Sebanyak 13 orang—empat anggota TNI dan sembilan lainnya warga sipil—tewas saat pemusnahan amunisi tak layak di Desa Sagara, Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (12/5). Banyaknya korban jiwa dari warga sipil menjadi sorotan.
Dikutip dari Kompas.com, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Kristomei Sianturi menjelaskan, keberadaan warga sipil di lokasi peledakan amunisi sudah biasa terjadi. Mereka biasanya bakal mengumpulkan serpihan logam, tembaga, atau sisa material.
Penasihat Khusus Presiden Urusan Pertahanan Nasional Jenderal TNI (Purn) Dudung Abdurachman menyatakan hal serupa. Dia mengungkap, warga sering ke lokasi latihan militer mencari selongsong untuk dijual.
Akan tetapi, pernyataan itu dibantah keluarga korban. Kepada Kompas.com, Agus, kakak kandung Rustiwan—yang merupakan salah satu korban peristiwa itu—mengatakan, adiknya bukan pemulung atau pencari sisa logam. Rustiwan, kata dia, sudah 10 tahun terakhir membantu TNI untuk memusnahkan amunisi tak layak.
Sementara itu, pengamat militer sekaligus Ketua Centra Initiative, Al Araf memandang, tragedi peledakan amunisi di Garut harus diusut secara menyeluruh.
“Kegagalan mengusutnya sama saja dengan kegagalan negara untuk melindungi hak asasi manusia, yaitu hak hidup mereka yang menjadi korban,” kata Al Araf, yang juga perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan kepada Alinea.id, Jumat (16/5).
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mendesak Komisi I DPR untuk membentuk tim pencari fakta, dengan tujuan menyelidiki insiden ini, memastikan keluarga korban mendapatkan hak atas informasi, serta menjamin pengawasan ketat terhadap senjata, amunisi, dan bahan peledak yang berada dalam lingkungan militer.
Al Araf menegaskan, tanpa evaluasi menyeluruh dan pengawasan dari lembaga legislatif, kejadian serupa berisiko terulang. Setiap proses penanganan amunisi, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemusnahan, kata dia, wajib mengikuti standar keamanan tinggi dan dilakukan tenaga profesional.
Dia juga menyoroti pentingnya penyelidikan yang bersifat independen, imparsial, dan menyeluruh. Terlebih karena terdapat korban dari warga sipil.
“Secara prinsip, proses disposal amunisi perlu dilakukan jauh dari warga sipil, benar-benar steril. Tidak diperbolehkan warga sipil berada di area disposal sebelum, selama, dan setelah proses berlangsung,” kata Al Araf.
Di sisi lain, menurut peneliti Imparsial Riyadh Putuhena, jatuhnya korban jiwa dalam pemusnahan amunisi merupakan bentuk ketidakprofesionalan dan indikasi inkompetensi pengelolaan wilayah pertahanan oleh militer.
“Kalau kita mengacu pada PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 68 Tahun 2014 (tentang Penataan Wilayah Pertahanan Negara), kawasan disposal amunisi masuk dalam wilayah pertahanan yang menjadi tanggung jawab Mabes (Markas Besar) TNI untuk menjamin keamanan dan keselamatan,” ujar Riyadh kepada Alinea.id, Jumat (16/5).
Riyadh menilai, insiden tersebut tidak hanya melanggar standar operasional prosedur (SOP), tetapi juga mencerminkan kelalaian dalam pelaksanaan. Terlebih, menurutnya, ada kecenderungan pelaziman keterlibatan warga sipil dalam kegiatan militer, yang seharusnya terbatas dan aman.
Pernyataan Kapuspen TNI, kata Riyadh, juga dianggap tergesa-gesa dan tidak berdasar. Sebab, muncul berbagai pengakuan dari warga kalau mereka dipekerjakan dalam kegiatan tersebut.
“Kalau mereka bekerja, berarti ada hubungan kerja yang menuntut pertanggung jawaban hukum. Siapa pemberi kerja? Apakah sudah ada jaminan keselamatan? Ini bukan persoalan kecil,” ucap Riyadh.
Riyadh pun mendesak agar tim investigasi yang dibentuk tidak hanya berasal dari internal TNI. Namun harus melibatkan unsur kepolisian, ahli bahan peledak, akademisi, dan Komisi I DPR. Tujuannya agar investigasi berjalan transparan dan tidak ada fakta yang ditutup-tutupi. Riyadh pun menekankan pentingnya evaluasi terhadap kebijakan dan struktur komando di tingkat pengambil keputusan, bukan hanya menyalahkan pelaku di lapangan.
“Evaluasi harus menyentuh akar masalah, termasuk kebijakan SOP disposal amunisi yang sebelumnya juga pernah dikritik setelah ledakan gudang amunisi di Kodam Jaya (Ciangsana, Bogor) tahun lalu,” tutur Riyadh.
“Pertanyaannya, apakah evaluasi itu sudah benar-benar dilakukan?”