

Fenomena angry youth dalam ricuh job fair di Bekasi

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli angkat suara terkait insiden kericuhan saat penyelenggaraan job fair di salah satu kampus di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Selain evaluasi, Yassierli mengatakan Kemnaker akan memperkuat koordinasi dengan dinas ketenagakerjaan setempat untuk penyelenggaraan job fair.
"Tentu kita berharap ke depan bisa lebih baik. Ini juga menjadi satu hal evaluasi kita untuk melakukan koordinasi dan pembinaan kepada dinas-dinas ketenagakerjaan di provinsi," kata Yassierli dalam konferensi pers di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Rabu (28/5).
Sebelumnya, sebuah video viral di media sosial menunjukkan aksi saling dorong dan baku hantam antara peserta job fair di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Kericuhan dipicu perebutan barcode quick response (QR) yang dibagikan panitia job fair.
Mulanya berjalan lancar, job fair tersebut "memanas" setelah jumlah peserta membeludak. Menurut catatan Pemkab Bekasi, ada 25 ribu pencari kerja yang hadir di job fair itu. Padahal, target panitia hanya 10 ribu orang. Jumlah lowongan kerja yang tersedia pun hanya kisaran 3.000 lowongan.
Sejumlah peserta job fair dilaporkan terluka karena terlibat aksi saling dorong. Ada juga yang pingsan karena kelamaan mengantre di bawah teriknya sinar matahari di Bekasi.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat meyakini kasus kericuhan di job fair Bekasi bakal berulang. Ia berpendapat peristiwa kericuhan tersebut merupakan indikasi kemarahan publik terhadap sulitnya mencari pekerjaan saat ini.
"Mereka sudah ditempa dengan mental yang stres juga karena sudah kelamaan menganggur. Harapannya itu tinggi dan mereka pengen banget pekerjaan. Memang ekonomi sedang tidak baik- baik saja. Banyak yang mencari kerja, lowongan dikit," kata Mirah kepada Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Suramnya dunia kerja, lanjut Mirah, merupakan kombinasi sejumlah faktor. Pertama, jumlah angkatan kerja yang baru terus naik. Di sisi lain, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) tak juga surut.
Para pencari kerja yang sebelumnya pegawai yang kena PHK juga sedang dalam krisis finansial karena tabungan terus menipis. Mau tidak mau mereka harus secepat mungkin mendapatkan pekerjaan baru.
"Kemarahan ini akan menjadi besar kalau pemerintah mendiamkan kondisi ini. Di mana jumlah pencari kerja lebih besar dari pada lowongan pekerjaan yang tersedia," kata Mirah.
Mirah menilai angkatan kerja yang belum tertampung industri semestinya diberi intensif berupa bantuan modal usaha. Dengan begitu, mereka tidak hanya bergantung pada lowongan kerja yang disediakan perusahaan. Seiring itu, pemerintah juga perlu menata dan memperluas lapangan kerja.
"Kalau pemerintah mendiamkan tanda- kerusuhan itu kemungkinan akan menjadi potensi kerusuhan massal. Itu sebuah sinyal sebenarnya. Jadi, ini sinyal dari pemerintah untuk bisa memperbaiki kembali supaya itu tidak menjadi kerusuhan sosial karena ekonomi kita sedang buruk," kata Mirah.
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany punya pendapat serupa. Menurut dia, jumlah tenaga kerja yang kena PHK saat ini jauh lebih besar jika dibandingkan periode yang sama pada periode 2024.
Di tengah lambannya penciptaan lapangan pekerjaan baru, jumlah orang miskin di Indonesia juga meningkat tajam. Menurut data Bank Dunia atau World Bank, jumlah warga miskin di Indonesia mencapai 60% dari total populasi.
Kelamnya situasi dunia kerja di Indonesia, menurut Andy, melahirkan fenomena generasi muda pemarah atau angry youth. Fenomena serupa juga terjadi di negara-negara berkembang yang pertumbuhan ekonominya sedang tertekan, didera kemiskinan, dan ketidakadilan merajalela.
"Anak-anak mudanya mudah tersulut emosinya, frekuensi tawuran meningkat, dan angka kriminalitas juga memburuk. Pekerjaan itu mengangkat martabat dan harga diri seseorang. Menjadi pengangguran membuat emosi seseorang menjadi labil," kata Andy kepada Alinea.id.
Andy menilai kericuhan pada penyelenggaran job fair di Bekasi mengindikasikan bahwa memperoleh suatu pekerjaan saat ini memang tergolong sangat sulit. Di sisi lain, jenis pekerjaan yang ditawarkan perusahaan dan pemerintah terbilang sedikit.
"Hal itu karena pekerjaan formal di Indonesia masih bergantung pada perusahaan-perusahaan besar, dan kini perusahaan tersebut tumbang satu demi satu. Banyak orang terkena PHK lari ke sektor informal untuk bertahan hidup. Ini pun tidak mudah karena butuh keterampilan dan modal," kata Andy.
Pemerintah, kata Andy, tak boleh menganggap remeh situasi saat ini. Selain membuka lapangan kerja baru, pemerintah juga harus menjaga agar perusahaan-perusahaan yang masih beroperasi tidak bangkrut.
"Fenomena angry youth ini jangan dibiarkan berkembang dan meluas terus. Ini akan mengoyak kenyamanan hidup berbangsa," kata Andy.


Tag Terkait
Berita Terkait
Yang perlu menjadi catatan dalam ajang job fair
Di balik 'badai' PHK industri media

