close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Konferensi pers kasus penipuan modus deepfake Presiden Prabowo Subianto di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2025)./Foto tangkapan layar tribratanews.metro.polri.go.id
icon caption
Konferensi pers kasus penipuan modus deepfake Presiden Prabowo Subianto di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2025)./Foto tangkapan layar tribratanews.metro.polri.go.id
Peristiwa - Kriminal
Senin, 27 Januari 2025 06:03

Penegakan hukum penipuan modus deepfake

Dittipidsiber Polri mengungkap penipuan deepfake Presiden Prabowo Subianto.
swipe

Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Polri menangkap seorang wiraswasta di Lampung berinisial AMA, 29 tahun, pada Kamis (16/1). AMA harus berurusan dengan hukum karena melakukan penipuan dengan cara mengunggah dan menyebarluaskan video yang menggunakan teknologi deepfake, memanfaatkan foto dan suara pejabat negara, seperti Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Video itu dibuat seakan-akan menyampaikan pernyataan kalau pemerintah menawarkan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan. Di dalam video, tercantum nomor WhatsApp, dengan harapan warga menghubungi pelaku.

Pelaku lalu mengarahkan korban untuk mengisi pendaftaran penerima bantuan. Kemudian, korban diminta mentransfer sejumlah uang dengan alasan biaya administrasi. Korban yang sudah membayar biaya administrasi, dijanjikan lagi pencairan dana, sehingga percaya untuk kembali mentransfer uang. Dana bantuan itu pun tak pernah ada.

Penipuan ini dilakukan sejak 2020, dengan konten-konten berupa video deepfake pejabat dan publik figur ternama. Polisi sudah mengidentifikasi 11 orang yang menjadi korban, berasal dari berbagai wilayah, di antaranya Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Total keuntungan yang diterima tersangka sekitar Rp30 juta selama empat bulan terakhir.

Polisi menjelaskan, kejahatan ini dilakukan sindikat. AMA dibantu seseorang dengan inisial FA, yang berperan menyiapkan atau mengedit video deepfake.

Deepfake sendiri adalah teknologi berbasis artificial intelligence (AI) yang dimanfaatkan untuk membuat video, foto, atau audio palsu, agar terlihat atau terdengar sangat mirip.

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi menilai, kejahatan penipuan berbasis teknologi beragam. Pelakunya tidak hanya melakukan penipuan, tetapi juga disinformasi, yang melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

“Tentu (juga melanggar) UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Josias kepada Alinea.id, Sabtu (25/1).

Untuk mengatasinya, Josias mengatakan, penegak hukum perlu rutin patroli siber. “Meski awalnya bermaksud iseng, (tetapi) laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan agar segera direspons untuk mekanisme penegakan hukumnya,” ujar Josias.

Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya menyebut, sebenarnya yang dilakukan tersangka adalah modus lama, seperti orang yang memalsukan foto atau video aktor Baim Wong atau Raffi Ahmad guna menjerat korbannya mengirimkan uang, dengan iming-iming mendapatkan hadian dari pesohor.

“Namun kali ini yang dipalsukan adalah Presiden Prabowo,” kata Alfons, Sabtu (25/1).

“Satu hal yang menjadi keprihatinan kita adalah kalau kasusnya memalsukan Presiden Prabowo, sangat cepat bisa diungkap dan ditankap penipunya. Sedangkan kasus Baim Wong dan Raffi Ahmad, tidak terdengar ada yang berhasil ditangkap.”

Padahal, kata dia, metodenya sama, yakni memalsukan video, gambar, atau audio pesohor. Secara teknis, menurut Alfons, tidak sulit menangkap pelakunya. Apalagi bila ada nomor teleponnya.

“Polisi tinggal minta ke provider lokasi penipu dan membentuk tim mengidentifikasi serta menangkap pelaku,” kata dia.

Alfons mengatakan, bahaya penipuan dengan deepfake sering kali diabaikan penegak hukum. Modus penipuan menggunakan teknologi ini acap kali baru ditangani, jika kasusnya viral atau menyangkut pejabat penting. Sementara kalau kasusnya hanya berkutat pada masyarakat, penanganannya lamban.

“Padahal komplotan pelakunya ya itu itu saja. Kasihan orang kecil yang menjadi korban dan mengirimkan uang yang mereka cari dengan susah payah,” ucap Alfons.

Maka dari itu, Alfons menyarankan wewenang penindakan kejahatan siber diserahkan kepada lembaga lain. Tujuannya, agar lebih tanggap dan masyarakat tidak menjadi korban.

Menurut Alfonas, ada kewenangan kepolisian yang tidak dimiliki lembaga lain, yakni meminta data pengguna ponsel dari provider, serta data internet protocol (IP) pengguna internet dari internet service provider (ISP). Karenanya, lembaga lain yang bisa meminta data pengguna ponsel atau internet, perlu diberikan kewenangan untuk menindak pelaku penipuan dengan deepfake.

“Tolong dipikirkan hal ini, supaya tidak berlarut-larut. Korban penipuan menggunakan WahstApp, nomor telepon, dan IP internet sudah banyak dan bertumpuk-tumpuk tidak ditangani,” kata Alfons.

“Kasihan masyarakat kecil yang menjadi korbannya.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan