close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Rombongan pengungsi kembali ke Jalur Gaza dengan berjalan kaki usai Israel-Hamas menyepakati gencatan senjata, awal Februari 2025. /Foto Instagram @unitednations
icon caption
Rombongan pengungsi kembali ke Jalur Gaza dengan berjalan kaki usai Israel-Hamas menyepakati gencatan senjata, awal Februari 2025. /Foto Instagram @unitednations
Peristiwa
Senin, 10 Februari 2025 14:41

Seberapa berbahaya rencana akuisisi Gaza oleh Trump?

Warga negara AS bisa jadi korban aksi terorisme gara-gara wacana Trump mengambil alih Gaza.
swipe

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald kembali memicu kontroversi. Setelah mengumumkan niat AS mengakuisisi Terusan Panama dan Greenland, Trump mewacanakan pengambilalihan Jalur Gaza dari tangan Israel dan otoritas pemerintahan Palestina. 

"Amerika Serikat akan mengambil alih Gaza dan kita akan merestorasinya juga," kata Trump dalam jumpa pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Selasa (4/2). Sang perdana menteri hanya menyebut gagasan Trump "cukup berharga untuk dipertimbangkan." 

Di media sosial, Trump menegaskan Jalur Gaza akan diserahkan kepada AS setelah perdamaian antara Israel dan Hamas tercapai. Ia membenarkan pengambilalihan Gaza berarti relokasi warga Palestina yang tinggal di wilayah tersebut. Ia juga mengklaim prajurit AS tak perlu diterjunkan ke Jalur Gaza.

"Saat diserahkan, warga Gaza sudah akan rampung direlokasi ke area yang lebih aman, dengan komunitas yang baik dan rumah-rumah yang modern dan baru di kawasan itu," ujar Trump. 

Menurut laporan New York Times, Trump telah memikirkan pengambilalihan Gaza selama berpekan-pekan bersama sejumlah orang kepercayaannya. Gagasan untuk mengakuisisi Gaza menguat setelah utusan Trump di Timur Tengah, Steve Witkoff, pulang dari lawatan ke Gaza, pekan lalu. Seperti Trump, Witkoff ialah pengusaha real estate. 

Namun, gagasan itu ternyata sama sekali tak matang. Pemerintahan Trump hingga kini belum tahu berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun kembali Gaza, jumlah prajurit yang harus disiagakan di Gaza, dan bagaimana nasib warga Gaza yang direlokasi. 

Pernyataan Trump itu soal relokasi dan pengambilalihan Gaza buru-buru direvisi para pembantu Trump. Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt mengatakan relokasi warga Gaza hanya sementara dan AS tak berniat untuk menguasai Gaza dalam jangka panjang. 

Tampil di acara CBS Morning belum lama ini, penasihat Trump, Mike Waltz membenarkan belum ada solusi konkret dalam rencana pengambilalihan Gaza. Namun, ia menyebut gagasan Trump sebagai sebuah solusi yang baru dan segar. 

"Saya pikir itu akan mendorong seluruh kawasan muncul dengan solusi-solusi mereka sendiri jika mereka tak suka dengan solusi yang ditawarkan Trump," kata Waltz.

Mantan dubes AS untuk Israel, David Friedman, menyebut gagasan Trump brilian. Ia meyakini kehadiran AS di Jalur Gaza bisa mengubah peta konflik antara Israel dan Palestina. AS, kata dia, potensial diterima kedua kubu yang berkonflik. 

"Selama ini, kita tidak pernah bisa menjawab pertanyaan paling mendasar, tidak adakah yang bisa memerintah Gaza, tetapi tidak akan jadi ancaman bagi warga di Gaza dan juga Israel," ujar Friedman. 

Dalam skala kecil, kehadiran AS di Gaza sebenarnya sudah terasa. Saat ini, sebuah firma keamanan di AS telah mempekerjakan setidaknya 100 mantan pasukan khusus untuk menjaga salah satu pos jaga penting di selatan Gaza. 

Personel keamanan Mesir juga terlihat diterjunkan di sejumlah pos jaga di Gaza. Ini mengindikasikan kemungkinan kehadiran pasukan internasional yang dipimpin AS untuk mengawal rekonstruksi Gaza pascaperang. 

Gaza saat ini dalam kondisi tak mungkin dihuni. Pertempuran selama lima belas bulan antara Israel dan Hamas membuat hampir semua rumah di Gaza rata dengan tanah. UN Environment Programme (UNEP) memperkirakan dibutuhkan 21 tahun untuk membersihkan semua puing dari jalur permukiman sepanjang 41 kilometer itu. 

Meski demikian, warga Gaza mulai berbondong-bondong pulang. Mereka memilih kembali ke rumah-rumah yang sudah jadi puing-puing ketimbang bertahan di pengungsian. Mereka juga menolak direlokasi ke Mesir atau Yordania sebagaimana disarankan Trump. 

Rusak perdamaian 

Daniel B. Shapiro, mantan Dubes AS di Israel pada era Presiden Barack Obama, mengatakan gagasan Trump berbahaya. Terlebih, gagasan Trump sudah dipersepsikan sebagai deportasi massal warga Palestina oleh sejumlah pejabat di pemerintahan Israel. 

"Ini bukan proposal serius. Pengambialihan Gaza, dalam hitung-hitungan dolar dan kebutuhan prajurit, itu setara dengan langkah Meksiko membangun pagar pembatas atau AS merampas minyak Irak," kata Shapiro. 

Wacana kontroversial Trump, menurut Shapiro, juga potensial merusak proses gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Ia khawatir gagasan Trump dipersepsikan serius oleh kelompok garis keras di kedua kubu yang tak ingin melepas Gaza. 

"Ini bisa mengganggu proses tukar tawanan selanjutnya, menjadikan personel AS jadi target serangan, dan menggerus prospek kesepakatan normalisasi hubungan Israel dan Arab Saudi," kata Shapiro. 

Dalam sebuah komentar di Foreign Policy, Robert A. Pape, pakar ilmu politik dari University of Chicago, sepakat gagasan mengakuisisi Gaza yang dilontarkan Trump berbahaya. Bukan tidak mungkin warga negara AS kembali jadi target utama serangan teroris, tidak hanya di dalam negeri, tetapi di berbagai belahan dunia. 

Berbasis riset, menurut Pape, penguasaan teritori oleh pasukan militer asing merupakan penyebab utama maraknya serangan-serangan teroris terburuk--semisal bom bunuh diri--dan memicu kelahiran kelompok-kelompok teroris baru. 

"Mengusulkan pengambilalihan Gaza bakal memberikan bahan bakar yang kuat bagi narasi kelompok Islam yang menanggap AS sebagai ancaman utama terhadap mereka. Warga negara AS biasa akan jadi korban utama," kata Pape.

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan