Sabtu malam nanti, Santiago Bernabéu akan menjadi saksi perpisahan yang tak pernah diinginkan siapa pun—terutama oleh mereka yang percaya pada keabadian seorang maestro. Luka Modrić, pemenang Ballon d'Or 2018 dan roh lini tengah Real Madrid selama lebih dari satu dekade, akan melangkah ke rumput Bernabéu untuk terakhir kalinya sebagai pemain Los Blancos.
Bukan sekadar pertandingan LaLiga melawan Real Sociedad, laga ini akan menjadi bab terakhir dari sebuah kisah sepak bola yang ditulis dengan tinta emas: 590 pertandingan, 28 trofi, enam Liga Champions—rekor yang hanya bisa dicapai oleh segelintir nama dalam sejarah klub termasyhur dunia ini.
"Waktunya telah tiba," tulis Modrić lewat akun Instagram pribadinya, membuka pengumuman perpisahan itu dengan kesederhanaan yang justru terasa menusuk.
Luka Modrić datang ke Madrid pada musim panas 2012 dari Tottenham Hotspur dengan segudang keraguan dan label transfer sebesar 30 juta euro. Butuh waktu bagi publik Bernabéu untuk mencintainya, dan bagi Modrić untuk membuktikan bahwa tubuh kecilnya menyimpan kekuatan besar dalam mengatur tempo permainan. Namun sejak itu, dia tak pernah menoleh ke belakang.
"Ketika saya datang ke sini, saya hanya punya mimpi mengenakan jersey tim terbaik di dunia. Tapi saya tak pernah membayangkan semua ini,” ujar Modrić dalam pernyataan resminya.
Selama 12 tahun membela panji Los Blancos, Modrić menjelma jadi jantung permainan. Bersama Toni Kroos dan Casemiro, ia membentuk trio lini tengah yang membawa Madrid ke era kejayaan baru. Dalam lima tahun terakhir, ia juga menjadi pilar regenerasi, mendampingi nama-nama muda seperti Fede Valverde, Eduardo Camavinga, hingga Jude Bellingham menemukan tempatnya.
Kini, di usia 39 tahun, Modrić memilih menutup kisahnya di Madrid dengan cara elegan: pergi setelah mengantar klub kembali ke puncak.
Dalam catatan statistik, Modrić meninggalkan warisan yang sulit ditandingi: 6 gelar Liga Champions, 4 gelar LaLiga, 5 Piala Dunia Antarklub, 5 Piala Super Eropa, dan sejumlah gelar domestik lain. Namun lebih dari trofi, ia meninggalkan jejak yang lebih halus dan abadi—sebuah karakter.
"Dia bukan hanya pemain hebat, tapi juga manusia luar biasa. Saya belajar banyak dari ketenangannya di ruang ganti," kata Carlo Ancelotti, pelatih yang akan turut mengucap selamat tinggal bersama sang gelandang.
Publik Bernabéu pun tak tinggal diam. Setelah pengumuman itu, ribuan pesan cinta dan terima kasih membanjiri lini masa. Tagar #GraciasModric menjadi trending di media sosial Spanyol dan Kroasia. Di luar stadion, mural kecil bertuliskan “Nuestro Maestro” muncul di dinding tak jauh dari Puerta 55.
“Saya pergi dengan hati yang penuh,” tulis Modrić, “penuh kebanggaan, rasa terima kasih, dan kenangan yang tak terlupakan.”
Ia akan tetap bermain hingga selesai Piala Dunia Antarklub bulan depan, sebelum resmi menggantung sepatu dan—mungkin—mencoba babak baru dalam hidupnya di luar lapangan. Banyak yang berspekulasi ia akan kembali ke Madrid dalam peran lain. Tapi untuk sekarang, tak ada yang ingin berpikir sejauh itu.
Yang ada hanya Sabtu malam nanti. Sebuah tepuk tangan panjang. Mata-mata berkaca-kaca. Dan seorang legenda yang berjalan perlahan menuju ruang ganti, menoleh sekali lagi ke tribun yang pernah mengguncang dunia—untuknya.
"Momen yang tidak pernah saya inginkan, tetapi itulah sepak bola, dan dalam hidup semuanya memiliki awal dan akhir... Pada hari Sabtu saya akan memainkan pertandingan terakhir saya di Santiago Bernabéu," ujar dia.
Luka Modrić telah menjadi bagian dari sejarah Real Madrid. Tapi lebih dari itu, ia adalah bagian dari jiwa Bernabéu. Dan untuk itu, tak akan pernah benar-benar ada selamat tinggal.
"Kita akan bertemu lagi. Real Madrid akan selalu menjadi rumahku. Seumur hidup," katanya.(onefootball)