Israel dan kelompok gerilyawan Hamas kembali ke meja perundingan. Sejak beberapa hari lalu, perwakilan Hamas dan Israel berada di Kairo, Mesir untuk membahas kemungkinan gencatan senjata permanen di Gaza. Sejumlah pejabat Amerika Serikat dan tokoh regional ikut serta dalam pembicaraan damai itu.
Juru bicara Hamas Fawzi Barhoum mengatakan bahwa delegasi mereka di Kairo masih mencari jalan untuk mengatasi semua hambatan kesepakatan damai yang sejalan dengan asiprasi rakyat Palestina. Menurut Barhoum, Hamas mengajukan sejumlah tuntutan kepada Israel sebagai gencatan senjata permanen.
Pertama, gencatan senjata yang komprehensif dan permanen. Kedua,
semua militer Israel menarik diri dari Gaza. Ketiga, pengembalian warga pengungsi ke rumah mereka. Keempat, perjanjian pertukaran tahanan yang adil. Kelima, masuknya bantuan kemanusiaan dan pemulihan tak dibatasi
Selain itu, Hamas juga meminta agar proses rekonstruksi Gaza segera dimulai dan diawasi oleh sebuah badan nasional Palestina berisi para teknokrat. "Ini sesuai aspirasi rakyat kami," kata Barhoum seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (7/10) lalu.
Tuntutan Hamas tak jauh berbeda dari rekomendasi Presiden AS Donald Trump. Dalam 20 poin rencana Donald Trump untuk mengakhiri perang, Trump menjanjikan akan menuntut penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza dan pertukanan tahanan perang antara kedua kubu secara proporsional.
Namun demikian, Trump juga menerapkan sejumlah syarat bagi Hamas, di antaranya Hamas dikecualikan dalam pemerintahan baru di Gaza dan wajib melucuti persenjataan mereka. Anggota Hamas yang menanggalkan senjata akan mendapatkan amnesti dan diperbolehkan ke luar negeri.
Selama masa transisi, menurut Trump, Gaza akan dikelola oleh Dewan Perdamaian yang dikepalai oleh dirinya sendiri bersama eks Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Anggota dewan berasal dari kalangan teknokratik.
Rencana itu ditolak mentah-mentah oleh Hamas. "Kami tidak akan menerima siapa pun yang bukan warga Palestina mengontrol bangsa Palestina," kata seorang pejabat Hamas.
Lantas, apa kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terkait pembicaraan damai di Mesir? Meskipun tak terang-terangan menolak pembahasan gencatan senjata, Netanyahu berkukuh akan menuntaskan target perang Israel di Gaza.
"Kembalinya para tahanan yang diculik, pembubaran rezim Hamas dan janji bahwa Gaza tak akan lagi melahirkan ancaman bagi Israel," ujar Netanyahu dalam sebuah pernyataan resmi.
Rombongan pengungsi kembali ke Jalur Gaza dengan berjalan kaki usai Israel-Hamas menyepakati gencatan senjata, awal Februari 2025. /Foto Instagram @unitednations
Meminggirkan suara Palestina
Pakar hubungan internasional dari University of Sidney, Martin Kear berpendapat Hamas kemungkinan akan menolak berdamai jika poin-poin Trump tak direvisi. Salah satu alasannya terletak pada isi rencana yang disebut-sebut akan menjadi peta jalan masa depan Gaza.
Dalam rencana itu, Israel akan tetap mempertahankan pendudukan militernya di Gaza hingga tiba saatnya tanggung jawab diserahkan kepada apa yang disebut sebagai “pasukan stabilisasi internasional”. Tidak ada batas waktu yang jelas kapan hal itu akan terjadi.
"Bagian lain yang menuai keberatan adalah rancangan struktur pemerintahan sementara. Selama masa transisi, Gaza akan dikelola oleh komite teknokrat Palestina yang apolitis —sebuah lembaga yang bertugas mengurus layanan dasar bagi jutaan warga Gaza yang kini hidup dalam kelaparan, trauma, dan kehilangan tempat tinggal maupun pekerjaan," jelas Kear seperti dikutip dari The Conversation.
Namun, komite ini juga akan melibatkan sejumlah “pakar internasional”. Keterlibatan mereka berpotensi melemahkan suara warga Palestina sendiri dan membatasi kendali mereka atas masa depan Gaza. Detail-detail penting belum dijelaskan: siapa yang akan duduk di dalam komite, kapan lembaga ini akan dibentuk, dan berapa banyak anggotanya yang benar-benar warga Palestina.
Dewan Perdamaian juga bikin Hamas enggan berdamai. Dewan itu nantinya akan mengawasi kinerja komite teknokrat sekaligus memimpin upaya rekonstruksi Gaza sampai Otoritas Palestina (PA)—yang saat ini dikuasai faksi Fatah—selesai menjalani reformasi dan dianggap layak untuk kembali memerintah di wilayah tersebut.
Menurut Kear, situasi itu akan memunculkan sederet pertanyaan besar: Kapan pemilu baru bagi Otoritas Palestina akan digelar? Apakah warga Gaza akan diizinkan ikut memilih? Faksi politik mana yang boleh mencalonkan diri? Apakah calon-calon itu harus disetujui terlebih dahulu oleh Dewan Perdamaian?
"Semua ketidakjelasan itu membuat proses politik ini rentan terhadap berbagai tafsir dan kepentingan. Dan justru di titik inilah kekhawatiran Hamas berakar—bahwa kekuasaan atas Gaza, dan bahkan masa depan rakyat Palestina, perlahan akan terlepas dari tangan mereka sendiri," ujar Kear.