close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Kejaksaan Agung. /Foto Antara
icon caption
Gedung Kejaksaan Agung. /Foto Antara
Peristiwa
Kamis, 15 Mei 2025 12:32

Saat kejaksaan berlindung di bawah payung TNI

Pelibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri kian menegaskan militerisme di ranah sipil.
swipe

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) menginstruksikan penerjunan prajurit TNI untuk mengamankan kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi di seluruh Indonesia. Instruksi itu tertuang dalam surat telegram (ST) Panglima TNI dan KASAD yang terbit pada awal Mei 2025.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana berdalih penerjunan prajurit untuk menjaga kejaksaan sejalan dengan lahirnya struktur Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) di Kejaksaan Agung sebagaimana mandat UU TNI yang baru. Ia mengklaim pengamanan kejaksaan sudah jadi tugas rutin TNI.

"Surat telegram tersebut tidak dikeluarkan dalam situasi yang bersifat khusus, melainkan merupakan bagian dari kerja sama pengamanan yang bersifat rutin dan preventif, sebagaimana yang juga telah berjalan sebelumnya,” jelas Wahyu dalam keterangan pers kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/5).

Nantinya, prajurit TNI yang bertugas mengamankan kejaksaan dibagi dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan 2-3 orang. Jumlah personel akan diatur sesuai kebutuhan kejaksaan. "Yang dilaksanakan ke depan adalah kerja sama pengamanan institusi," imbuh Wahyu.

Serupa, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan penempatan prajurit TNI untuk mengamankan kejari dan kejati sudah berjalan sejak enam bulan lalu. Ia berdalih pengamanan dilakukan karena institusinya termasuk objek vital strategis negara.

"Kejaksaan ini kan merupakan objek vitalnya negara yang sangat strategis,” kata Harli kepada wartawan di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (14/5). 

Pengamat militer dari Universitas Jenderal Soedirman, Andi Ali Said Akbar menilai penerjunan personel TNI dalam mengamankan kejaksaan kian mengindikasikan keterlibatan TNI yang semakin luas di ranah sipil. Saat ini, TNI juga ditugaskan "mendidik" karakter pelajar nakal di barak-barak militer di Jawa Barat. 

Selain itu, TNI juga mulai ikut-ikutan mengerjakan tugas kepolisian. Salah satu contohnya ialah penggerebekan sarang narkoba yang digelar personel TNI di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), belum lama ini. "Selain itu, pengamanan kejaksaan oleh TNI," kata Andi kepada Alinea.id, Rabu (14/5). 

Menurut Andi, keterlibatan TNI dalam mengamankan kejati dan kejari terkesan janggal. Pasalnya, Kejaksaan Agung sudah memiliki personel pengamanan internal dan dapat meminta bantuan kepolisan untuk menjaga gedung-gedung milik kejaksaan. 

Andi menduga pelibatan TNI dalam "melindungi" kejaksaan ada kaitannya  kasus-kasus besar yang sedang diusut oleh Kejaksaan Agung. "Kita juga masih ingat ada upaya mmemata-matai dan mengintimidasi pejabat kejaksaan dari oknum pihak kepolisian yang akhirnya digagalkan oleh pengamanan dari anggota TNI," kata dia. 

Pada Mei 2024, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengaku dikuntit anggota polisi dari Densus 88. Personel Densus 88 itu ditangkap dan diserahkan ke Mabes Polri. Sehari setelahnya, rombongan mobil dan motor Brimob Polri mengelilingi Gedung Kejagung.

Hingga kini, tak jelas apa motif penguntitan Febrie dan aksi "intimidasi" yang dilancarkan personel Brimob di Kejagung kala itu. Namun, Kejagung dan Polri sudah menyatakan tak ada persoalan khusus antara kedua institusi tersebut. 

TNI, kata Andi, semestinya menjelaskan secara rinci kenapa pengamanan di kejaksaan terkesan diperkuat. Pasalnya, bukan tidak mungkin justru kejaksaan sedang menggarap kasus yang melibatkan pejabat di lingkungan TNI.

"Sehingga publik tidak berspekulasi bahwa ini adalah bentuk-bentuk baru perluasan peran TNI yang mengarah pada intervensi supremasi sipil dan intervensi lembaga hukum negara. Kita harus turut mengawasi agar pengerahan TNI ini tidak menganggu apalagi mengintervensi proses hukum," kata Andi. 

Dalam sebuah siaran pers kepada Alinea.id, Rabu (14/5) lalu, Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi meminta Panglima TNI membatalkan surat telegram (ST) bernomor TR/422/ 2025. Menurut dia, ST itu melabrak banyak regulasi. 

"ST Panglima dan KASAD tersebut bertentangan dengan konstitusi negara dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, terutama UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Panglima TNI dan KASAD hendaknya segera menarik dan membatalkan ST tersebut," kata Hendardi.

Menurut Hendardi, tidak ada kondisi mendesak yang mengharuskan pengamanan institusi sipil penegakan hukum oleh TNI. Pengamanan ketat kejaksaan oleh TNI justru malah memunculkan beragam spekulasi liar terkait motif tindakan tersebut. 

Dukungan pengamanan kepada kejaksaan dari TNI, kata Hendardi, semakin menegaskan penguatan militerisme di ranah sipil. Ironisnya, situasi itu didorong oleh kejaksaan sendiri yang notabene institusi sipil. 

"Pada saat yang sama, hal itu sangat potensial melemahkan supremasi hukum. Padahal, menurut hukum positif Indonesia, TNI hanya memiliki yurisdiksi penegakan hukum di lingkungan TNI saja Itu pun dengan tata perundang-undangan peradilan militer yang mesti diperbarui," kata Hendardi.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan