Salman Rusdhie yang tidak mau dihantui trauma
Di pagi yang tenang di Chautauqua Institution, New York, 12 Agustus 2022, Salman Rushdie baru saja duduk di atas panggung, bersiap memberikan kuliah tentang pentingnya melindungi para penulis yang diasingkan.
Tak ada yang menyangka bahwa momen damai itu akan berubah menjadi kekacauan hanya dalam hitungan detik. Seorang pria muda, Hadi Matar, menyeruak ke atas panggung dan tanpa ragu menikam Rushdie berulang kali—leher, wajah, lengan, dan perut menjadi sasaran. Darah mengalir deras di hadapan penonton yang panik.
Penulis Midnight's Children dan Satanic Verses itu mengalami cedera yang mengubah hidupnya setelah insiden itu - ia kini buta sebelah mata, mengalami kerusakan pada hatinya, dan lumpuh sebelah tangan akibat kerusakan saraf di lengannya.
Hadi Matar sendri langsung diringkus setelah menyerang Salam Rusdhie. Pria 27 tahun itu dijatuhi hukuman 25 tahun, bulan lalu.
Salman baru-baru ini mengatakan kepada program Today di Radio 4 bahwa ia "senang" bahwa orang yang mencoba membunuhnya telah menerima hukuman penjara semaksimal mungkin.
Melupakan
Serangan itu terjadi 35 tahun setelah novel kontroversial Salman The Satanic Verses, yang telah lama membuatnya menjadi sasaran ancaman pembunuhan karena penggambarannya tentang Nabi Muhammad.
Salman Rusdhie sendiri tidak mau memelihara trauma atas serangan itu. Dua tahun berselang, ia berdiri kembali di titik di mana ia pernah hampir kehilangan nyawanya—Chautauqua. Tetapi ia hadir di sana bukan untuk berbicara, melainkan untuk berdamai dengan ingatan.
“Itu momen penting bagi saya. Saya ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa saya bisa berdiri di tempat saya dulu jatuh,” kata Salman Rusdhie bercerita di atas panggung Hay Festival 2025 di Wales, Minggu (1/6/2025).
Jika ada penulis saat ini yang selalu terancam nyawanya, Salman Rusdhie jelas nama yang paling depan dalam daftar itu.
Serangan Matar pada 2022 bukan yang pertama—hanya yang paling fisik. Sejak menerbitkan The Satanic Verses pada 1988, Rushdie telah menjadi buronan fatwa. Ayatollah Khomeini, pemimpin tertinggi Iran kala itu, mengeluarkan perintah eksekusi terhadap Rushdie atas tuduhan penghinaan terhadap Islam. Sejak itu, ia hidup dalam persembunyian selama bertahun-tahun, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan identitas samaran: Joseph Anton.
Buku-bukunya dilarang di banyak negara. Penerbitnya di Jepang ditikam hingga tewas. Penerjemahnya di Italia nyaris dibunuh. Tapi Rushdie tak pernah berhenti menulis.
Di Hay Festival, dia mengaku senang karena bisa membicarakan dunia penulisan, ketimbang drama percobaan pemunuhannya pada 2022 lalu itu.
"Akan menyenangkan untuk berbicara tentang fiksi lagi karena sejak serangan itu, satu-satunya hal yang ingin dibicarakan orang adalah serangan itu, tetapi saya sudah melupakannya," kata Salman di pangggung Hay Festival.
Hay Festival adalah festival sastra dan seni internasional yang diselenggarakan di Hay-on-Wye, Wales, dan juga di berbagai lokasi di seluruh dunia. Festival ini dikenal sebagai platform untuk menghadirkan beragam suara, mempertemukan para penulis, pembicara, dan pemikir, serta mendorong dialog dan pertukaran ide.
Tahun lalu, Salman menerbitkan buku berjudul Knife: Meditations After an Attempted Murder yang menggambarkan peristiwa percobaan pembunuhan terhadapnya pada 2022 itu. Buku itu ia gambarkan sebagai caranya melawan.
Sejumlah kritikus menyebut Knife sebagai memoar paling jujur dan berani dalam karier Rushdie, sementara yang lain menyayangkan kecenderungan naratifnya yang dinilai kadang terlalu teatrikal.
Keamanan yang ketat
Meski Salman Rusdhie, percaya diri untuk tampil lagi di panggung sebagai pembicara, petugas keamanan di Hay Festival memperketat pengamanan saat acara Salman. Petugas mengerahkan anjing pelacak. Pengunjung juga harus diawasi ketat. Tas mereka diperiksa dengan teliti, sehingga menyebabkan penundaan selama 15 menit.
Saat muncul di panggung, Salman melambaikan tangan ke arah penonton dan memberi isyarat kepada mereka untuk berhenti bertepuk tangan. "Saya tidak bisa melihat semua orang - tetapi saya bisa mendengar mereka," guraunya santai.
Ia mengatakan bahwa ia merasa sangat baik meskipun ada beberapa bagian dari dirinya yang membuatnya kesal, seperti tidak memiliki mata kanan.
"Namun secara keseluruhan, saya sangat beruntung dan saya dalam kondisi yang lebih baik daripada yang mungkin saya duga," kata dia.
Pada bulan November, penulis itu akan menerbitkan kumpulan cerita pendek, The Eleventh Hour, karya fiksi pertamanya yang ditulis sejak penusukan itu.
Salman Rusdhie meyakini kebebasan berbicara yang tanpa batas. Pandangan itu pun kembali ia sampaikan di panggung Hay Festival.
"Kebebasan berbicara berarti menoleransi orang-orang yang mengatakan hal-hal yang tidak Anda sukai. Saya pikir kita hidup di masa ketika orang-orang terlalu bersemangat untuk melarang ujaran yang tidak mereka setujui. Itu jalan yang sangat licin," ujarnya.
Pandangan Salman Rusdhie ini yang membuatnya enteng untuk membuat buku-buku yang menghina Islam, sehingga menimbulkan kemarahan Muslim di seluruh dunia.
Namun, soal itu, sebenarnya kritik terhadap Salman Rushdie juga datang dari sejumlah penulis Barat.
Pada tahun 1989, di tengah kontroversi The Satanic Verses, penulis Prancis, John le Carré menyatakan bahwa "tidak ada hukum dalam kehidupan atau alam yang mengatakan agama-agama besar boleh dihina tanpa impunitas."
Ia menekankan bahwa toleransi tidak datang secara bersamaan dan dalam bentuk yang sama untuk semua agama dan budaya, serta bahwa masyarakat Kristen pun, hingga baru-baru ini, mendefinisikan batas-batas kebebasan berdasarkan apa yang dianggap suci.
Roald Dahl, penulis Inggris, juga melontarkan kritik terhadap Rushdie dengan menyebutnya sebagai "opportunis berbahaya."
Dalam surat kepada The Times London, Dahl menulis bahwa Rushdie pasti sepenuhnya menyadari perasaan mendalam dan kekerasan yang akan ditimbulkan bukunya di kalangan Muslim yang taat. Dengan kata lain, dia tahu persis apa yang dia lakukan dan tidak bisa mengaku sebaliknya.
Dahl juga menambahkan bahwa jenis sensasionalisme ini memang membuat buku yang biasa-biasa saja menjadi bestseller, tetapi menurutnya itu adalah cara yang murahan.(bbc, the times london,telegraph)


