Banyak orang menggambarkan ayah adalah sosok yang harus selalu kuat, tenang, dan tidak mudah terpancing emosi. Tapi kenyataannya, para ayah pun kadan tak kuasa menahan marah, lelah, dan kewalahan saat menghadapi tekanan dalam mengasuh anak. Sayangnya, tidak semua ayah dibekali keterampilan untuk memahami dan mengelola perasaan mereka sendiri.
Artikel ini mengangkat sisi yang jarang dibicarakan: bagaimana para ayah menghadapi pemicu emosional, terutama saat mereka ingin menjadi orang tua yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Melalui kisah nyata dan pandangan para ahli, kita diajak memahami bahwa kemarahan bukan tanda kelemahan, tapi sinyal bahwa ada emosi penting yang perlu dikenali dan direspons dengan cara yang lebih sehat.
Tak sedikit ayah yang mengalami ledakan emosi dalam mengasuh anak, dan sering kali pemicunya justru berasal dari perasaan-perasaan dasar: tidak dihargai, diabaikan, atau merasa gagal. Hal ini diungkapkan oleh Scott, seorang terapis keluarga, yang menjelaskan bahwa frustrasi yang dialami para ayah seringkali diperparah oleh ekspektasi sosial tentang peran ayah yang ideal: tenang, kuat, tak tergoyahkan.
Salah satu contoh datang dari Justin Gurland, pekerja sosial sekaligus ayah yang mengakui bahwa ia sering merasa terpancing saat anaknya mengalami tantrum. "Sulit rasanya untuk tidak menganggap itu sebagai serangan pribadi, apalagi ketika saya sedang berusaha menjelaskan sesuatu dengan tenang," ujarnya.
Namun, alih-alih larut dalam kemarahan, Justin memilih untuk berhenti sejenak. "Jeda", menurutnya, adalah alat yang paling sederhana sekaligus paling ampuh. "Hanya dengan berhenti sejenak, saya bisa mengatur ulang reaksi saya dan memilih untuk merespons dengan kepala dingin."
Kesadaran bahwa anaknya yang masih berusia empat tahun belum memiliki kemampuan emosional seperti orang dewasa juga menjadi penyeimbang penting. "Saya harus terus mengingat bahwa ini bukan tentang saya. Dia masih belajar," katanya.
Justin pun rutin menjaga kesehatan fisik dan emosinya: tidur cukup, berolahraga, dan menjaga koneksi sosial. Ia menyadari bahwa kapasitas emosionalnya sebagai ayah sangat dipengaruhi oleh kondisi dirinya sendiri.
Ketika rasa takut dan duka jadi pemicu
Tapi tidak semua kemarahan datang dari peristiwa sehari-hari. Bagi Thomas Westenholz, seorang terapis dan ayah, momen terberat datang saat anaknya didiagnosis dengan penyakit langka. "Saya merasa marah, tak berdaya, dan hancur," ujarnya. Seperti banyak pria lainnya, ia terbiasa menekan emosi atau mengubahnya menjadi beban logika. Tapi itu justru membuatnya makin rapuh.
Barulah lewat terapi, Thomas memahami bahwa mengatur emosi bukan berarti memendamnya. Justru sebaliknya: ia belajar untuk hadir bersama emosi itu, memeluknya, dan mengarahkan energinya secara sehat. "Saya tidak lagi melampiaskan kemarahan saya kepada orang-orang yang saya cintai," katanya.
Pola lama, reaksi baru
Banyak ayah yang dibesarkan dalam lingkungan emosional yang sempit. Ada yang melihat ayahnya meledak-ledak saat marah. Ada juga yang tumbuh tanpa ekspresi kemarahan sama sekali, justru membuat mereka kehilangan contoh bagaimana menghadapi konflik secara sehat.
Jenny Bradley, pendiri Triangle Smart Divorce, menekankan bahwa penting untuk menyadari: hanya karena kita dibesarkan dalam pola tertentu, bukan berarti kita harus mengulanginya. "Kuncinya adalah memahami apa yang memicu Anda dan membangun strategi untuk menghadapinya sebelum amarah itu tumpah ke anak-anak."
Napas, Batasan, dan Perbaikan
Saat amarah mengintai, langkah sederhana seperti menarik napas dalam lima kali bisa menciptakan ruang batin yang cukup untuk menahan diri. "Teknik ini memberi waktu untuk berpikir, bukan hanya bereaksi," jelas Bradley.
Scott menambahkan bahwa menetapkan batasan itu bukan berarti membentak. “Batasan ditentukan sebelumnya, dan ditegakkan dengan tenang. Sementara kemarahan yang meledak justru reaktif dan sering berlebihan."
Yang juga penting, lanjutnya, adalah keberanian untuk mengakui kesalahan. “Bukan kesempurnaan yang dibutuhkan anak, tetapi kejujuran.”
Justin pun mengamini. Ketika ia merasa bersalah karena kehilangan kesabaran, ia selalu meminta maaf. "Saya ingin anak saya tahu bahwa orang dewasa pun bisa salah—dan yang penting adalah bagaimana kita bertanggung jawab atas kesalahan itu."
Warisan emosional: Siklus yang bisa diputus
Kini, Thomas menjadikan konsep perbaikan sebagai fondasi dalam hidupnya, baik sebagai ayah maupun terapis. "Kemarahan itu manusiawi. Tapi kekuatan sejati terletak pada bagaimana kita merespons, bukan bereaksi."
Ia mengingatkan bahwa momen permintaan maaf bukan sekadar formalitas, tetapi ruang penyembuhan yang penting—bagi anak, dan juga bagi dirinya sendiri. "Saya tidak ingin mewariskan luka yang sama. Saya ingin anak saya tahu bahwa cinta juga berarti belajar memperbaiki."
Menjadi ayah yang sadar diri
Di era ketika keterbukaan emosional makin dihargai, menjadi ayah bukan lagi tentang menjadi 'pemimpin rumah tangga' yang kaku, tapi tentang hadir sebagai manusia seutuhnya: rapuh, sadar, dan terus belajar.
Seperti yang dikatakan Bradley, "Memiliki emosi besar tidak membuat Anda orang tua yang buruk. Itu membuat Anda manusia. Dan yang terpenting bukan seberapa sering Anda marah—melainkan apa yang Anda lakukan sesudahnya."
Karena pada akhirnya, warisan terbaik seorang ayah bukanlah ketegasan tanpa cela, tapi kemampuan untuk merasa, mengakui, dan memperbaiki. Itulah teladan sejati.(huffpost)