close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan prajurit TNI Angkatan Laut (AL) Serda Satria Arta Kumbara. /Foto TikTok.
icon caption
Mantan prajurit TNI Angkatan Laut (AL) Serda Satria Arta Kumbara. /Foto TikTok.
Peristiwa
Senin, 12 Mei 2025 16:23

Kenapa Serda Satria bisa bertempur bersama Rusia?

Prajurit yang pensiun atau bermasalah dengan hukum tak boleh dibiarkan untuk memanfaatkan keahliannya dan bergabung dalam aktivitas militer asing.
swipe

Mantan anggota TNI Angkatan Laut (AL) bernama Satria Arta Kumbara terdeteksi ikut bertempur bersama  militer Rusia di Ukraina. Keberadaan Satria di Ukraina diungkap pemilik akun TikTok @zstorm689 dalam sebuah unggahan video, Kamis (8/5). 

Dalam unggahan itu, terdapat dua foto. Pada foto pertama, Satria terlihat menggunakan seragam militer Rusia. Pada foto kedua, Satria nampak berseragam TNI AL lengkap baret ungu khas marinir.

"Iya, memang dulu marinir. Sekarang bertempur bersama Rusia di Ukraina," tulis @zstorm689 dalam caption video. 

Unggahan itu ditanggapi Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut Laksamana Pertama TNI I Made Wira Hady. Wira membenarkan Satria pernah jadi prajurit TNI AL. Satria ialah eks anggota Inspektorat Korps Marinir (Itkomar). 

"Serda Satria Arta Kumbara NRP 111026 mantan anggota Itkormar (Inspektorat Korps Marinir). Desersi terhitung mulai tanggal 13 Juni 2022 sampai sekarang," kata Wira kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/5).

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai kasus Satria tak bisa dianggap sepele. Prajurit yang pensiun atau bermasalah dengan hukum tak boleh dibiarkan untuk memanfaatkan keahliannya dan bergabung dalam aktivitas militer asing. 

"Ini bukan sekadar persoalan individu yang tersesat jalan, melainkan sinyal adanya celah serius yang perlu ditutup dalam sistem pengawasan dan pembinaan pasca-dinas di tubuh militer Indonesia," kata Fahmi kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Fahmi menilai kasus Satria bisa jadi preseden buruk. Profesi menjadi kombatan asing bisa dianggap sebagai opsi karier bagi prajurit lain yang bermasalah lantaran tidak ada beban moral, hukum maupun risiko sanksi negara.

"Publik tentu akan bertanya, apakah Satria Arta satu-satunya warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung sebagai tentara bayaran? Dan apakah ia satu-satunya eks prajurit TNI yang terlibat dalam konflik asing? Pertanyaan ini penting karena keterlibatannya diketahui bukan dari saluran resmi, melainkan dari unggahan pribadi di media sosial," jelas Fahmi. 

Merujuk pada isi Pasal 23 huruf d Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sangat jelas menyatakan bahwa WNI yang masuk dinas tentara asing tanpa izin presiden dapat kehilangan kewarganegaraannya. "Pemerintah perlu mempertimbangkan pencabutan kewarganegaraannya," imbuh Fahmi. 

Pemerintah, lanjut Fahmi, perlu memperbaiki sistem pembinaan dan pengawasan terhadap prajurit purnawirawan dan individu yang keluar dari TNI karena desersi. Selain itu, penegakan hukum terhadap desersi juga tidak boleh berhenti pada tataran administrasi, tetapi harus berujung pada pidana.

"Termasuk koordinasi dengan Kemlu (Kementerian Luar Negeri) dan BIN (Badan Intelijen Negara) jika ada potensi keterlibatan individu dalam aktivitas militer asing dan konflik di luar negeri," kata Fahmi. 

Rusia sendiri tak pernah mempersoalkan keterlibatan prajurit asing di militer mereka dalam perang melawan Ukraina. Di berbagai medan tempur, Rusia menerjunkan ribuan tentara bayaran. Salah satu yang paling terkenal ialah kelompok Wagner yang didirikan Yevgeny Prigozhin, salah satu orang dekat Presiden Rusia, Vladimir Putin. 

Pengamat militer dari Universitas Jenderal Soedirman, Andi Ali Said Akbar menilai fenomena tentara desersi dan beralih profesi menjadi tentara bayaran tergolong baru di lingkungan TNI. Perlu ada penyelidikan khusus untuk mengungkap keterlibatan Satria di militer Rusia. 

"Mengapa ada TNI memutuskan bergabung dengan negara lain? Bahkan, langsung terlibat perang di garis depan. Faktor pemicunya pasti sesuatu yang serius sehingga berani memutuskan disersi," kata Andi kepada Alinea.id.

TNI, kata Andi, harus mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong mantan tentara nekat menjadi tentara bayaran. Ia meyakini penyebabnya tak tunggal, semisal karena kondisi psikologi prajurit yang terganggu, pembinaan kedisiplinan yang lemah, manajemen karier yang buruk dan kesejahteraan prajurit yang rendah.

"Faktor ekonomi karena iming-iming pendapatan lebih tinggi di tempat atau negara lain, faktor lingkungan pergaulan yang mendorong mencari karier, penghasilan. Hasil identifikasi obyektif ini harus menjadi masukan perumusan kebijakan pengelolaan SDM prajurit saat berkarier di TNI," jelas Andi.

Tak kalah penting, lanjut Andi, ialah deteksi dini. Ia mencontohkan situasi ketika seorang prajurit TNI tidak masuk empat sampai tujuh hari tanpa alasan yang jelas. Deteksi dini harus menyasar kondisi psikologis dan sosiologis. 

"Seperti kesulitan ekonomi, terlilit hutang, kejenuhan bekerja, karier yang lamban, perlakuan tidak adil, sanksi yang kurang tegas, lingkungan pergaulan dengan internal dan kelompok luar yang tidak sehat. Kondisi-kondisi ini bisa mendorong prajurit keluar dari doktrin militer dan memilih tidak setia dengan negara sendiri," kata Andi. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan