close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Photo by Ahmed Abu Hameeda on Unsplash
icon caption
Photo by Ahmed Abu Hameeda on Unsplash
Peristiwa
Senin, 22 September 2025 11:07

Setelah Inggris dan "dunia" mengakui eksistensi Palestina...

Inggris, Australia, dan Kanada bergabung dengan lebih dari 150 negara yang mengakui Palestina. Namun syarat-syarat Montevideo dan fragmentasi politik membuat jalan menuju negara Palestina berdaulat tetap penuh hambatan.
swipe

Gelombang dukungan terhadap Palestina menguat. Setelah Belgia dan sejumlah negara Eropa lainnya, kini giliran Inggris, Australia, dan Kanada yang menyatakan pengakuan terhadap eksistensi negara Palestina. Setidaknya sudah ada 150 negara di dunia yang mengakui Palestina sebagai bangsa dan negara. 

Pengakuan Inggris terhadap eksistensi Palestina diungkap Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dalam sebuah video yang diunggah di media sosial. Ia berdalih pengakuan terhadap Palestina merupakan respons terhadap horor perang di Timur Tengah. 

"Kami bertindak untuk menjaga asa perdamaian dan solusi dua negara. Ini berarti sebuah negara Israel yang aman dan tenang berdampingan dengan negara Palestina. Saat ini, keduanya tidak ada," kata Starmer di video itu. 

Berbeda dengan pengakuan negara-negara lain sebelumnya, kehadiran Inggris, Australia, dan Kanada di barisan pendukung berdirinya negara Palestina terbilang penting. Bersama Amerika Serikat (AS), ketiga negara itu kerap dianggap "sekutu abadi" Israel. 

"Palestina tak pernah sekuat ini di seluruh dunia seperti sekarang. Dunia bergerak untuk Palestina," kata mantan pejabat Palestina Xavier Abu Eid, seperti dikutip dari BBC, Senin (22/9). 

Pengakuan dari Inggris terutama krusial lantaran negara itu pernah memegang mandat untuk mengelola Palestina jauh sebelum Israel lahir. Setelah Perang Dunia I berakhir, Liga Bangsa-Bangsa (kini PBB) mendaulat Inggris untuk mengurus tanah Palestina. 

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam keputusan Inggris, Kanada, dan Australia yang secara resmi mengakui negara Palestina. Menurut dia, pengakuan dari ketiga negara itu hanya akan memperkuat Hamas. 

“Kalian memberikan hadiah besar untuk terorisme. Itu tidak akan terjadi. Tidak akan ada negara Palestina di sebelah barat Sungai Yordan," kata Netanyahu. 

Israel mengategorikan Hamas sebagai kelompok teroris. Di ruang publik, Netanyahu berulang kali mengklaim perang yang dilancarkan di Gaza dan Tepi Barat demi memusnahkan Hamas. 

Di sisi lain, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyambut keputusan tiga negara tersebut. Abbas menyebut langkah itu sebagai “tahapan penting dan perlu untuk mencapai perdamaian yang adil dan langgeng sesuai legitimasi internasional.”

Mungkinkah negara Palestina terwujud? 

Meskipun pengakuan terhadap eksistensi Palestina terus bertambah, terselip pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang dimaksud dengan Palestina? Apakah sudah ada negara untuk diakui?

Konvensi Montevideo 1933 menyebut empat syarat sebuah entitas bisa diakui sebagai negara, yakni memiliki penduduk permanen, memiliki wilayah yang jelas, memiliki pemerintahan yang berfungsi, dan memiliki kapasitas menjalin hubungan internasional.

Palestina setidaknya bisa mengklaim dua yang terakhir: penduduk permanen dan kemampuan menjalin hubungan internasional. Namun, “wilayah terdefinisi” dan “pemerintahan yang berfungsi” masih sulit dipenuhi.

Bagi orang Palestina sendiri, negara yang mereka impikan terdiri dari tiga bagian: Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza—semuanya dikuasai Israel sejak Perang Enam Hari pada 1967. Di lapangan, peta wilayah Palestina juga berantakan. Tepi Barat dan Gaza telah terpisah secara geografis sejak kemerdekaan Israel 1948.

Sejarawan Palestina, Yezid Sayigh pesimistis syarat-syarat berdirinya sebuah negara bakal bisa dipenuhi Palestina dalam situasi saat ini. Terlebih, pemerintah Israel terus menginvasi wilayah Palestina dengan pendirian permukiman-permukiman baru. 

"Dalam situasi normal, akan lahir tokoh-tokoh baru, generasi baru. Namun, hal itu mustahil terjadi… Masyarakat Palestina di wilayah pendudukan terpecah-pecah dalam ruang-ruang kecil yang terpisah, dan kondisi ini membuat hampir mustahil bagi tokoh-tokoh baru untuk muncul dan menyatu,” jelas Sayigh. 

Presiden Palestina Mahmoud Abbas berbicara selama konferensi untuk mendukung Yerusalem di markas Liga Arab di Kairo, Mesir, pada 12 Februari 2023. AP Photo/Amr Nabil/dokumentasi

Tanpa tokoh kunci

Abbas saat ini sudah berusia 90 tahun. Hamas sendiri tak bisa diandalkan. Dalam konvensi di New York, AS, belum lama ini, negara-negara yang berkumpul--termasuk Inggris dan sejumlah negara Eropa lainnya--menuntut Hamas mengembalikan kendali atas Gaza dan melucuti persenjataan mereka. 

Meski sulit melahirkan generasi baru pemimpin, satu nama terus mencuat: Marwan Barghouti. Lahir dan besar di Tepi Barat, ia sudah aktif di Fatah—faksi PLO pimpinan Yasser Arafat—sejak usia 15 tahun. 

Barghouti muncul sebagai figur populer pada masa intifada kedua sebelum akhirnya ditangkap dan didakwa merencanakan serangan yang menewaskan lima warga Israel. Ia selalu membantah tuduhan itu, tetapi telah mendekam di penjara Israel sejak 2002.

Survei terbaru Palestinian Centre for Policy and Survey Research yang berbasis di Tepi Barat menunjukkan 50% responden memilih Barghouti sebagai presiden—jauh di depan Mahmoud Abbas yang menjabat sejak 2005.

Meski Barghouti adalah tokoh senior Fatah—kelompok yang lama berseteru dengan Hamas—namanya disebut-sebut masuk daftar tawanan politik yang ingin dibebaskan Hamas sebagai imbalan atas sandera Israel di Gaza. Namun, hingga kini pemerintah Israel belum menunjukkan tanda-tanda akan melepaskannya.

Namun, Sayigh tetap pesimistis negara Palestina berdaulat bisa berdiri "Anda bisa saja menurunkan malaikat Jibril untuk memimpin Otoritas Palestina, tapi hasilnya tidak akan berbeda. Siapa pun harus bekerja dalam kondisi yang membuat keberhasilan nyaris mustahil," tutur dia. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan