Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi mengeluarkan keputusan untuk menambah jumlah siswa dalam satu kelas di sekolah, dari 36 menjadi 50 pelajar. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah.
Dedi berdalih kebijakan itu hanya sementara. Saat Pemprov Jabar sudah menambah jumlah kelas atau sekolah, "kelebihan" jumlah siswa bakal berangsur-angsur dikurangi.
"Maksimal dalam aturan tersebut berarti jumlah siswa di kelas bisa bervariasi, seperti 25, 30, 35 atau jumlah lain yang kurang dari 50," kata Dedi di akun Instagram pribadinya, @dedimulyadi71.
Kebijakan itu, kata Dedi diterapkan untuk mengakomodasi siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah namun terpaksa ditolak karena keterbatasan kuota. Menurut Dedi, salah satu alasan utama mengapa siswa putus sekolah yaitu biaya transportasi yang mahal.
"Bisa saja, dia bisa membayar tiap bulan karena tidak begitu mahal, misal bayaran bulanannya Rp200.000 atau Rp300.000, tetapi dia berat di ongkos menuju sekolahnya,” ucap politikus Partai Gerindra tersebut.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai wajar jika publik khawatir dengan kebijakan penambahan kuota siswa di SD negeri ala Dedi. Menurut Ubaid, penambahan siswa terkait erat dengan integritas dan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Ubaid berkata penambahan jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) harus punya patokan jelas, disesuaikan dengan kapasitas ruang kelas, jumlah guru dan fasilitas pendukung lainnya agar tidak menyulitkan pembelajaran.
"Ada kecurigaan yang cukup mengganggu di balik kebijakan ini, yaitu indikasi kursi titipan dan praktik jual beli kursi. Anggapan bahwa penambahan kuota ini semata-mata untuk mengakomodasi siswa yang dititipkan atau bahkan menjadi modus untuk praktik transaksional adalah tuduhan serius yang tidak bisa diabaikan," kata Ubaid kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Dia menilai pendidikan seharusnya menjadi hak setiap anak berdasarkan meritokrasi, bukan alat untuk memfasilitasi kepentingan pribadi atau praktik korupsi. Dia melihat penambahan kuota rombel ini hanya menjadi solusi tambal sulang tanpa melihat gambaran besar.
"Jika dugaan ini (titipan) benar, maka ini jelas-jelas merusak keadilan dan transparansi dalam sistem penerimaan siswa. Seharusnya, pemerintah daerah memikirkan berapa sebenarnya total anak yang memerlukan daya tampung, bukan hanya sebagian saja," kata Ubaid.
Ubaid menilai jika Dedi berniat ingin memberi akses lebih luas terhadap pendidikan seharusnya Dedi menyiapkan terlebih dahulu pembangunan sekolah. Jika dianggap terlalu lama, Dedi bisa menjalankan skema inovatif, semisal menerapkan kerja sama dengan sekolah swasta.
"Pemerintah bisa mempercepat penyediaan fasilitas pendidikan, memastikan lebih banyak anak tertampung, dan pada akhirnya benar-benar memutus rantai anak putus sekolah," kata Ubaid.
Pengamat kebijakan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai kebijakan kuota 50 pelajar dalam satu rombel yang diterapkan Dedi sesungguhnya bisa berjalan positif. Namun, kebijakan kuota 50 pelajar dalam satu kelas tidak bisa diberlakukan secara merata.
"Namun, bisa dilakukan secara spesifik atau lokal terlebih dahulu dengan menimbang lokasi, semisal di tempat itu tidak ada sekolah swasta atau sekolah swasta jauh, boleh saja sekolah negeri menampung siswa jauh lebih banyak," kata Cecep kepada Alinea.id.
Cecep berpendapat sekolah negeri juga bisa digunakan untuk menampung siswa yang sekolahnya terdampak bencana. Akan tetapi, Cecep menilai jumlah 50 siswa terlampau banyak. "Cukup 40 sampai 45 siswa saja," imbuh dia.
Dia menilai sekolah swasta juga bisa diajak bekerja sama untuk mengakomodasi siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri. Salah satunya dengan menggelontorkan subsidi siswa bersekolah di swasta. "Pemerintah memberi biaya, anak itu bisa sekolah di sekolah swasta," kata Cecep.