudang penyimpanan. Sebanyak 66 toko rusak, lebih dari 1.200 orang ditangkap, dan hampir 200 orang terluka.
Menurut laporan di lapangan, sebagian besar jalan-jalan di Luanda kosong, banyak toko tetap tutup, dan keamanan diperketat. Beberapa pom bensin dan toko masih terlihat antrean panjang, meskipun transportasi umum mulai kembali beroperasi setelah dua hari lumpuh.
Pemicu: Kebijakan ekonomi yang tak populer
Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar ini merupakan bagian dari pengurangan subsidi, langkah yang disebut-sebut sebagai hasil tekanan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Tujuannya adalah agar anggaran negara bisa lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan. Namun di sisi lain, beban hidup rakyat makin berat, terutama di tengah inflasi tinggi (sekitar 20%) dan pengangguran hampir 30%.
“Pemerintah tampaknya mengabaikan penduduknya,” kata Daniel Pedro, warga Luanda berusia 32 tahun. “Mereka mengatakan pemuda adalah masa depan, tapi sekarang kami menganggur. Saya merasa sangat tidak aman,” ujar pria yang bekerja sebagai guru itu kepada kantor berita AFP.
Data Bank Dunia memperkirakan tingkat kemiskinan akan tetap tinggi — sekitar 36 persen hingga tahun 2026, kecuali jika pemerintah memperkuat jaring pengaman sosial dan belanja pembangunan.
Kemarahan terhadap pemerintah
Dalam aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 2.000 orang di Luanda pada Sabtu lalu, warga tidak hanya mengecam kenaikan harga bahan bakar, tetapi juga menyuarakan kemarahan terhadap korupsi dan pemerintahan yang dipimpin oleh partai MPLA, yang telah berkuasa sejak 1975. Presiden Lourenco, yang baru saja terpilih kembali pada 2022, juga menjadi sasaran kritik massa.
Kerusuhan serupa juga pernah terjadi dua minggu sebelumnya. Dalam pernyataan bersama, dua partai oposisi, UNITA dan Bloco Democratico, menyatakan bahwa Angola kini tengah menghadapi "krisis ekonomi dan sosial yang parah" akibat kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi nyata rakyat.
Sementara itu, Amnesty International dan sejumlah organisasi hak asasi manusia menyoroti penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian dalam menghadapi pengunjuk rasa. Angola sendiri memiliki sejarah panjang kekerasan, termasuk perang saudara selama 27 tahun (1975–2002) dan masa penindasan di bawah kepemimpinan presiden sebelumnya, Jose Eduardo dos Santos.
Insiden penembakan remaja
Kekerasan tak hanya terjadi di ibu kota. Di kota Lubango, seorang remaja 16 tahun tewas ditembak polisi pada hari Selasa. Menurut pernyataan kepolisian, korban merupakan bagian dari kelompok yang berusaha menyerbu kantor pusat partai MPLA di kota tersebut.
Pemerintah dalam pernyataannya menyebut bahwa "elemen-elemen kriminal" telah memanfaatkan demonstrasi ini dan menjadikannya ancaman serius bagi keamanan nasional. Mereka mengklaim bahwa situasi ini telah menciptakan “iklim ketidakamanan yang meluas”.(france24)