Isu yang menyebut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menganggap guru sebagai beban negara telah diklarifikasi sebagai hoaks. Namun demikian, perdebatan tentang arah kebijakan pendidikan nasional kembali mencuat.
Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), John Eddy Junarsin menegaskan bahwa kompensasi guru tidak seharusnya dipandang sekadar biaya. Dari sisi akuntansi, kompensasi guru memang biaya bagi sekolah atau pemerintah, tetapi dari perspektif ekonomi, sosial, bahkan teknologi, itu adalah investasi.
Ia menilai pernyataan Sri Mulyani menggambarkan fakta bahwa pendidikan yang semakin berkualitas butuh dana besar. Alhasil institusi pendidikan diharapkan dapat memperoleh pendapatan tambahan selain anggaran pemerintah, misalnya melalui research, hilirisasi produk, dan lainnya.
“Pertanyaannya adalah bagaimana institusi pendidikan itu bisa melakukannya, terutama yang di daerah? Jadi, memang pendanaan dari pemerintah masih sangat dibutuhkan di sektor pendidikan,” ujarnya kepada Alinea.id, Senin (25/8).
Sri Mulyani menyinggung soal gaji guru saat berbicara dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 7 Agustus 2025. Ia menyebut membayar gaji guru dan pengajar ialah salah satu tantangan negara.
Di media sosial, pernyataan Sri Mulyani itu direkayasa seolah-olah Menkeu menyebut guru sebagai beban keuangan negara. Padahal, Sri Mulyani hanya mewacanakan kemungkinan masyarakat turut berpartisipasi membantu negara membayar gaji guru.
Eddy menilai anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan adalah kunci untuk menghasilkan bakat dan mendorong perkembangan teknologi yang pada akhirnya akan memajukan perekonomian. Jadi, tidak sepatutnya pendidikan tidak bisa hanya dilihat dari sisi bisnis saja.
“Dalam bisnis, itu seperti capital expenditures (capex) yang bersifat investasi. Keluar duit sekarang, manfaatnya akan dinikmati di masa mendatang,” ucapnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai pernyataan Sri Mulyani yang mempertanyakan apakah gaji guru sepenuhnya ditanggung negara menunjukkan ketidakpahaman pada kewajiban konstitusional.
“Gaji dan tunjangan guru itu amanat UUD 1945. Pertanyaan soal partisipasi masyarakat sama saja dengan melepaskan tanggung jawab negara,” ujar Ubaid kepada Alinea.id, belum lama ini.
Ubaid menyebut ada tiga masalah yang membuat guru kerap dipandang sebagai beban. Pertama, ketidakjelasan pemahaman pemerintah soal kewajiban konstitusional. Kedua, APBN yang terbebani bukan karena guru, melainkan karena alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran. Ketiga, maraknya praktik korupsi pejabat yang justru menyedot uang negara.
“Faktanya, guru madrasah masih ada yang harus menunggu antrean lebih dari 50 tahun untuk sertifikasi dan tunjangan profesi. Ironis sekali di tengah klaim pemerintah soal perhatian terhadap pendidikan,” ujar Ubaid.
Sorotan JPPI juga mengarah pada program makan bergizi gratis (MBG). Dalam RAPBN 2026, pemerintah menganggarkan Rp335 triliun untuk MBG, dengan Rp223,6 triliun di antaranya bersumber langsung dari pos pendidikan.
“Itu artinya 67% dana MBG masih mengandalkan anggaran pendidikan. Jelas ini akan merusak peta jalan pendidikan nasional,” kata Ubaid.
JPPI menilai ada tiga alasan utama kenapa MBG tidak boleh ditanggung anggaran pendidikan. Pertama, anggaran pendidikan sudah minim untuk kebutuhan dasar seperti wajib belajar, kesejahteraan guru, hingga sarana sekolah.
Kedua, MBG seharusnya masuk ke fungsi kesehatan atau perlindungan sosial, bukan pendidikan. Ketiga, beban MBG akan otomatis mengurangi kualitas dan akses pendidikan.
“Kalau anggaran pendidikan terus dibebani MBG, bagaimana nasib jutaan anak yang masih putus sekolah? Bagaimana mutu guru bisa ditingkatkan dan bagaimana kesenjangan antarwilayah bisa dipersempit?” tutur Ubaid.