Jika di Indonesia, para aktivis lingkungan dan masyarakat resah dengan penggusuran hutan menjadi lahan pertambangan, di Selandia Baru upaya pemilik modal untuk menanam pohon justru membuat sebagian masyarakatnya sesak nafas. Para peternak di sana merasa terancam padang rumput yang selama ini diandalkan untuk pakan domba-domba mereka, berubah menjadi hutan pinus.
Situasi ini terjadi karena pemerintah Selandia Baru mendorong penanaman pinus sebagai cara menyerap emisi karbon. Mereka memberi subsidi untuk perluasan hutan sebagai bagian dari upaya melawan perubahan iklim. Namun, akibatnya, lahan-lahan pertanian yang subur berubah menjadi hutan monokultur yang sepi dan lembap.
Masalahnya jadi semakin pelik ketika diketahui bahwa sebagian perluasan hutan ini terus berjalan, meski pemerintah sudah menerapkan moratorium (penghentian sementara) sejak Desember lalu untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian yang tidak direncanakan.
Namun para peternak mengklaim, moratorium itu seperti tak digubris. Perusahaan-perusahaan kehutanan disebut tetap membeli dan menanami lahan dengan pinus. “Mereka seperti menertawakan keputusan pemerintah,” kata Dean Rabbidge, seorang peternak di Southland. “Ini sudah seperti demam emas. Sangat keterlaluan.”
Karena frustrasi, bulan lalu para petani meluncurkan kampanye "Save Our Sheep" alias “Selamatkan Domba Kami” sebagai bentuk perlawanan. Mereka berharap bisa menghentikan laju konversi lahan yang menurut mereka sudah keterlaluan.
Dari 70 juta jadi 23 juta domba
Data resmi menunjukkan bahwa populasi domba di Selandia Baru telah anjlok drastis. Jika di era 1980-an jumlahnya mencapai 70 juta ekor, kini hanya tersisa sekitar 23 juta. Awalnya, penurunan ini disebabkan oleh harga wol yang menurun dan naiknya keuntungan dari peternakan sapi serta susu. Namun sejak 2008, sistem perdagangan emisi karbon ikut memperparah situasi.
Federated Farmers, kelompok yang mewakili petani pedesaan, bahkan telah memberikan daftar lahan yang dicurigai dijual untuk kehutanan karbon meski seharusnya dilarang.
“Sekarang cuma ada terowongan pinus”
Rabbidge menggambarkan bagaimana pemandangan khas pedesaan kini berubah total. “Dulu kamu lihat padang rumput hijau luas dan domba-domba merumput. Sekarang? Hanya terowongan panjang penuh pohon pinus, gelap dan basah.”
Bukan cuma soal estetika. Konversi lahan ini berdampak besar pada ekonomi lokal. Di distrik Ohakune, misalnya, sejak 2018, ada 17 peternakan yang berubah jadi lahan hutan, menghilangkan sekitar 180 ribu domba dari wilayah itu.
“Kalau pertanian berkembang, kota juga ikut hidup. Sekarang toko tutup, pemasok pertanian merugi, sekolah kehilangan murid, komunitas tercerai-berai,” kata Ben Fraser, peternak lainnya.
Pemerintah menyadari masalah ini dan berjanji akan mengubah undang-undang pada Oktober mendatang agar lebih tegas. Menteri Pertanian dan Kehutanan, Todd McClay, mengatakan bahwa tanah yang dibeli setelah 4 Desember 2024 tidak bisa didaftarkan dalam skema perdagangan emisi, apa pun alasannya.
Namun para petani meminta lebih dari sekadar janji. Mereka ingin tindakan nyata dan penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar.
Domba bukan sekadar hewan ternak
Bagi peternak seperti Rabbidge dan Fraser, domba bukan hanya sumber penghasilan—mereka adalah bagian dari budaya dan cara hidup pedesaan Selandia Baru.
“Kami bukan anti-pohon,” tegas Fraser. “Ada lahan yang memang cocok untuk hutan. Tapi jangan semuanya diubah. Ini soal keseimbangan.”
“Bayangkan semua pencukur bulu domba, kontraktor, pengangkut, toko perlengkapan pertanian, para pekerja, pusat komunitas, sekolah, klub rugby. Semuanya terdampak oleh ini,” ujarnya.
Data pemerintah dari tahun 2023 menunjukkan bahwa pertanian menyumbang lebih dari separuh total emisi gas rumah kaca Selandia Baru.
Namun, para petani berpendapat bahwa mereka telah bekerja keras untuk mengurangi emisi, turun lebih dari 30 persen sejak tahun 1990-an.
“Saya bisa menyajikan kaki domba di atas piring di London dengan profil emisi yang lebih rendah, termasuk transportasi, daripada seorang petani Inggris,” kata Rabbidge.
“Kami hanya menggunakan sumber daya alam kami. Kami tidak memelihara hewan di dalam ruangan dan mengangkut pakan masuk dan pupuk kandang keluar.
“Semuanya dilakukan di luar ruangan dan dilakukan dengan biaya rendah, intensitas rendah, dan sedang.” (AFP)